oleh

Hari Jadi Tidore : Mengenang Almarhum Maswin Muhammad Rahman [Part.28].

-OPINI-218 Dilihat

Bersama almarhum dan beberapa teman,kami juga aktif berkontribusi di Dewan Kesenian dan Kebudayaan [DKK] yang di Ketuai Wakil Walikota,Salahuddin Adrias.Saya juga secara khusus harus mengenang “kontribusi” almarhum Abbas Mahmud,seorang Akademisi Universitas Pattimura Ambon,yang kala itu di perbantukan pada pemerintahan ini.Kebetulan beliau berkeluarga dekat dengan sang Walikota dua periode ini.Banyak pemikiran dan gagasan bernas darinya yang turut mewarnai segenap aktifitas dan kebijakan pemerintahan ini.

Maswin M.Rahman yang saya tahu,berkontribusi besar dalam turut memikirkan dan merekonstruksi budaya kehidupan Tidore “masa lalu” hingga melahirkan rangkaian upacara HJT yang di kenal saat ini.Saya sering menjadi teman diskusinya untuk turut memberikan bobot dari aspek teoritik dari setiap rangkaian itu.Kami terpaksa “kuliah” ulang.Buku-buku dari sejarawan dan budayawan “kelas dunia” hingga referensi “lisan” para tetua adat harus di kolaborasi untuk bisa mendapatkan “simpul”nya.Tujuh unsur budayanya Kluckhohn,Van Vollenhoven,Van Den Berg hingga Koentjaraningrat kami “bolengkar”.Saya bilang padanya bahwa apapun budaya kita,pasti masuk di wilayah ini dan tak mungkin “berdiri sendiri”.

Baca Juga  RM, Leadership, Tehnokrasi dan Kepemimpinan Yang Peduli

Saya masih ingat ketika di tahun pertama memulai rangkaian seremoni HJT itu,ada hal yang bikin “kaget” sekaligus terasa lucu.Di prosesi yang namanya Malam Setanggi Timur.Penamaannya dari almarhum dan saya lupa filosofi namanya.Tetapi ini berupa penanda menyalakan obor atau yang di kenal dengan Dama,Pelita atau Guto,di malam hari di setiap rumah tanpa lampu penerangan PLN semalam suntuk.Di saat sama,di masjid-masjid dan langgar,berkumandang zikir dan doa tertentu memohon perlindungan Tuhan Yang Maha Esa atas ketentraman dan keselamatan negeri Tidore.Ketika lampu di padamkan tadi,terjadi “komplen” warga di beberapa tempat karena suasananya memang terlihat gelap dan sangat mengganggu aktifitas rumah tangga.Kami kebetulan memonitornya di beberapa titik.Di diskusi kami,saya sempat memberi usul kalau sekedar “rekonstruksi” atau penanda,kita tentukan saja durasinya minimal 2 jam misalnya,karena semua ini lebih pada “nilai” yang jadi pesan bahwa di masa lalu tadi,”negeri” ini di dirikan dan di pelihara dengan ikhtiar dan doa dalam kegelapan dan keterbatasan.mengenangnya harus termanifestasi dari “rasa syukur”.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *