Mengenang jasanya, rasanya tak mampu saya hitung dalam tulisan ini apalagi dengan nilai-nilai yang sangat berguna bagi hidup saya.
Dia adalah single parent dari Kami 5 bersaudara, ditinggalkan sang suami, ayah kami yang berpulang kerahmatullah saat kami masih kecil, saya baru naik jelas tiga SD dan kakak-Kaka saya yang baru tingkat SLTP kala itu.
Bisa dibayangkan, Mama saya mengemban tanggunjawab sebagai single parent atas 5 putra-putrinya.Sejak ayah saya meninggal dunia, kami pun balik dari Desa Moloku, Gane Barat kembali ke Pulau Makian tepatnya di desa Dalam, desa dimana Mesjid Raya At Taqwa yang diresmikan Presiden RI ke I Soekarno.
Saya membayangkan hari-hari yang dilaluinya begitu berat.Hidup di pulau Makian tanpa peninggalan harta yang pas untuk menopang hidup yang cukup, ditengah beban hidup 5 anaknya yang begitu tinggi.Biaya makan, kesehatan, pendidikan dan biaya enterteimen lainya yang tak bisa dia elakkan.
Ditengah keterbatasan, semangat hidup Mama saya memang tak ada duanya.Apalagi untuk memenuhi kebutuhan anak nya disetiap momentum istimewa.
Ibu saya seperti umumnya orang tua orang makian kala Itu yang terobsesi tinggi dengan pendidikan anak-anak nya, harus banting tulang menghidupi serta menyekolahkan semua anak-anaknya.Aneka jualan kue dibuat dan dijajakan saya dan adik saya yang kala itu baru masuk sekolah.
Saat lebaran seperti saat ini adalah moment yang tak terlupakan akan sosok Ibu yang penyayang pada anak-anaknya.
Ada satu moment yang senantiasa muncul di memori saya kala datang lebaran.Tak lain moment baju baru.
Suatu ketika ketika jelang H-2 lebaran, saya yang masih usia anak SD kelas 3 seperti anak-anak sebaga itu merengek baju baru.Pergilah saya dengan Ibu ke pasar yang terletak di desa tetangga, Desa Walo untuk belanja baju lebaran saya.Teringat saat itu yang saya minta dan belikan adalah kaos berwarna biru dengan tulisan Adidas, merek sporty yang lagi viral waktu itu.
Kala itu, jelang akhir ramadhan, seperti biasa, adat “bakalae” yang dipusatkan di depan Mesjid raya Ngofakiaha sedang memasuki waktu klimaksnya.Bayangkan dua kubu masing-masing ratusan orang setiap kubu berjibaku “bakalae” di jalan depan mesjid yang lebarnya hanya kurang lebih 4 meter itu.
Sekembalinya dari pasar, saya dan ibu saya tetiba terjebak di tengah “bakalae” dan ibu saya terinjak oleh puluhan kaki peserta bakale itu.Saya yang masih gesit bisa menghindar selamat dari amukan bakalae adat itu, dalam benak “oh mama dimana, jangan-jangan sudah terinjak”.Benar adanya, ditengah kerumunan itu rupanya Allah masih menyelamatkan Ibu saya, orang-orang yang terlibat emosional bakalae itu tetiba menyadari ada orang tua perempuan yang terinjak.Ibu saya sudah terkulai pingsan lalu diangkat ke halaman mesjid raya.Sesaat sadar, dia menjerit ampun penuh kesakitan tidak bisa bernapas, saya masih mendengar tangisan itu dengan jelas ampai saat ini ketika tibanya lebaran .Rupanya tulang Rusuknya terinjak mungkin bengkak dan hari-harinya dia urut dengan air panas dan diurut Om ipar saya dari keluarga Badarun yang diakui tergolong orang pintar urut di kampung.
Pasca peristiwa itu, saya yang masih usia anak SD memang kurang merasakan derita ibu saya dan juga karena tak nampak raut wajah penyesalan sang Ibu kepada anaknya, penyebab insiden yang nyaris menewaskan nya itu.Dia justru terkihat gembira dari raut wajahnya telah memenuhi asa anaknya, seperti umumnya semua Ibu yang hidup hanya untuk anak-anak nya.
Peristiwa itu selalu mengiang dalam ingatan ku kala lebaran apalagi saat di Mall hendak belanja baku “tambaru”.
Peristiwa yang hingga hari ini seolah menjadi dendam kesumat “pakoknya harus ada baju tambaru untuk saya dan ponakan-ponakan ku sebagai ritual mengenang nya”.
Komentar