MEGAWATI, KONSTITUSIONALISME, DAN ANIES BASWEDAN
Smith Alhadar/Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
Ada tiga hal bersejarah yang dilakukan Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Ketiganya berbasis pada upaya menyelamatkan konstitusi.
Pertama, PDI-P — partai penguasa — menentang keras usaha pemerintah memperpanjang masa jabatan presiden maupun Jokowi 3 periode. Terutama karena langkah itu berpotensi menerabas konstitusi.
Wacana ini pertama kali dilontarkan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia. Bahlil beralasan pelaku usaha ingin agar Pemilu 2024 diundur karena situasi dunia usaha mulai bangkit setelah terpuruk akibat pandemi covid-19. KSP Moeldoko langsung mendukung gagasan ini.
Gagasan Bahlil tak berkembang karena ditolak ramai-ramai oleh publik, akademisi, pakar hukum tatanegara, dan terutama Mega. Memang bila wacana ini diwujudkan, demokrasi dan konstitusi terancam.
Kita mengira masalah sudah selesai. Ternyata 2 bulan kemudian, Februari 2022, 3 ketum parpol melontarkan wacana dan alasan yang sama. Menurut Rizal Ramli, Menko Marves LBP sengaja memelihara pemimpin parpol bermasalah untuk dimanfaatkan saat diperlukan.
Kalau sebelumnya, ketika Projo M. Qodari melontarkan wacana Jokowi 3 periode ditolak Jokowi, kali ini ia menyatakan wacana itu sejalan dengan demokrasi. Mega makin marah.
Perubahan sikap Jokowi mengisyaratkan ia mendukung wacana itu. Tak lama, Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Ketua DPD LaNyala Matalitti seperti menampik sikap Mega dengan menghidupkan lagi wacana itu. Sementara LBP sdh lebih dulu mengorkestrasinya.
Berkat sikap Mega, yang didukung parpol lain, gagasan ini tak bisa diwujudkan karena total suara parpol penentang di DPR mencapai 2/3. Penentangan Mega juga didasarkan pada kekhawatiran kembalinya Orde Baru. Kalau perpanjangan masa jabatan presiden dilakukan, maka akan tercipta preseden buruk.
Kedua, Mega menolak partisipasi timnas Israel dalam ajang Piala Dunia U-20 di Indonesia. Alasannya, mukadimah UUD 45 menyatakan, kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Karena itu, penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikmanusiaan dan perikeadilan.
Amanat mukadimah konstitusi inilah yang mendorong Presiden Soekarno menolak partisipasi kontingen Israel pada Asian Games 1962 di Jakarta.Sebelumnya, pada babak play off Piala Dunia 1958 Swedia, yang mempertemukan PSSI dan timnas Israel, Soekarno memerintahkan PSSI walk out.
Israel memang penjajah. Sejak 1948, ia menerapkan politik apartheid, perampasan tanah, dan pembunuhan terhadap warga Palestina hampir setiap hari. Pada 1993, Israel dan Palestina menandatangani Kesepakatan Oslo yang berpijak pada pertukaran tanah dengan perdamaian. Namun, sejak 2014 Israel menolak mengimplementasikannya.
Atas perintah Mega, Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menolak wilayah mereka dijadikan venue pertandingan. Akibatnya, FIFA mencoret Indonesia sebagai host ajang bergengsi itu.
Ketiga, perlawanan Mega terhadao Orba. Mega adalah orang paling menderita pada masa itu karena dia adalah anak Soekarno. Ia disingkirkan dari dunia politik karena mengancam presidensi Soeharto. Puncak perseteruan Mega-Soeharto terjdi pd 26 Juli 1996, yang dikenal dengan Kerusuhan Kudatuli.
Pada hari itu, kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta, diambil alih paksa lewat pertumpahan darah. Peristiwa Kudatuli bahkan disebut sebagai salah satu peristiwa terkelam dalam sejarah demokrasi.
Sebelum Mega bergagung dengan PDI pada 1987, partai ini mengalami konflik internal hampir selama satu dekade. Kala itu keluarga Soekarno menjdi korban ambisi Soeharto. Upaya de-Soekarno-isasi dilakukan dengan membatasi pergerakan putra-putri Soekarno. Sejak 1977, PDI selalu memperoleh nomor buncit dengan perolehan suara tak lebih dari 10%.
Upaya mendongkrak suara dilakukan dengan mendekati Mega. Pada 1987, Mega bersedia bergabung dengan partai itu. Ketum PDI saat itu, Soerjadi, berhasil menjdikan Mega sebagai vote getter. Setelah terpilih menjadi anggota DPR, karier politik Mega melejit.
Melambungnya suara PDI pada pemilu 1987 dan 1992 mengkhawatirkan penguasa. Begitu juga Soerjadi yang ketokohannya tersaingi Mega. Meskipun dijegal, Mega berhsl menjabat Ketum PDI berdasarkan hasil kongres PDI di Surabaya pd 1993. Ia merebut pucuk kepemimpinan Soerjadi.
Dalam waktu singkat, Mega menjadi simbol perlawanan terhadap tekanan Orba. Namanya bahkan sempat diusulkan sebagai calon presiden. Penguasa Orba yang mengendus ancaman ini segera merancang skenario untuk menggembosi kekuatan Mega.
Pada 1996, kongres PDI diselenggarakan di Medan. Soerjadi digunakan pemerintah untuk mendongkel Mega yang, bersama pendukungnya, memboikot kongres. Soerjadi mengklaim kemenangan dan direstui penguasa. Unjuk rasa di berbagai daerah digelar untuk memprotes PDI versi Soerjadi. Penyerbuan kantor PDI oleh pendukung kubu Soerjadi berakhir bentrokan antara massa dan aparat keamanan.
Sebelumnya, kantor DPP PDI diduduki massa pendukung Mega. Di sana Mega melakukan mimbar bebas setiap hari. Tentu saja ABRI meradang. Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung bahkan menuduh mimbar bebas sebagau makar. Akhirnya, Kerusuhan Kudatuli terjadi.
Aparat keamanan mengambil alih markas PDI itu. Pasca kejadian, Komnas HAM menyimpulkan 5 org tewas, 149 luka-luka, 23 hilang, dan 136 ditahan. Tapi petistiwa itu justru menguatkan posisi Mega dalam kontestasi politik elektoral. PDI-P yang dibentuknya menang dalam pemilu 1999 dan mengantarnya menjadi wapres bagi Presiden Gus Dur. Pd 2001, ia naik menjdi presiden setelah Gus Dur dilengserkan.
Melihat karier politik Mega yang penuh resiko menggambarkan betapa ia tak mau berkompromi kalau sdh menyangkut konstitusionalisme. Dus, dialah tokoh politik Indonesia saat ini yang paling tahu tentang kondisi yang dihadapi Anies ketika hak-hak politiknya dirampas penguasa. Pada hakikatnya, apa yang dialami Mega di era Orba sama dengan apa yang dialami Anies saat ini.
Mega tentu juga tahu sekiranya penjegalan Anies berhasil, legitimasi pilpres dipertanyakan sebagaimana rakyat mempertanyakan legitimasi pemilu 1997. Demikian juga prinsip konstituasionalisme yang dulu ia perjuangkan secara heroik.
Namun, sayang, prinsip itu tak diterapkan ketika berhadapan dengan masalah yang dihadapi bacapres Anies Baswedan, yang diusung Nasdem, Demokrat, dan PKS. Sebagaimana diketahui, pemerintahan Jokowi terus berusaha menyingkirkan Anies dari arena pilpres sebagaimana dilakukan Orba terhadap Mega.
Yang sedang disorot publik hari ini adalah KPK dijadikan alat politik untuk memaksakan Anies menjadi tersangka korupsi. Di jalur lain, Moeldoko berupaya keras membegal Demokrat sebagaimana dilakukan Soerjadi terhadap Mega. Jelas upaya-upaya itu menerabas demokrasi yang merupakan amanat konstitusi. Memang dalam konteks pilpres mendatang, kemungkinan Anies menjadi lawan bacapres yang diusung PDI-P.
Namun, seharusnya Mega konsisten menjaga prinsip konstitusionalisme. Juga demi mempromosikan fair play dalam pilpres. Dalam konteks ini, mestinya ia memprotes perlakuan penguasa terhadap Anies sebagaimana ia menantang kezaliman Orba.
Membela hak politik Anies untuk mengikuti pilpres tidak berarti membela kepentingan pribadi Anies, melainkan menegakkan konstitusionalisme RI yang hari ini menghadapi ujian berat. Tidak mengapa kalau Mega tetap mengharamkan partainya berkoalisi dengan Demokrat dan PKS.
Tetapi mereka adalah parpol yang legal, mendukung sistem demokrasi, berpegang pada Pancasila sebagai falsafah bangsa, dan bercita-cita menyejahterakan rakyat dan memajukan bangsa. Mereka memandang Anies sebagai tokoh visioner, pemimpin otenik, dan berintegritas, yang diharapkan dapat menghadirkan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik.
Kontribusi Mega dalam menegakkan konstitusionalisme kali ini akan merupakan kontribusi besarnya bagi pendewasaan politik bangsa dan konsolidasi demokrasi yang sedang merosot. Untuk itu, mestinya ia menekan penguasa — yang eksistensinya ia dukung — untuk berhenti menzalimi Anies.
Pragmatisme dan oportunisme bisa saja menguntungkan partai dalam jangka pendek, tapi berpotensi merusak negara dalam jangka panjang. Dengan penjegalannya tidak akan membuat Anies kalah. Yang kalah adalah bangsa Indonesia.
Selamat Hari Raya Idul Fitri. Minal Aidin Wal Faidzin. Mohon maaf lahir dan batin.
Tangsel, 21 April 2023 !