oleh

MEGAWATI, KONSTITUSIONALISME, DAN ANIES BASWEDAN

-OPINI-91 Dilihat

Atas perintah Mega, Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menolak wilayah mereka dijadikan venue pertandingan. Akibatnya, FIFA mencoret Indonesia sebagai host ajang bergengsi itu.

Ketiga, perlawanan Mega terhadao Orba. Mega adalah orang  paling menderita pada masa itu karena dia adalah anak Soekarno. Ia disingkirkan dari dunia politik karena mengancam presidensi Soeharto. Puncak perseteruan Mega-Soeharto terjdi pd 26 Juli 1996, yang dikenal dengan Kerusuhan Kudatuli.

Pada hari itu, kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta, diambil alih paksa lewat pertumpahan darah. Peristiwa Kudatuli bahkan disebut sebagai salah satu peristiwa terkelam dalam sejarah demokrasi.

Iklan.

Sebelum Mega bergagung dengan PDI pada 1987, partai ini mengalami konflik internal hampir selama satu dekade. Kala itu keluarga Soekarno menjdi korban ambisi Soeharto. Upaya de-Soekarno-isasi dilakukan dengan membatasi pergerakan putra-putri Soekarno. Sejak 1977, PDI selalu memperoleh nomor buncit dengan perolehan suara tak lebih dari 10%.

Baca Juga  Catatan Pimred : SAYA TALIABU Menangi Pilkada Kabupaten Pulau Taliabu, Era Baru Atau Sama Saja Kah

Upaya mendongkrak suara dilakukan dengan mendekati Mega. Pada 1987, Mega bersedia bergabung dengan partai itu. Ketum PDI saat itu, Soerjadi, berhasil menjdikan Mega sebagai vote getter. Setelah terpilih menjadi anggota DPR, karier politik Mega melejit.

Melambungnya suara PDI pada pemilu 1987 dan 1992 mengkhawatirkan penguasa. Begitu juga Soerjadi yang ketokohannya tersaingi Mega. Meskipun dijegal, Mega berhsl menjabat Ketum PDI berdasarkan hasil kongres PDI di Surabaya pd 1993. Ia merebut pucuk kepemimpinan Soerjadi.

Dalam waktu singkat, Mega menjadi simbol perlawanan terhadap tekanan Orba. Namanya bahkan sempat diusulkan sebagai calon presiden. Penguasa Orba yang mengendus ancaman ini segera merancang skenario untuk menggembosi kekuatan Mega.

Baca Juga  Pilkada Taliabu, Panggung Kekalahan Aliong, Alien, Fifian dan Citra Mus

Pada 1996, kongres PDI diselenggarakan di Medan. Soerjadi digunakan pemerintah untuk mendongkel Mega yang, bersama pendukungnya, memboikot kongres. Soerjadi mengklaim kemenangan dan direstui penguasa. Unjuk rasa di berbagai daerah digelar untuk memprotes PDI versi Soerjadi. Penyerbuan kantor PDI oleh pendukung kubu Soerjadi berakhir bentrokan antara massa dan aparat keamanan.

Sebelumnya, kantor DPP PDI diduduki massa pendukung Mega. Di sana Mega melakukan mimbar bebas setiap hari. Tentu saja ABRI meradang. Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung bahkan menuduh mimbar bebas sebagau makar. Akhirnya, Kerusuhan Kudatuli terjadi.

Aparat keamanan mengambil alih markas PDI itu. Pasca kejadian, Komnas HAM menyimpulkan 5 org tewas, 149 luka-luka, 23 hilang, dan 136 ditahan. Tapi petistiwa itu justru menguatkan posisi Mega dalam kontestasi politik elektoral. PDI-P yang dibentuknya menang dalam pemilu 1999 dan mengantarnya menjadi wapres bagi Presiden Gus Dur. Pd 2001, ia naik menjdi presiden setelah Gus Dur dilengserkan.

Baca Juga  Pelemahan Jokowi Sedang Berjalan

Melihat karier politik Mega yang penuh resiko menggambarkan betapa ia tak mau berkompromi kalau sdh menyangkut konstitusionalisme. Dus, dialah tokoh politik Indonesia saat ini yang paling tahu tentang kondisi yang dihadapi Anies ketika hak-hak politiknya dirampas penguasa. Pada hakikatnya, apa yang dialami Mega di era Orba sama dengan apa yang dialami Anies saat ini.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *