Ramadhan di Kampung : Belajar Menghargai Kebaikan Orang Pada Kita [Part.31].
Anwar Husen/Kolomnis Tetap.
Ramadhan di Kampung : Belajar Menghargai Kebaikan Orang Pada Kita [Part.31].
Anwar Husen/Kolomnis Tetap.
Ini adalah tulisan pendek di akun Facebook @Karivela Anwar ll,beberapa waktu lalu,yang saya angkat kembali dengan sedikit “permak” untuk menemukan konteks lain di saat ini,di Ramadhan.Menyebut Ramadhan di kampung pada judul ini,maksudnya hendak menunjuk suasana Ramadhan di masa lalu,di berpuluh tahun lalu,di masa kecil saya.Sesuatu yang mungkin banyak kita pernah mengalaminya.
☆☆☆☆☆
Kita sedang di penghujung Ramadhan.Ada rasa yang “berbeda”,dan rasa itu,mengkin membenarkan pesan bahwa sekecil ataupun sesederhana apapun sebuah “kejadian” yang terlintas dalam memori kita,selalu saja terbentang seribu pesan inspirasi,pelajaran dan hikmah dalam hidup ini.
☆☆☆☆☆
Ada inspirasi dari percakapan WAG komunitas kampung yang ingin saya tulis di sini : seorang teman anggota menulis dan menyebut cukup panjang tentang kebaikan teman-teman di kampungnya saat dia,di sekitar 17 tahun lalu,maju sebagai calon anggota DPRD kota Tidore Kepulauan.Bahkan nilai “kebaikan” saya yang tidak seberapa dan saya sendiri sudah cukup lama tidak lagi mengingatnya,juga di sebutnya.
Saya merespon tulisannya dengan komentar yang sedikit panjang dengan sedikit mengingat-ingat kebaikan orang hingga saat ini pada saya dan keluarga.Karena bagi saya,ada secuil pesan kebaikan yang penting untuk jadi warisan inspirasi bagi generasi muda khususnya di komunitas kami.
Di dalam masyarakat yang masih terpelihara nilai-nilai kebaikan dan keteladanan,nilai itu menjadi terlihat “biasa-biasa” saja karena semua orang berkepentingan mempraktekannya sebagai perilaku hidup yang begitu wajar,sehari-hari.
Saya menyebut contoh kebiasaan dan tata kehidupan masa lalu dengan berharap bisa menjadi refleksi : kita memiliki kebiasaan saling mengantar/memberi menu buka puasa pada tetangga/keluarga,sebuah etalase hidup dan pemandangan paling “indah” di masa itu.Bagi kita yang duluan memberi,mungkin kita berpikir bahwa ini adalah kelebihan yang harus di sedekahkan tanpa berharap ada balasannya.Tetapi bagi tetangga yang menerimanya,mereka akan merasa bahwa kita telah memberinya “pekerjaan rumah” untuk membalasnya meski berkekurangan sekalipun.Jika tidak pada kesempatan saat itu,mungkin mereka akan berpikirnya di kesempatan esok,lusa dan seterusnya.Dan mereka akan merasa cukup puas bila telah bisa membalas kebaikan sepiring menu buka puasa tadi,sama seperti yang kita rasakan.
Ini adalah satu dari sekian banyak contoh nilai kebaikan yang terpelihara baik di masa lalu.Ramadhan di “kampung” di masa kecil,terasa begitu indah.Cita rasa “keindahan” itu,bukan pada ragam menu Sahur dan Berbuka yang “wah”,seperti saat ini,semua bisa di dapat secara sangat mudah,dengan syarat cukup punya uang,di tengah suasananya yang tak jauh beda dengan sebuah etalase “lomba makan”.
Cita rasa keindahan Ramadhan di masa lalu itu adalah empatik dan “rasa saudara” yang kuat,serasa senasib dan sepenanggungan.Semuanya bisa di bangun dengan menu Berbuka yang sangat “sederhana”,cukup seporsi Pisang dan Kacang goreng di temani Teh panas,tetapi punya daya rekat kekerabatan yang cukup kuat.
Sering sekali terdengar bahwa Ramadhan di masa lalu itu,sangat terasa “hikmah”nya,
berbeda dengan saat ini.Saya tak paham maksudnya tetapi mungkin hal-hal beginilah juga,yang di maksud dengan hikmah tadi.
Tentu beda jaman dan situasinya,beda stratifikasi di lapisan sosial dalam masyarakat kita,heterogenitas,jadi sebab mulai memudarnya penghargaan terhadap nilai-nilai dan semangat kolektifitas tadi.
Kita saat ini,hidup di jaman ketika nilai-nilai kolektifitas dan “rasa saudara” seperti itu menjadi semakin mahal dan langka.Dia menjadi “mahal” karena fondasi yang jadi dasar membangunnya adalah empati dan saling menghargai sekecil apapun kebaikan orang pada kita.Bahkan hingga kita yang saban waktu sering menutup pintu depan rumah saja sudah mengangap bahwa prilaku ini adalah sesuatu yang biasa saja,
yang di masa lalu adalah sesuatu yang “tidak normal”.
Kita hidup di jaman ketika,jangankan membalas kebaikan orang lain,terbersit untuk mengingat apalagi mendoakanpun, mungkin hanya di temukan pada diri orang-orang “terpilih”.
Kita hidup di jaman ketika perang individualitas begitu seru.Setiap orang berpikir tentang dirinya,
tentang keluarganya dan syukur-syukur tentang kelompok kepentingannya.
Kita hidup di jaman ketika keserakahan atas nama jabatan,
uang dan kehormatan bisa menjadi senjata “pemusnah masal” empatik,harmoni dan kolektifitas.
Jika semua nilai-nilai kebaikan dan keteladanan pada diri kita dan pada semua orang yang harus menjadi panutan itu tidak segera di refleksikan secara baik untuk terus menjadi modal sosial maka sepertinya kita sedang membiarkan bahkan memberi “kesempatan” pada generasi muda kita,
pada anak-anak kita,pada keluarga kita,untuk mengikuti berjalannya “logika” ini tanpa kita sadar,
telah di fase mana mereka berada : pertama,membalas kebaikan orang pada kita secara logis dan “setara” menurut kita.
Kedua,membalas kebaikan orang pada kita dengan mengingat dan mendoakannya sebagai tanda syukur dan mengasah rasa empati dalam diri kita.Ketiga,membalas kebaikan orang dengan cara melupakan kebaikannya,
membencinya atau bahkan mengkhianati
nya karena alasan-
alasan sepele.
Jika terkadang,kita sering merindukan “masa lalu”,dan bisa jadi itu di masa kecil,
mungkin saja kita sedang merindukan “fitrah” diri,
cenderung pada nilai-nilai kebaikan itu,sebagaimana puasa Ramadhan : menapaktilasi fitrah diri,ada “hakikat” puasa Ramadhan di masa lalu itu,yang menu Berbukanya mungkin “hanya” seporsi Pisang dan Kacang goreng di temani segelas Teh panas tadi.
Wallahua’lam.
#ramadan karim.