Cawe-cawe, kata ganda yang lagi populer dalam wacana politik saat ini.Musebabnya, Presiden Jokowi dinilai ikut campur tangan dalam arena kontestasi Pilpres 2024 lalu menuai kritik dan komentar beragam komponen.
Jagat politik tanah air jadi riuh, Presiden dicap bikin blunder fatal karena cawe-cawenya potensial merusak tatanan Pilpres yang jurdil dan masa depan demokrasi.
Tidak saja pakar, Adian Napitupulu, sesama genk Jokowi di PDIP dan “kubu Ganjar” ikut risih.Belum cukup dengan Adian, sesama genk petugas partai di PDIP Trimedya Panjaitan ikut gerah, dengan tegas meminta Jokowi jangan cawe-cawe tetapi fokus pada tugas konstitusionalnya sebagai Presiden.Belum lagi dari partai oposisi.
Tegas ! Sebagai Presiden, Jokowi diharamkan cawe-cawe di Pilpres.Intervensi presiden potensial membuat pilpres tidak berjalan demokratis dan jurdil padahal pilpres yang demokratis dan jurdil sangat diharapkan untuk bisa melahirkan Presiden dan Wakil Presiden yang kredibel dan kapabel guna mampu menjawab segunung persoalan bangsa saat ini.
Mungkin pendukung Jokowi 3 periode dan penundaan pemilu yang permisif dengan cawe-cawe Pilpres ala Presiden Jokowi.Mungkin saja bagi mereka, Cawe-cawe Jokowi mungkin sudah terlampau berharga murah dari penawaran harga mahal demokrasi tentang gagasan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden.
Dikutip dari Om Geogle, Cawe-cawe dalam KBBI adalah ca·we-ca·we /cawé-cawé/ Jw v ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan); ikut menangani suatu urusan.
Kata “ikut” dapat dimaknai subjektif, seseorang yang turut campur dalam suatu urusan yang bukan fungsi dan tugasnya.Bisa jadi, dia diminta atau karena inisiatif nya sendiri yang dalam banyak kasus karena ada udang dibalik batu alias ada kepentingan nya.Istilah orang Maluku utara, cawe-cawe sama artinya muka urusan, muka faduli padahal me orang tara faduli.
Apa tidak lacur, mengharamkan Presiden Jokowi turut campur dalam soal capres-cawapres ? Bukankan Presiden adalah petugas partai alias kader dan pimpinan partai politik serta Presiden juga jabatan politik sehingga berkepentingan dengan urusan capres-wapres ?.
Itu pertanyaan dan premis bodoh kelas dungu !
Pertama secara konstitusional, Pilpres yang merupakan rezim Pemilu adalah hajatan partai politik dan rakyat untuk mencalonkan Presiden -Wakil Presiden dan memilih Presiden dan Wakil Presiden.Dalam konteks logika konstitusional ini, hanya Parpol, kontestan (capres,cawapres) dan rakyatlah yang bisa ikut dalam gawe ini.Presiden termasuk prajurit TNI dan Polri diharamkan ikut bermain dalam hajatan ini.Tugas mereka, menjamin hajatan akbar ini berlangsung aman dan sukses.
Ke dua, Dalam aras penyelenggaraan, hanya KPU, Bawaslu, DKPP dan MK yang bisa terlibat langsung dalam penyelenggaraan pilpres atau pemilu.Presiden atau pemerintah telah diharamkan turut campur dalam penyelenggaraan pemilu setelah reformasi sistem pemilu pasca reformasi.Bahkan, spirit reformasi penyelenggaraan pemilu dan Pilpres ini sebagai kritik total terhadap pemerintah sebagai rezim penyelenggara pemilu di era orde baru yang hanya mempersembahkan pemilu secara formalistik tanpa makna substansial demokrasi dan pembangunan.Dengan demikian, Presiden sebagai kepala Pemerintahan dan kepala Negara diharamkan turut terlibat dalam penyelenggaraan pemilu dan pilpres.
Ke tiga dalam perspektif etik, campur tangan Presiden dan atau pemerintah di khawatirkan merusak tatanan demokrasi dalam pemilu dan pilpres sekaigus menyemai otoritarisme.
Mengapa ?Kekuasaan Presiden jokowi dalam sistim pemerintahan Presidensil yang amat besar dikhawatirkan memobilisasi instrumen-instrumen kekuasaan struktural untuk mempengaruhi proses pilpres yang tidak demokratis sekaligus perlahan membangunkan bangunan kekuasaan otoritarisme.Padahal, sekali lagi, pilpres diharapkan berjalan demokratis dan adil guna bisa melahirkan Presiden dan wakil Presiden yang kredibel dan kapabel guna mampu menjawab tantangan bangsa.Selain itu, Pilpres yang demokratis diharapkan semakin memperkuat konsolidasi demokrasi rakyat yakni pemilu dan Pilpres sebagai pengejek entah an kedaulatan rakyat.
Ingat !Pilpres itu perwujudan daulat rakyat bukan daulat Presiden.
Meminjam premis Filsuf dan pakar politik nasional rocky Gerung, TNI,Polri, Inteljen, jaksa, APBN, semua dikuasai Presiden maka jika Presiden ikut cawe-cawe, potensial dimobilisasi presiden jokowi untuk kepentinganya yang dalam opini ini kepentingan pilpres.
Dalam sistim pemerintahan parlementer, campur tangan pemerintah memang iya, karena dalam sistim parlementer, pemerintahan adalah adalah urusan 100% partai politik maka Perdana Menteri sebagai kepala Pemerintahan wajib hukumnya ikut capur dalam urusan kontestasi Perdana menteri.
Namun itu tidak dalam sistim presidensil, dimana Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan memegang kuasa penuh sebagai kepala Pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara, Presiden harus netral dari kepentingan subjektif di Pilpres.Ingar! Dalam aras sistim Presidensil, Presiden layaknya Raja Modern yang menguasai seluruh suprastruktur dan struktur ketatanegaraan.
Kekuasaan Presiden dan sistim pemerintahan Presidensial amat sangat kuat dikhawatirkan mempengaruhi Pilpres sekaligus membangun kekuasaan otoritarian.
Presiden berkuasa penuh atas struktur negara seperti Polri, Kejaksaan,TNI, dan anggaran atau keuangan negara yang dalam kondisi tertentu dicurigai bisa memobilisasi untuk memuluskan kepentinganya.Benar atau tidak argumentasi ini, tetapi sejarah rezim orde baru telah menuntun kita kearah sana.
Presiden juga bisa jadi berkuasa mempengaruhi suprastruktur negara yakni lembaga tinggi Negara seperti MPR, DPR, DPD dan lembaga Judikativ.Lihat saja, Presiden dengan alasan kondisi yang memaksa, bisa membubarkan lembaga suprastruktur negara ini.
Sedemikian maka dalam sistim Demokrasi, agar kekuasan Presiden tidak obsolut dan otoriter, maka dikenal dengan sistim separation of power atau pembagian dan pembatasan kekuasaan yakni meliputi kekuasaan eksekutiv, kekuasaan legislativ dan kekuasaan judikativ. Ketiga lembaga suprastruktur ketatanegaraan ini menjalankan fungsi konstituisonal secara merdeka dan tanpa bisa saling menginterfensi.
Namun dalam banyak praktek, Presiden juga potensial menguasai lembaga suprastruktur ini.Issu presiden menguasai MK, KPK,DPR dan MPR setidaknya menyiratkan hal itu, betapa kekuasan Presiden dalam sistim presidensil amat sangat power full setidaknya dalam mempengaruhi kekuasan lembaga suprastruktur ketatanegaraan ini.
Oleh karena itu, Kekuasaan Presiden harus dibatasi untuk mencegah penyalahgunaan wewenang sekaligus medeligitimasi potensi otoritarian.
Kesimpulan.
Begitu besarnya kekuasaan Presiden jokowi dalam sistim kekuasaan Indonesia yang Presidensil, maka cawe-cawe alias campur tangan Presiden Jokowi dalam pilpres mengundang sikap kritisme semua komponen bangsa baik pakar dan partai politik koalisi Pemerintahan Jokowi sendiri.
Kritisme itu tidak saja dalam konteks kepentingan jangka pendek mewujudkan penyelenggaraan pilpres 2024 yang luber dan jurdil sesuai azas penyelenggaraan pemilu dan Pilpres namun lebih jauh membangun masa depan demokrasi Indonesia yang diharapkan yakni kedaulatan rakyat.Campur tangan Presiden melahirkan presden buruk demokrasi Indonesia dimasa depan yang potensial melahirkan otoritarisme.Jokowi jika dibiarkan akan melahirkan legacy buruk bagi kelangsungan dan masa depan demokrasi.
Presiden jika dibiarkan, potensial memobilisasi segenap recources negara untuk memuluskan cawe-cawe pilpres nya untuk mempengaruhi proses dan hasil pilpres sesuai keinginanya. Pelibatan tak langsung suprastruktur dan secara langsung pada struktur atau aparat baik hukum, pertahanan, keamanan, Inteljen dan kebijakan fiskal dalam politik sama artinya menyemai kembali kekuasaan ororitarisme di Indonesia (sejarah kekuasaan Orde baru).
Sangat elegan, jika Presiden Jokowi bersikap negarawan seperti pendahulunya, Presiden BJ.Habibie, Gus Dur dan SBY serta termasuk Presiden Megawati yang diam tanpa cawe-cawe dalam urusan siapa penerusnya.Presiden Jokowi akan meninggalkan legacy yang manis untuk masa depan demokrasi indonesia.
Seiring hari kebangkitan nasional Indonesia yang jatuh pada tanggal 2O Mei 2023, Ayo kita bangkit !
Ngidi, 20 Mei 2023.!