OPINI

Coto Makassar di Kedai Papan itu : Menyerah Tanpa Syarat [Part.36].

By Anwar Husen/Kolomnis tetap.

Tak seperti biasanya,malam tadi.Suasananya semrawut dan gaduh,nyaris seperti pasar malam.Kebetulan pengunjungnya cukup padat,terisi penuh.Dan memang seperti begitu tempat ini.Terhitung puluhan tahun saya jadi pelanggan setianya.Sejak masih di depan eks kantor Gubernur Maluku Utara dulu [kini kantor Walikota Ternate],di relokasi ke belakang mall Jatiland hingga ke tempat “pengasingan” sementaranya saat ini bersama rekan pedagang lainnya karena sedang ada renovasi di tempat itu.Kali ini berdinding papan,satu tingkat di atas konstruksi awalnya karena inisiatif mereka sendiri.

Iya,ini sebuah kedai makan.Menunya khas Makassar.Mulai dari sop sodara,konro hingga coto.Dan memang,urusan cita rasa atau selera adalah “bab” yang paling subjektif dari setiap orang.Andai itu di “lorong tikus” sekalipun,mungkin akan di cari.Dan jika sedang di Ternate,nyaris tak pernah lupa menyempatkan untuk menyambangi tempat ini.Saya sering berpapasan banyak teman bahkan hingga pejabat,terlihat nongkrong di sini.Padahal biasalah,hanya sebuah kedai berdinding papan,yang sebelumnya kedai tenda sebagaimana umumnya yang terlihat di belakang mall Jatiland selama ini.

Hanya suasananya,yang kebetulan berubah “drastis” yang saya temui malam tadi saat memulai bersantap.Sekelompok anak muda,yang sepertinya baru selesai bertanding sepakbola,terekam dari obrolan mereka,membuat suasana jadi begitu gaduh.Mereka mengobrol sesukanya,tak peduli di sampingnya banyak pengunjung yang sedang menikmati santapannya.Sesekali,tawa lepas semampunya,bikin suasana makin tak “terkendali”.Tepat di depan saya,seorang anak,yang sesekali merengek saat sedang makan bersama ibunya.Di samping kiri saya,sama,ada bocah yang merengek juga entah kenapa,mungkin saja karena seleranya belum pas.Tak lama berselang,kelompok pengamen masuk.Beberapa lagu yang di lantunkan,melengkapi “kekacauan” suasana tadi.Saya bergegas ke kasir usai bersantap,membayar dan keluar.Sembari berjalan,saya merenungi suasana tadi dan “kesimpulan”nya,layak di tulis.

Dulu,motivasi orang ke tempat makan,rumah makan,”hanya” untuk makan,membayar menu yang di santap dan kembali.Begitu sederhana.Seiring kebutuhan,tak hanya menu saja yang di bayar,suasananya ikut di “bayar” hanya untuk di nikmati.Bahkan hingga urusan membayar suasana ini,harganya bisa lebih mahal di banding menunya.Harga menu di “konversi” sekalian dengan suasananya.Dengan begitu maka kita mendapati satu porsi bakso yang di beli di gerobak dorong dan suasana bersantapnya di pinggiran jalan bahkan hingga di atas selokan,harganya lebih murah di banding di kedai bakso di pantai Tugulufa,Tidore.Sama seperti menu kesukaan saya di kedai papan tadi,mungkin berharga lebih murah jika di banding menu yang sama di tempat yang sedikit “berkelas”,yang ada live music-nya meski cita rasanya,mungkin “biasa-biasa” saja.

Jika demikian,akankah kita bersepakat bahwa prilaku bikin gaduh dan sesukanya bisa di benarkan karena tempatnya yang “seadanya”,sebagaimana di kedai berdinding papan dan gerobak dorong tadi???tentu saja tidak.Tempat makan bukan ruang publik,publik area.Dia ruang privacy di mana pengunjungnya terikat aturan.Kita tidak bisa seenaknya membuang puntung rokok di lantai sebagaimana ketika sedang duduk di tepi pantai karena telah di sediakan tempatnya.Itu tempat usaha,tempat orang mengais rejeki.

Di saat sama,kelompok anak muda yang baru selesai bertanding bola kaki tadi,seperti juga grup pengamen,bisa melakukan hal sama andai itu di tempat makan yang relatif berkelas,yang tidak hanya menu yang di jual tetapi juga suasana dan kenyamanannya???pengamen mungkin tidak,karena motivasinya berbeda,itu objek “doi roko”nya.Itupun kalau di ijinkan.Tetapi kelompok anak muda tadi,bisa iya bisa juga tidak.Iya karena sudah begitu prilakunya,dan tidak,karena risih dengan suasananya yang “wah”.Kita kesampingkan variabel bocah yang merengek tadi karena di mana saja itu bisa terjadi,namanya juga bocah.

Situasi atau suasana,mungkin bisa mempengaruhi prilaku orang.Karib saya bercanda,orang Maluku Utara ini kalau sedang berbicara dengan temannya,di kira oleh orang Jawa bahwa kita sedang bertengkar.Tetapi juga,kita tak bisa “menyepakati” bahwa prilaku kurang etis kita,bisa tergantung suasana.Tempat makan,entah itu di restaurant berkelas,di kedai papan tadi,tempat saya menyantap menu kesukaan hingga di atas selokan pinggiran jalan sekalipun,saat menyantap bakso,tetap namanya kita sedang makan,sedang menikmati berkah dan karunia Tuhan.Pesan agama,janganlah bercakap saat sedang menikmatinya,makan.Sampai di sini,saya mengingat sebuah sesi ceramah di postingan akun facebook seorang ustadz muda yang hebat,@Muhammad Thariq Kasuba.Simpulnya,prilaku saat sedang menikmati berkah dan keruniaNya di kedai papan tadi,dan mungkin juga suasana sama di tempat lain,tergantung kadar pemahaman dan penghayatan atas pesanNya.

Dan grup pengamen tadi,hanya sedang mencari tambahan rejeki lain.Bocah-bocah yang merengek tadipun,mereka belum paham semua ini.Saatnya nanti,mungkin mereka akan mengalami suasana yang mungkin lebih “buruk” lagi di tempat makan.

Ketika menyelesaikan catatan pendek ini di bandara Babullah saat menemani putri sulung kembali kuliah usai mudik lebaran,terasa ada yang lucu : saya,yang biasanya mengambil jeda beberapa saat usai bersantap di kedai papan,kali ini harus bergegas ke kasir,membayar dan meninggalkan tempat ini,”menyerah tanpa syarat”.Wallahua’lam !

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *