OPINI

GOT XXVI dan Cerita Opsi Kocak Sang Peserta Rapat itu [Part.41].

Anwar Husen/kolomnis tetap/tinggal di Tidore.

Saya mengomentari pastingan teman di facebook soal komposisi tim yang berlaga di 8 besar Gurabati Open Turnamen [GOT] ke XXVI yang saat ini sedang berlangsung,dengan sedikit nada guyon.Kurang lebih bahwa kalau sebuah klub tidak punya lapangan bola,misalnya di kampung sebagai home basenya maka masih di anggap wajar jika mereka mengontrak pemain,bahkan hingga hampir satu kesebelasan.Tetapi jika punya lapangan dan mengontrak pemainnya setengahnya saja,sebaiknya lapangan bolanya di sulap ganti masjid.Seorang karib menambah panjang guyonan ini dengan menanggapi bahwa lapangan bola yang dalam proses pembuatannya penuh dengan fakta saling membentak satu sama lain [toreba,dalam bahasa Tidore],akhirnya hanya “membeli” pemain dari luar.
□□□□□□□
Di fakta lain,kita menghadapi hal yang nyaris sama,mengontrak qari dan qariah dalam ajang MTQ dan STQ mulai dari tingkat paling bawah,kecamatan.Pernah ada fakta,peserta yang tak lolos seleksi di kecamatan A,di kontrak oleh kecamatan B,dan lucunya jadi juara di tingkat kab/kota.

Dalam sebuah obrolan,ada teman yang berargumen bahwa hal itu bisa terjadi dari sisi timing seseorang qari/qariah bisa tampil baik.Saya menimpalinya,bukan soal itu,kalo kita tahu filosofinya mengukur sukses pembinaan di level kampung,yang punya TPQ,misalnya.Kecuali satu,event ini tidak ada embel-embel “tingkat”nya,yang di mulai dari kecamatan,misalnya.Sama seperti di GOT,event yang lebih profesional.Di sini kita tak bisa mengukur sukses pembinaannya di kampung,karena itu bukan konteksnya.Komentar saya di awal tadi sekedar canda.Saya mendapati fakta “kontrak-mengontrak” ini sekian tahun lalu di event begini.

Iklan.

□□□□□□□
Ada sebuah fakta cerita lucu : ketika hendak mengambil keputusan dalam sebuah forum rapat untuk memilih opsi mendahulukan mana,tempat ibadah,sebut saja masjid,atau lapangan sepakbola.Ada argumen kocak dengan memilih lapangan sepakbola duluan.Alasannya,lapangan bisa di pakai untuk sholat tetapi masjid tak bisa di gunakan main bola.Anggap saja ini bercanda dulu.

Tetapi ini fakta yang mungkin terjadi di banyak tempat.Ketika memulai meletakan niat membangun tempat ibadah,warga bersuka cita dari raut yang terpancar ketika sedang gotong-royong.Apalagi di tempat yang belum punya tempat ibadah dan relatif jauh menjangkaunya.Warga dengan segenap kekuatan dan sumber daya yang di miliki,mempertaruhkan niatnya di sini.Suasana familiar,tanpa sekat dan saling ikhlas begitu kuat tergambar.Ini motivasi awalnya.

Tetapi coba di simak ketika semua “pengorbanan” sudah selesai dan hadirlah sarana ibadah kebanggaan bersama itu,orang mulai meletakan kepemilikan di dalamnya,merasa lebih “menguasai”,bisa mengatur seolah itu hak miliknya.Yang lebih tragis,kita seolah melupakan “jasa” orang-orang yang banyak tadi bahkan hingga membangun perlawanan karena rasa suka dan tak suka.Konsolidasi dan integrasi sosial yang susah payah di bangun,hancur seketika.Betapa bodohnya kita.


□□□□□□□
Apa sesungguhnya hal penting dari potongan kisah “lucu” tadi???kita mudah sekali melupakan alasan-alasan filosofis dan mendasar,yang karena alasan-alasan itulah,sebuah keputusan besar yang mensyaratkan banyak sumber daya dan biaya yang di keluarkan,bisa di wujudkan.

Kenapa kita harus membangun TPQ???karena kita bermimpi bahwa di wilayah itu,atau sekurang-kurangnya di kampung itu,akan lahir generasi-generasi yang mahir membaca Al-qur’an,dengan segala kebutuhannya.Mau ada lomba atau tidak,generasi kita,anak-anak dan cucu-cucu kita harus tuntas menguasai kitab suci ini,minimal membacanya dengan khaidah bacaan yang baik dan benar.Kalaupun kelak ada lomba,kita sandingkan “produk” masing-masing TPQ tadi,variabelnya jelas,mengukur sukses pembinaan di level kampung atau TPQ.

Di contoh lain,ketika membangun tempat ibadah,ada banyak fungsi yang melekat di situ.Selain jadi media beribadah [hablum minallah],dia adalah media konsolidasi umat,ada pesan hablum minannas,menjaga hubungan antar sesama demi keutuhan umat.Kenapa sering tersaji fakta bahwa ada klaim “kepemilikan” di situ???karena kita tak memahami filosofinya,sama artinya kita tak paham pesan agama.Tempat ibadah itu bukan simbol “gaya-gayaan” dan jadi gengsi kampung misalnya,bukan itu.

Ketika meletakan niat awal menghadirkan event GOT pertama kali saat itu,saya percaya ada filosofi yang hendak di pertaruhkan oleh mereka-mereka,yang bagi saya,punya visi brilian.Baiknya, dia berjalan bagai air yang mengalir,tanpa ada intervensi apapun di luar kepentingan olahraga sepakbola.Suka atau tidak, GOT telah jauh menjelma jadi event bergengsi,tidak saja di level Maluku Utara.Indikatornya,telah berapa banyak pemain top di negara ini yang pernah berlaga di event ini.Juga,sudah seberapa besar kontribusi ekonominya bagi daerah,hitung saja telah berapa banyak orang yang datang dari luar Tidore untuk menyaksikan event ini,yang telah bertitel,GOT XXVI tahun 2023,sebuah parade konsolidasi sosial dan ekonomis yang luar biasa dengan segala pernak-perniknya.

Letakanlah visi besar di awal ketika hendak menggagas sesuatu dan konsisten menjalaninya,itu prasyarat standar sebuah kesuksesan.Saya tak mungkin menyalahkan peserta rapat yang memilih opsi membangun lapangan sepakbola lebih dulu ketimbang tempat ibadah tadi karena saya juga ragu,jangan-jangan “tesis”nya bisa benar.Wallahua’lam.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *