oleh

GOT XXVI dan Cerita Opsi Kocak Sang Peserta Rapat itu [Part.41].

Tetapi ini fakta yang mungkin terjadi di banyak tempat.Ketika memulai meletakan niat membangun tempat ibadah,warga bersuka cita dari raut yang terpancar ketika sedang gotong-royong.Apalagi di tempat yang belum punya tempat ibadah dan relatif jauh menjangkaunya.Warga dengan segenap kekuatan dan sumber daya yang di miliki,mempertaruhkan niatnya di sini.Suasana familiar,tanpa sekat dan saling ikhlas begitu kuat tergambar.Ini motivasi awalnya.

Baca Juga  Kejujuran Sang Presiden Ksatria

Tetapi coba di simak ketika semua “pengorbanan” sudah selesai dan hadirlah sarana ibadah kebanggaan bersama itu,orang mulai meletakan kepemilikan di dalamnya,merasa lebih “menguasai”,bisa mengatur seolah itu hak miliknya.Yang lebih tragis,kita seolah melupakan “jasa” orang-orang yang banyak tadi bahkan hingga membangun perlawanan karena rasa suka dan tak suka.Konsolidasi dan integrasi sosial yang susah payah di bangun,hancur seketika.Betapa bodohnya kita.

Baca Juga  Conie Layak Dipidana?


□□□□□□□
Apa sesungguhnya hal penting dari potongan kisah “lucu” tadi???kita mudah sekali melupakan alasan-alasan filosofis dan mendasar,yang karena alasan-alasan itulah,sebuah keputusan besar yang mensyaratkan banyak sumber daya dan biaya yang di keluarkan,bisa di wujudkan.

Kenapa kita harus membangun TPQ???karena kita bermimpi bahwa di wilayah itu,atau sekurang-kurangnya di kampung itu,akan lahir generasi-generasi yang mahir membaca Al-qur’an,dengan segala kebutuhannya.Mau ada lomba atau tidak,generasi kita,anak-anak dan cucu-cucu kita harus tuntas menguasai kitab suci ini,minimal membacanya dengan khaidah bacaan yang baik dan benar.Kalaupun kelak ada lomba,kita sandingkan “produk” masing-masing TPQ tadi,variabelnya jelas,mengukur sukses pembinaan di level kampung atau TPQ.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *