Menjelang matahari terbenam di kala gerimis mulai turun, seorang guru bangsa yang lelah menangis sesunggukan. “Tidak ada lagi kebaikan yang tersisa dari rezim ini.” Memang sudah lama orang-orang pandai di negeri ini meninggalkan rakyat untuk hidup selingkuh dengan rezim. Bahkan, mereka ikut mengorkestrasi tentang kehebatan Mukidi.
Tinggal sedikit orang bijak bestari yang coba menahan laju kebinasaan negara. Tapi nampaknya mereka tak bakal kuat bertahan lama. Rezim Mukidi terlalu kuat, didukung legislatif, yudikatif, tentara, polisi, intelijen, buzzerRp, dan oligarki. Terlebih, rakyat banyak yang jahil, militan, dan fanatik.
“Ampun ya Tuhan, aku yang salah,” kata guru bangsa dengan tubuh yanh terguncang. Memang dulu ketika Mukidi muncul sebagai capres, guru bangsa adalah orang pertama yanh bersyukur kepada Tuhan sambil berseru kepada rakyat: “Tuhan telah merahmati bangsa ini melalui Mukidi yang akan membuat kita menjadi bangsa yang kuat, maju, dan makmur. Maka, tak usah pikir panjang lagi, pilihlah dia yanh melalui revolusi mentalnya, marwah kita sebagai bangsa tak diremehkan lagi”.
Tapi tak lama, setelah Mukidi berkuasa, penyelewengan mulai terjadi. Orang-orang kritis mulai bersuara. Mahasiswa mulai protes. Guru bangsa juga mulai gusar. Tapi ia masih membela kebijakan Mukidi. “Kita tak tahu apa maksud Mukidi melemahkan KPK, tapi pasti ada niat baik di balik itu,” kata guru bangsa coba menenangkan mereka yang marah.
Para buzzerRp malah menumpahkan sumpah serapah: “Yang marah itu adalah kadrun picik, pendukung khilafah, yang otaknya terletak di anus.” Bagaimanapun, diam-diam guru bangsa menelpon Mukidi menanyakan alasan rasional di balik pelemahan lembaga antirasuah itu. “Saya terpaksa mengurangi wewenangnya agar tak disalahgunakan para Taliban di dalam KPK itu sendiri. Ini juga sdh sesuai dengan rencana saya melipatgandakan pertumbuhan ekonomi melalui investasi besar-besaran yang terganggu gara-gara kiprah KPK yang terlalu ganas.”
Guru bangsa langsung menutup telepon dengan wajah agak jengkel. Tapi dia masih bergumam, “Bisa saja Mukidi benar. Mungkin saya saja yang terlalu sensitif terhadap korupsi,” kata guru bangsa dalam hati coba meneguhkan kepercayaan dirinya yang mulai goyah. Sementara pertentangan kaum kritis dengan rezim makin tajam. “Rezim Mukidi kian memperlihatkan kepongahannya. Harus dihentikan!”
Komentar