oleh

ROBOHNYA GURU BANGSA

-OPINI-180 Dilihat

Tapi suara kaum kritis tenggelam di tengah hiruk-pikuk para pendusta yang memanipulasi realitas untuk menjaga dukungan pada rezim. Khalayak banyak yang siap untuk didustai senang bukan main mendengar puji-pujian kepada Mukidi yang datang dari para menteri, intelektual palsu, dan buzzerRp. Bagaimanapun, guru bangsa mulai khawatir: kalau akal sehat publik tak dijaga, kalau pertukaran gagasan dimatikan, kegelapan akan menguasai bangsa. “Ah, ini cuma bersifat sementara, besok pagi matahari pasti masih akan terbit,” kata guru bangsa meyakinkan dirinya.

Namun, seiring perjalanan waktu, nurani dan akal sehatnya makin sering diganggu oleh kebijakan-kebijakan rezim yang tidak pro-rakyat. Juga tidak pro-negara. Hanya elite parpol, oligarki, dan rezim komunis Cina yang diuntungkan. Kini guru bangsa lebih banyak mengunci diri dalam rumah. Makin jarang ia membaca berita yang diproduksi kubu Mukidi. Bahkan, hasil survey yang menyatakan mayoritas rakyat puas pada kinerja Mukidi tak ia percayai. “Tak masuk akal,” katanya.

Baca Juga  Selamat Jalan Bulan Suci, TAQABBALLAHU MINNA WAMINKUM” Semoga Berjumpa Kembali di Ramadhan 1447 Hijriyah

Sementara itu, korupsi makin menggurita. Di mana pun kita memandang di situ ada korupsi. Ratusan triliunan, bukan miliaran. Guru bangsan nampak kian tua dan kehilangan daya hidup. “Jangan lagi sebut-sebut nama Mukidi di hadapanku,” katanya kepada istrinya yang ingin tahu pendapat suaminya tentang perkembangan situasi politik terkini. Biasanya istrinya jadi sumber berita pada acara-acara keluarga, arisan ibu-ibu, atau hajatan tingkat RT. Dan dia selalu jadi bintang manakala ia menyampaikan “prestasi-prestasi” Mukidi yang disimak sungguh-sungguh oleh ibu-ibu yg kurang berpendidikan sampai-sampai suaminya ketakutan.

“Hentikan semua itu!” kata guru bangsa suatu hari setelah parlemen yang dikendalikan oligarki melalui Mukidi dan elite parpol mengesahkan UU Covid-19, UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU IKN. Guru bangsa hanya bisa menangis. Mukidi telah memblokir nomor telponnya. “Kita telah ditipu mentah-mentah,” katanya kepada istrinya yang terkejut bukan kepalang.

Baca Juga  Pertemukan GUBERNUR dan Sultan Tidore.Catatan Jemah Haji 2025

Guru bangsa berpendapat Mukidi berwajah ganda: wajah luar dan wajah dalam.Wajah luar adalah wajah kerakyatan yang tulus-ikhlas, yang dulu dijadikan tema kampanye. Wajah dalam adalah wajah durhaka, ambisius, dan culas. “Dia ini penipu, rakus, dan bermental budak. Semua yang dia lakukan hanya untuk oligarki, keluarga, dan dirinya sendiri. Sembako yang dilemparkan dari jendela mobil kepada kaum papah tidak lain kecuali pencitraan. Kalau begini terus pasti negara akan ambruk,” kata guru bangsa terengah-engah sambil menahan dadanya yang kembang-kempis.

Sebenarnya guru bangsa telah melakukan berbagai hal untuk membangunkan rakyat dari tidur panjang. Ini ia anggap sebagai penebusan dosa yang ia lakukan ketika dulu berkampanye untuk Mukidi. Sepanjang hidupnya belum pernah ia melakukan kesalahan sefatal ini. Tapi tulisan-tulisannya yang mengkritik Mukidi tidak dimuat satu pun media mainstream. Ia coba menghubungi para akademisi dan intelektual — yang biasanya sangat respek kepadanya — untuk memberi tahu mereka tentang bahaya yang sedang dihadapi bangsa, tapi semua cuek bebek. Kepala polisi, panglima tentara, pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang ia hubungi pun tak menanggapi keluhannya.

Baca Juga  Guru Tua di Antara Joshua dan Fuad

Bahkan, istri dan anak-anaknya pun memandangnya dengan sinis. “Astaghafirullah,” ia minta ampun pada Tuhan penuh penyesalan. “Dunia telah terjungkil balik. Bagaimana mungkin semua orang telah menjadi jahat dan bodoh seperti Mukidi? Memang aku bersalah. Tapi tak adakah jalan pulang? Mengapa begitu sulit mengembalikan akal sehat rakyat, bahkan rasionalitas orang-orang berpendidikan tinggi?” Ia memandang ke barat, matahari kian mendekat ke ufuk dan hujan mulai turun.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *