oleh

ROBOHNYA GURU BANGSA

-OPINI-90 Dilihat

Di dalam kamar yang sunyi, ia memberanikan diri menghidupkan televisi dengan maksud mencari hiburan. Tapi salah kanal. Yang muncul justru berita penjegalan seorang aspiran capres melalui berbagai cara. Berita itu juga menyebut Mukidi telah meninggalkan Wowo dan mempromosikan si rambut putih. “Bukan main orang ini. Betapa gampangnya dia mempermainkan orang. Dan berkhianat berkali-kali,” kata guru bangsa sambil mematikan tv.

Yang paling sulit dia terima adalah tindakan Mukidi menzalimi bakal capres hanya karena dia tak mau mengikuti jalan yang telah dirintis Mukidi. “Dia ini bangsa Indonesia atau bukan sih? Demokrasi dan HAM dia campakkan begitu saja. Kerusakan besar yang telah ia timpakan atas bangsa ini malah ia hendak paksakan untuk dilanjutkan oleh penggantinya. Herannya, si rambut putih yang nirprestasi dan nirintegritas malah dengan bangga berjanji akan melanjutkan kerja-kerja Mukidi yang dia katakan sukses besar. Naudzubillah min zalik,” katanya murung.

Baca Juga  Guru Tua di Antara Joshua dan Fuad

Cepat-cepat guru bangsa bersalin busana, pakai sepatu, lalu bergegas ke Istana. Kakinya terasa sakit karena sepatunya dipakai terbalik, yang sepatu kiri dipakai kaki kanan, dan sebalik. Dia hendak bertemu Mukidi secara langsung. Hanya ini jalan terakhirnya untuk menyadarkan si dogol itu tentang berbahayanya niat dan rencana-rencananya. Sepanjang perjalanan, pikiran hanya terfokus pada bakal capres yang hendak disingkirkan Mukidi dari arena pilpres.

Baca Juga  ANDAI KITA PUNYA MESIN WAKTU

Guru bangsa tak habis pikir mengapa tokoh yang hebat itu tak diberi kesempatan untuk ikut berkompetisi. “Toh, dialah satu-satunya bakal capres yang mampu menyelamatkan bahtera Indonesia yang nyaris karam ini. Tidak ada yang lain. Seharusnya Mukidi bersyukur ada orang pintar dan bijaksana yang menyediakan diri untuk meluruskan jalan bengkok yang sedang ditempuh bangsa ini. Bkn malah menyokong pemimpin yang serupa dengan dia,” katanya dalam hati sambil mempercepat langkahnya.

Sesampai di gerbang Istana, security menghadangnya. “Bapak tak dibolehkan masuk.” Guru bangsa marah, “bukankah aku sudah biasa ke sini dan kau mengenal aku.” Security tertawa sinis, “Itu dulu. Sekarang Pak Mukidi memerintahkan saya untuk menghentikan Bapak di sini. Pak Mukidi bilang Bapak telah berubah menjadi kadrun dan karena itu Bapak berbahaya. Tolong tinggalkan tempat ini!”. Guru bangsa tersinggung. “Apa kau bilang? Yang jahat, jahil, dan bahlul justru pemimpinmu itu. Biarkan aku masuk menemuinya.”

Baca Juga  Pertarungan Politikus Saudagar, Birokrat dan Aktivis Politik di Perang Kota

Tak banyak bicara lagi, Security yang tegap itu mendorong dengan keras si guru bangsa. Orang tua itu terjungkal hingga ke anak tangga paling bawah. “Ini tidak mungkin, tidak mungkin,” sambil menghembuskan napas terakhir.

Ternate, 1 Mei 2023.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *