Yang menonjol dari “performance” keseharian om Nen setelah kembali dari berhaji,yang di sambut suka cita dan hujan air mata itu,ternyata makin “pribadi”.Hari-harinya di isi aktifitas yang “monoton”,pagi ke kebun,jelang Dhuhur kembali ke rumah,ibadah,bersantap dan istirahat.Malamnya sama,pintu rumah di kunci usai Magrib dan Isya.Sesekali jika ada undangan [koro],om Nen mengenakan nyaris lengkap aksesoris hajinya,di beri tempat “terhormat” di depan dan bersantap di tempat khusus bersama para “tokoh” kampung.Warga kampung menerima fakta keseharian om haji Nen ini sebagai “sudah seharusnya” begitu,tidak ada yang “salah”,malah di sanjungi.
___________________
Di sebuah postingan Facebook sekitar 2 tahun lalu yang saya baca,seseorang yang baru kembali berhaji,mengingatkan para haji.Mungkin dia adalah koordinator regunya,seperti itu kesan.Para haji di wanti-wanti untuk terus menghidupkan amalan-amalan yang di sebutnya satu persatu,yang kesemuanya bernuasa “pribadi”,bukan sosial.Mulai dari sholat wajib,macam-macam sholat sunnah hingga berbagi jenis zikir.Tak ada pesan menyantuni kaum fakir,peduli dengan tetangga dan lingkungan yang berkekurangan,infaq dan sadakah hingga anjuran berqurban di momentum Idul Adha,misalnya.
__________________
Di sebuah acara “doa selamatan” haji di Tidore,seorang karib berbagi cerita tentang dua sosok yang kami kenal,berangkat haji tanpa “ribut”,diam-diam.Relatif tak terdengar informasinya padahal mereka mantan pejabat dan kerabat kami dulu,tak ada doa selamatan “wah”.Yang sempat saya tahu karena salah satu dari mereka,saya mendapatkan sebuah amplop berisi pernyataan “siloloa” [pemakluman] dan permohonan maaf.Hingga kembali dari berhaji,yang sempat teramati,nyaris tak ada perubahan ” aksesories” layaknya om Nen tadi.Semuanya terkesan “biasa-biasa” saja.Aktifitas sebagai guru pada sebuah sekolah menengah bagi salah satunya dan aktifitas sebagai pengelola sebuah pesantren terkenal di Tidore bagi mantan pejabat ini,berjalan biasa saja.Banyak yang kaget ketika mengetahui kalau mereka telah berhaji.
Beda dengan saya,mungkin sering mengenakan baju koko dan songkok “haji”,jenis songkok lipat kecil tapi berwarna bukan putih,tak terhitung yang menyapa haji.Meski dengan sedikit terkesan “geli” dan rada lucu,saya meresponnya datar saja dan sembari berharap ada makna doa dari sapaan itu bagi saya,aamiin.
__________________
Di setiap masuk bulan haji,sering ada share di media sosial,kisah mimpinya Syeik Abu Abdurrahman Abdulllah bin Al-Mubarak Al Hanzhali Al Marwazi,seorang ulama terkenal di Makkah tentang seorang tukang sol sepatu di kota Damsyiq [Damaskus],Syeik Sa’id bin Muhafah,yang terlihat dalam mimpi di sebut oleh malaikat,”haji”nya di terima padahal dia gagal berhaji di sebabkan menyedekahkan biaya hajinya buat makan seorang nenek tua beserta anaknya yang kelaparan.Trenyuh,sebagian biaya itu di sisihkannya puluhan tahun dari hasil kerja sol sepatu ini.Hikmah dari kisah ini : membantu orang di sekitar kita di ganjar setara pahala haji.
Di lain tulisan yang terbaca,gelar yang biasa di sematkan pada nama setelah berhaji,di awalnya,di maksudkan oleh pemerintah kolonial belanda sebagai “strategi” mempermudah identifikasi setiap orang yang baru kembali berhaji setelah melalui karantina tertentu,terhadap penyebaran paham tertentu yang bisa mengganggu otoritas dan kuasa mereka ketika itu,entahlah.
__________________
Ketika mengingat pertanyaan teman tentang kampung-kampung mana saja di Tidore yang tahun ini belum ada calon hajinya,saya mengingat sebuah tulisan Emha Ainun Nadjib,memberi panduan menakar derajat maslahat haji secara fungsional : kampung yang lebih banyak hajinya harus lebih baik dari yang sedikit atau bahkan tidak sama sekalinya.Pesan ini di maksudkan bahwa predikat ini secara fungsional harus menjadi “agen of change” bagi lingkungan dan masyarakat di sekitarnya.Makin besar eskalasi “pelanggaran” nilai di sekitarnya,makin besar tanggungjawab yang di “minta” padanya.Entah itu maksudnya atau bukan,khierarki yang tertulis di Rukun Islam yang lima itu,seperti ada logika dari “kecil” kemudian “membesar”,dari privat ke sosial hingga dhohir ke bathin : mulai dari konsekwensi Syahadat,yang sangat “pribadi” hingga berhaji sebagai perlambang universalitas hingga tanggungjawab Ummah.
Komentar