OPINI

Pilih Mana,Sistem Pemilu Terbuka atau Tertutup : Ini Argumen Kocaknya [Part.45].

Anwar Husen/Kolomnis tetap/tinggal di Tidore.

Dulu,sebelum adanya metode test dan pengukuran dalam seleksi calon pegawai/aparatur sipil negara [ASN] berbentuk CAT [Computer Asissted Test] yakni metode seleksi menggunakan alat bantu komputer guna memperoleh standar minimal kompetensi dasar sebagai prasyarat,umumnya orang ragu dengan metode tes manual saat itu.Wajar jika di setiap ajang seleksi calon ASN oleh kantor pemerintah,nuasa saling “curiga” begitu kuat terendus di sesama peserta tes.Intinya,ada keraguan dan derajat validitasnya.Kata-kata formalitas,orang dalam,dan lain-lain,kerap terdengar meski sayup.Jauh sebelumnya,di era propinsi Maluku,fakta yang heboh itu terjadi : untuk pertama kalinya ujian akhir Sekolah Menengah Atas [SMA] kala itu,menggunakan lembar jawaban komputer [LJK] dan di periksa menggunakan scanner komputer,di sekitar tahun 1997.Outputnya???rata-rata tingkat kelulusan semua sekolah terjun bebas,nyaris hanya di angka 15 hingga 20 persen.Saya,yang kala itu menjadi guru di salah satu SMA di Tidore,kabupaten Halmahera Tengah,merasa “beruntung” menjadi saksi sejarah bagaimana efek langsung penerapan kebijakan secara radikal di dunia pendidikan.

Meski tak menyampaikan secara terbuka,juga sebagai bentuk empati atas fakta banyak “korban” saat itu tetapi diam -diam saya setuju dengan langkah ini dengan beberapa catatan.Alasan dasarnya,fakta hidup dan kompetisi ini berjalan ke depan dan bakal makin sengit.Kita tak cukup siap menghadapinya hanya dengan mempertahankan gaya “pura-pura” ini : dengan segala upaya mengabaikan proses tetapi berharap output yang bagus dan menyenangkan semua orang.

Memori atas dua fakta masa lalu di atas tiba-tiba muncul saat saya membaca berita yang sedang hangat saat ini : perdebatan dan fakta harap-harap cemas sebahagian kalangan dan kelompok kepentingan menanti pengadilan hingga putusan lembaga berwewenang atas “sengketa” sistem pemilu,terbuka atau tertutup.Saya relatif tak punya kepentingan langsung atas apapun implikasinya tetapi sekedar memberi perspektif,yang mungkin kocak terdengar.

Begini,saya membaca sebuah artikel tentang penelitian atas fungsi dan dominasi indera pada manusia,di antaranya mata,indera untuk melihat.Di sebutkan bahwa mata adalah indera penglihatan yang sangat berguna untuk mempersepsikan bentuk,ukuran,warna maupun kedudukan suatu objek.Penglihatan merupakan jalur informasi utama.Jalur informasi lainnya tentu telinga,hidung dan indera perasa.Bahkan di sebutkan bahwa gangguan penglihatan sering mengakibatkan tekanan psiklogis yang signifikan termasuk derajat stres dan depresi.

Jadi konteksnya dengan “jalur tol” pemilu buka-tutup tadi adalah argumentasi yang pro dan yang kontra.Yang pro sistem terbuka sering mangajukan argumen bahwa pemilu dengan sistem tertutup sama dengan membeli kucing dalam karung,artinya membeli sesuatu yang di tutupi,tidak terlihat oleh mata,yang oleh artikel yang saya baca tadi di sebut sebagai jalur informasi utama.Kita memilih gambar calon yang “terlihat” lain tetapi yang lolos lain wajahnya.Artinya,penglihatan sebagai variabel informasi utama tidak di perhitungkan tetapi hanya di sodorkan tanda gambar partai.Pandangan bahwa derajat “hak pilih” tidak teraktualisasi secara langsung sebagai bentuk pengakuan terhadap hak politik setiap warga negara,memilih dan di pilih.Memilih orang dan yang di pilih juga orang.Di sini mungkin masalahnya bagi yang pro sistem coblos orang.Dan kurang lebih,argumen yang pro sistem tertutup,adalah kebalikannya dengan lebih mengutamakan kedaulatan partai,tentunya.Yang pasti,orang memilih karena melihat yang di pilih,bukan karena mendengar,mencium atau bahkan merasa karena meraba-raba.Di kertas suara tidak ada alat pendeteksi penciuman,pendengaran atau bahkan objek yang di raba.

Mirip ceritanya,seleksi calon pemangku jabatan di pemerintahan saat ini,yang berlabel lelang jabatan ataupun assesment.Ketika pertama kali di terapkan,ada harapan bahwa kompetensi calon pejabatnya akan terjaring kompetitif dan terbuka.Faktanya saat ini,tak demikian.Setinggi apapun gelar akademik tim seleksi tak akan berpengaruh banyak.Itu bukan kehendak sistem secara hakiki.Fakta banyaknya implikasi buruk akhir-akhir ini adalah contah paling aktual.

Sampai di sini,pandangan saya soal penerapan kebijakan di bidang pendidikan secara radikal dalam kasus ujian akhir di SMA yang menggunakan LJK dengan pemeriksaan menggunakan sisten scanner tadi dan pandangan bahwa makin ke depan,era dan intensitas persaingan dalam segala hal makin terbuka,kompetitif dan fair,tidak sepenuhnya benar.

Saya masih ingat,dulu sempat viral ada calon yang kalah dalam kontestasi untuk anggota lembaga perwakilan rakyat kemudian terganggu/sakit ingatan karena mungkin kepikiran dengan segala sumber daya yang telah di pertarukan.Padahal sistemnya masih sama seperti saat ini,mencoblos orang,tentu yang di kenal bukan kucing dalam karung.

Saya membayangkan jika sistemnya di balik dan ekspektasi para calon tak sesuai harapan dan sebanding sumber daya yang sudah di “habiskan”,situasi macam apa lagi yang akan tersaji di jalanan umum kita.Selebihnya,pandanglah tulisan pendek kali ini dengan 50 persen serius dan 50-nya lagi kocak.Wallahua’lam.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *