oleh

Polemik System Pemilu Terbuka dan Tertutup, Pertaruhan Demokrasi.

-OPINI-9 Dilihat

“Sebaliknya, banyak pula pihak yang menolak sistem terbuka, dan berpandangan bahwa sistem proporsional tertutup adalah pilihan yang lebih sesuai dengan cita-cita proklamasi dan amanat reformasi yang telah digulirkan sejak 1998,” kata Hafid Abbas di hadapan pimpinan sidang Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya.

Hafid menjelaskan, pihak yang menolak sistem terbuka berpandangan bahwa dengan berlakunya Pasal 168 UU Pemilu secara langsung telah mereduksi kedudukan partai politik dari posisinya selaku kontestan pemilu. Bahkan dinilai pergeseran hak untuk menempatkan kandidat dari partai politik kepada kuantitas suara terbanyak ini jelas bertentangan dengan konsep kedaulatan rakyat yang diatur oleh Pasal 1 ayat (2), (3), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (2), (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu tidaklah dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia melainkan dilakukan menurut cara yang ditentukan oleh UUD yakni oleh ketentuan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dilakukan oleh partai politik melalui kepersertaannya di pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD dan Presiden serta Wakil Presiden.

Baca Juga  TAMBANG KONGLOMERAT dan PETANI KONG MELARAT, PRABOWO KEMANA

“Dengan pemilu secara proporsional terbuka, kelembagaan partai politik teramputasi karena meski ia peserta pemilu legislatif tetapi yang muncul dominan adalah figur orang per orang. Akibatnya, partai politik tidak lagi dipandu oleh visi idealisme, kebangsaan, idiologi, kaderisasi, dedikasi dan kompetensi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat tetapi sudah tergantikan dengan demokrasi elektoral, pragmatis, short cut dan ketika terpilih akan menggunakan kekuasaannya untuk mengembalikan modal,” jelas Hafid.

Dengan keadaan seperti itu, partai politik tidak lagi berdaya dalam menjalankan perannya, misalnya: menyiapkan kaderisasi terbaik bangsa; melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan seterusnya.

 

Sisi Gelap Pemilu Berbiaya Mahal

Belajar dari pelaksanaan empat kali pemilu dengan sistem proporsional terbuka, ungkap Hafid, banyak pelajaran berharga yang patut kita petik. Sebagai ilustrasi, hasil penelitian Tempo satu dekade silam, menunjukkan bahwa biaya calon anggota DPR RI dapat mencapai Rp 6 miliar (Tempo, 22/4/2013). KPK telah mengungkapkan pula bahwa biaya yang harus dikeluarkan seseorang agar terpilih menjadi Kepala Daerah (Bupati, Walikota atau Gubernur) bervariasi antara Rp 20-100 miliar atau rata-rata Rp 60 miliar.

Baca Juga  11 Tokoh Membangun Perlawanan Terhadap Oligarki

Dengan biaya politik sebesar itu tentu hanya akan menjaring orang-orang yang berduit untuk mendominasi perolehan kursi di legislatif atau pun di eksekutif di pusat dan daerah. Di sisi lain gaji pejabat Indonesia 2019-2024, mulai dari Bupati hingga Presiden, terlihat amat rendah. Jika seorang Bupati berpendapatan hanya dari gaji pokok dan tunjangan resminya sebesar Rp 5,88 juta sebulan (gajimu.com), maka untuk mengembalikan modalnya, ia harus bekerja sebagai Bupati selama 170-171 tahun.

Rentetan sisi gelap dari pemilu berbiaya mahal itu, dampaknya antara lain: Pertama, para wakil rakyat, dan para pejabat pusat dan daerah yang dipilih dengan sistem terbuka itu (elit politik), tentu tidak akan mengabdi untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat. Sebab, mereka sudah tersandera oleh beban untuk mengembalikan biaya politinya. Cara mudah untuk mengembalikan biaya politik itu, adalah dengan merangkul korporasi dengan memberinya hak penguasaan lahan, tambang, dan sumber-sumber daya alam (SDA) setempat, dsb.

Sehingga Hafid berharap pelaksanaan pemilu 2024 secara proporsional terbuka tidak akan diberlakukan lagi karena telah secara nyata menghasilkan wakil rakyat di pusat dan daerah yang telah membawa negeri ini semakin menjauh dari cita-cita proklamasi dan amanat reformasi 1998.

Baca Juga  RM “Kong” Ketua PGRI ? Coba Itu.Sebuah Catatan Terpilihnya Rizal Marsaoly Sebagai Ketua PGRI Kota Ternate.

Kesimpulan.

Syatem proporsional tertutup dan terbuka sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan yang substansial.Problem nya lebih pada soal teknis bukan pada aras gagasan besarnya.

Danpak biaya tinggi yang ditimbulkan syatem

proporsional terbuka hanya bersifat tehnis bukan sistematis sehingga harus dicarikan solusi yang tehnis pula.Kita tentu harus membakar hanya untuk membunuh tikus, tetapi idealnya membunuh tikus itu sendiri dan menjadikan rumah tempat yang ideal dan nyaman bagi penhuninny.Saatnya pemerintah memikirkan syatem pemilu yang berdanpak berbiaya  murah dan pembiayaan terhadap parpol sehingga konsolidasi politik tidak berefek pada kekuasaan yang korup.

Syatem proporsional terbuka adalah pilihan ideal yang konstitusional sesuai semangat reformasi.Kita tentu tidak hidup dalam era reformasi dengan spirit konstitusi orde baru .

Dalam rangka memperkuat peran partai politik terhadap kader-kader nya, bangunlah sistem yang memperkuat partai politik.Syarat kader yang dicalonkan sebagai calon anggota legislatif misalnya, minimal menjadi kader dan pengurus parpol kurang lebih 4 tahun terakhir.Sistim ini selain memperkuat kaderisasi di internal parpol juga dalam rangka penguatan kader idiologis seperti yang dok haturkan Prof Yusril Ihza Mahendra.

Wallahualam Bisaawab !

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *