Fakta lain di Tidore khususnya,ada sarana publik tempat ibadah di tengah kota,yang bisa di bilang “gagal” struktur dan konstruksi hingga desainnya.Padahal teramat besar investasi jamaah dan publik di sini,yang berujung menjadi bahan guyonan sebagian kalangan yang awam soal-soal begini,sekalipun.Padahal tempatnya di tengah kota,di pusat kesibukan,yang di harapkan bisa mengakomodasi kepentingan jamaah yang heterogen dan kadang jadi masjid “transit” antar pulau/kota.
Kamipun,bersepakat dalam beberapa hal karena ada gejala “kegagalan” dari berbagai aspek khususnya bangunan publik dengan pendekatan swadaya,tempat ibadah,masjid.Variabel itu di antaranya adalah visi dan mindset.Proyeksi usia pakai,rencana pembangunan hingga rampung,estimasi dan rencana sumber biaya.Selebihnya,aspek estetik yang mengakomodasi trend yang sedang berkembang dan ke depan nanti melalui perangkat tekhnogi yang mudah di akses saat ini.
Melibatkan banyak orang dengan banyak pikiran yang rata-rata awam,juga butuh manajemen tata kelola yang baik.Apalagi jika para imam dan staf sya’ra sudah mau merangkap sebagai “konsultan” dan tenaga tekhnis.Di sini,salah satu “kegagalan” tadi.Biasalah,sarana publik di kampung,punya sumber daya yang terbatas tetapi potensi merasa paling tahu,mau pakai nomor 10,istilah karib saya ini,juga tinggi.Semua seolah mau jadi “ketua”.
Dunia arsitek kini berkembang sudah sangat jauh.Anda alumni arsitek di jaman meja gambar yang merangkap meja pimpong dulu,sudah jauh tertinggal jika sensitifitas seni dan tekhnis,tak mampu di asah untuk mengakomodasi kemajuan saat ini yang sudah dalam tahapan programer dengan variabel dimensinya yang utuh,anda ketinggalan.Produk anda,mungkin mungkin bisa membuat orang awam “eleng”,istilah karib saya ini untuk menyebut mengakui,tetapi bagi kalangan yang cukup wawasan,anda di “tertawai” karena anda mendesain bangunan publik untuk proyeksi puluhan bahkan hingga ratusan tahun ke depan tetapi menggunakan pengetahuan dan wawasan estetik 20 tahun lalu.Ini salah satu faktor kegagalannya.
Komentar