HUKUM

Margarito Kamis Minta Hakim Cermat Jelang Putusan Sidang M. Ichsan Effendi

Dr.Margarito Kamis : Musti menyatakan bahwa penilaian itu salah dalam seluruh aspek, kenapa? Tidak ada buruh di pelabuhan yang pakai sertifikat. Hampir dapat dipastikan sertifikasi motoris speed boat ini juga tidak punya sertifikat.

PIKIRANUMMAT.COM – Kasus dugaan tindak pidana korupsi anggaran penyertaan modal Perusda Ternate Bahari Berkesan (TBB) dengan terdakwa mantan Dirut, M. Ichsan Effendi bakal memasuki babak akhir dimana putusan sidang akan disampaikan pada tanggal 26 Juli 2023 di Pengadilan Negeri (PN) Ternate.Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, saat dikonfirmasi pikiranpost.com, Sabtu (22/7) mengatakan Hakim Pengadilan Tinggi harus cermat mengenal dua hal. Pertama, sikap Pemkot yang menolak permintaan terdakwa M. Ichsan Efendi untuk menghadirkan auditor eksternal dalam mengaudit perusahaan perusda.

Mengapa itu harus diketahui, kata Margarito, karena dari situ kekurangannya akan segera ditahu, termasuk adanya kerugian performa perusahaan, dengan begitu kerugiannya segera dikenali dan dikenalinya secara bertanggung jawab.

“Dengan begitu maka, Ichsan dapat melakukan perubahan, tetapi faktanya itu ditolak dan belakangan dianggap ada kerugian keuangan negara. Saya minta agar hakim cermat mempertimbangkan hukum dari peristiwa itu,” tegasnya.

Kedua, jelas Bang Ito sapaan akrabnya, apakah tindakan yang dinilai melawan hukum itu betul-betul melawan hukum atau tidak. Hal itu mesti dikenali. Oleh karena tidak masuk di akal menghukum atau menyatakan perbuatan itu melawan hukum hanya karena Ichsan membayar speed boat atau orang yang mengangkat barang (buruh) lalu dianggap melawan hukum hanya karena orang-orang itu tidak memiliki sertifikat.

Menurutnya, judgement atau pertimbangan itu salah. Ia menanyakan, apakah dengan pembayaran Ichsan kepada pekerja dikualifikasi sebagai melawan hukum atas dasar bahwa pekerja-pekerja tidak memiliki sertifikasi sebagai pekerja motoris.

“Musti menyatakan bahwa penilaian itu salah dalam seluruh aspek, kenapa? Tidak ada buruh di pelabuhan yang pakai sertifikat. Hampir dapat dipastikan sertifikasi motoris speed boat ini juga tidak punya sertifikat,” ucapnya.

Selain itu, Hakim musti jelas mencermati, melihat fakta yang berkaitan dengan terjadinya perbuatan itu. Apa betul, tanya Bang Ito, perbuatan itu terjadi tahun 2019. Kalaupun perbuatannya terjadi di tahun 2019, maka Hakim mesti tahu betul apakah perbuatan itu berkaitan dengan penanganan covid-19.

Kalau misalnya perbuatan itu terjadi jauh sebelum 2019 tetapi diadili atau diketahui pada 2019, maka tidak ada alasan menggunakan peristiwa covid-19 untuk memberatkan hukuman.

Hakim, kata Bang Ito, musti tahu kalau kerugian keuangan negara dianggap ada dan ditimpakan kepada Ichsan, katakanlah sejumlah Rp 400 juta lalu Ichsan belum bayar sama sekali.

Sementara ada orang lain atau terdakwa lain yang dituduhkan melakukan kerugian negara yang sama, tapi sudah mengembalikan katakanlah setengah. Dan atas dasar pengembalian itu lalu ia dihukum satu tahun, maka hakim musti logis dalam mempertimbangkan fakta.

“Fakta pengembalian itu, kalau Rp 400 juta dikembalikan Rp 200 juta lalu orang yang mengembalikan itu dihukum satu tahun sementara ada Ichsan yang merugikan keuangan negara atau tidak dikembalikan sama sekali dihukum 7 tahun itu konyol namanya,” lanjutnya

Bang Ito, menyampaikan, ada alasan yang cukup untuk mengatakan bahwa Ichsan difitnah dan dihukum lebih ringan, karena fakta-fakta yang disampaikan itu menurutnya bukan fakta yang melawan hukum dan tidak dapat dikualifikasi sebagai kerugian keuangan negara.

“Karena itu menurut saya beralasan kalau Ichsan dibebaskan. Hakim tidak perlu takut karena itu, hakim harus tahu bahwa menghukum orang itu harus didasarkan pada fakta yang meyakinkan secara obyektif dan hukumnya juga meyakinkan secara obyektif,” bebernya.

Bang Ito menuturkan, kalau perpaduan antara fakta dan hukum menghasilkan konstruksi hukum bahwa perbuatan itu bukan melawan hukum maka orang itu tidak bisa dihukum. Olehnya, Hakim tidak perlu takut dengan penilaian orang tentang itu.

“Bukan menggunakan kenyataan bahwa korupsi itu begini dan begini, terus orang tidak bersalah dihukum saja, itu salah, hakim harus bertolak dari norma dan fakta yang relevan. Faktanya obyektif dan hukumnya obyektif,” pungkasnya.

Sebelumnya, mantan Dirut Perusda TBB M. Ichsan Effendi divonis 7 tahun penjara, serta denda sebesar Rp300 juta, subsider 6 bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi( Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN)Ternate.

Atas dasar vonis tersebut, Ichsan kemudian mengajukan berkas banding melalui kuasa hukumnya yang dikirim pada tanggal 22 Juni 2023 dengan nomor perkara W28-U2/1722/HK-07/6/2023.(*)

Penulis : Ihdal Umam
Editor : S. S Suhara

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *