OPINI

Dari Bocah Pingsan Hingga Rilis Lembaga Survey : Jadi Ingat “Halaman 10” [ Part.64].

Anwar Husen/Kolomnis Tetap/tinggal di Tidore.

 

Di sebuah WAG,seorang karib mengunggah sebuah potongan vidio seorang anak pingsan karena karena kelaparan di keramaian kota.Tersebut dalam vidio itu,lokasinya di Rangkasbitung,kabupaten Lebak,Banten.Dia seorang bocah perempuan yang terlihat pingsan di trotoar jalanan dan di tolong seorang anggota polisi.

Anak ini,jatuh pingsan di trotoar jalanan kota, karena kelaparan di sebuah negara yang melimpah ruah,komentar salah satu anggota grup.Mungkin maksudnya,melimpah ruah kekayaan alam.Kalau pakai tafsir surah Al-Maun, maka pemerintah termasuk mereka yg berkecukupan di lingkungan sekitarnya merupakan para “pendusta agama”.”Tahukah kamu siapakah pendusta agama itu,yaitu mereka yang menghardik anak yatim,dan tidak menganjurkan memberi makan fakir miskin,komentar anggota lainnya.ini di WAG Selasa lalu.

Malamnya,saya membaca komentar sebuah akun ketika me-retweet potongan sebuah berita media yang membandingkan dua sosok calon presiden yang siap berkontestasi nanti di tahun depan,dari aspek ketaatan beragama.

Dia menulis dengan sedikit guyon bahwa jangan-jangan nanti lembaga ini bikin survey siapa yang nanti masuk Neraka di antara dua calon presiden tadi.Dia menambahkan,yang penting ada rilis untuk menyenangkan seseorang.Ini di Twitter.

Satu beritanya lagi,masih di Twitter,Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan,melaporkan terdapat 3.3 juta penduduk Indonesia yang masuk dalam katagori miskin ekstrim dan konsentrasinya terbesar ada di Indonesia bagian timur.Kemenko PMK ini mendefenisikan kemiskinan ekstrim sebagai suatu kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kemampuan dasar,yang mencakup makanan,akses ke air bersih,sanitasi layak,kesehatan,tempat tinggal,pendidikan dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial.

Rilis BPS tahun 2022 menyebutkan bahwa ada kenaikan IPM Indonesia rata-rata 0.77 persen per tahun selama 2010-2022 dan terjadi pada semua dimensi,baik umur panjang dan hidup sehat,pengetahuan dan standar hidup layak.Pada dimensi umur panjang dan hidup sehat,bayi yang lahir pada tahun 2022 memiliki harapan untuk dapat hidup hingga 71.85 tahun,meningkat 0.28 tahun di banding mereka yang lahir tahun sebelumnya.

Headline koran harian Malut Post Rabu,paginya,mengangkat judul,Enam Ribu Anak Malut Alami Stunting.Laporan ini juga menyajikan data persebarannya di semua kabupaten dan kota di Maluku Utara.

Pagi tadi,saya membaca berita tentang rilis sebuah lembaga survey.Lembaga ini adalah divisi litbang dari sebuah perusahaan media ternama yang punya koran hingga TV.Mereka merilis elektabilitas para calon presiden dari surveynya lengkap dengan grafis prosentasenya.Siangnya,saya membaca berita di media lain lagi,seorang pakar komunikasi dari salah satu perguruan tinggi ternama,meragukan hasil survey tadi dari sisi metode dan jumlah sampel serta ada sedikit alasannya bahwa ini ada hubungannya dengan politik media untuk kepentingan tertentu.

Di berita lainnya juga yang sudah sering kita baca dari rilis lembaga survey bahwa ada fakta tingkat kepuasaan publik yang tinggi terhadap kinerja pemerintah.Dan rilis ini terpublikasi konsisten setiap waktu.

Bagi semua kita,yang terbiasa dan rutin menilik perkembangan setiap situasi soal apa saja,dan di media apa saja,mengkin kita akan punya kesimpulan sama,sekurang-kurang,tak jauh beda : ada “perang” opini yang luar biasa.Bentuknya bisa macam-macam hingga memicu keraguan tentang validitas dan nilai sebuah informasi yang tersedia.Khalayak,publik,benar-benar berada pada frame “pukat harimau” informasi yang nyaris tak ada “jalan keluar”nya.Persepsi kita tentang “sesuatu”,begitu mudah di giring hingga di bentuk.

Sampai di sini,saya jadi ingat apa yang saya baca sekian tahun lalu,bahwa “tahu” [know] adalah tingkatan paling rendah dari cara memperoleh pengetahuan.Di atasnya ada pemahaman,aplikasi,analisis,sistetis dan evaluasi.Pengetahuan hanyalah “sebatas” hasil penginderaan seseorang terhadap sesuatu objek dengan panca inderanya,menemukan gejala melalui penginderaan.Sebatas itu.Di atasnya masih ada 5 tingkatan lagi.

Jika setiap kita hanya bisa menjadikan “tahu” [know] sebagai filter menyeleksi setiap informasi maka akan ada potensi “kesesatan” di sana.Rumitnya,tingkatan ini menjadi mayoritas dalam struktur masyarakat kita yang potensial di “garap” pemilik media sebagai pengendali informasi.Sebut saja masyarakat kebanyakan,awam yang punya tingkat pendidikan hingga pengalaman yang minim,akan menelannya mentah-mentah tanpa menganalisa.

Cerita Tuan Guru Bajang pada peringatan hari Pers nasional di Lombok di tahun 2018,di depan presiden Jokowi,masih menarik di tulis ulang untuk jadi pengingat kita setiap waktu,bahkan sampai kapanpun,minimal sebagai “panduan” menyeleksi kualitas setiap informasi yang di dapat.

Apa itu???apalagi lagi,kalau bukan berita media di Mesir di jaman rezim totaliter,di waktu lampau : halaman 10,iklan berita duka.Wallahua’lam.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *