OPINI

Memori Dua Kepala Daerah : Belajar Model Inovasi dan Gaya Memimpin [Part.65].

Anwar Husen/Kolomnis Tetap/tinggal di Tidore.

 

Ada dua “kisah” yang masih kuat tersimpan di memori saya yang ingin saya tulis.Ini berkhaitan dengan prilaku dan model kepemimpinan kepala daerah dalam memaksimalkan layanan kepada masyarakatnya.Yang pertama adalah mantan bupati kabupaten Gorontalo kala itu,David Bibihoe Akib.Ketika lagi trend inovasi dan pendekatan kepemimpinan kepala daerah saat itu,dia memperkenalkan model berkantor di kecamatan sebagai bentuk inovasi.Dengan waktu dan wilayah basis kantor bupati “sementara” yang terjadwal serta sumber daya perangkat daerah yang menyertai atau mendampinginya.Bersama beberapa kepala daerah seperti Sragen di Jawa Tengah dan Jembrana di Bali,mereka di undang Metro Tv untuk berbagi pengalaman inovasinya di acara Kick Andy karena mendapatkan award dari kementerian terkait.

Berkantor di kecamatan agar bisa mengenali masalah,menyerap aspirasi hingga menyelesaikan masalah saat itu juga.Selebihnya,membangun komunikasi yang lebih “hakiki” dengan warga yang di pimpinnya.Itu pak David di Gorontalo.

Dulu di era 80-an,sebelum mekar,Halmahera Tengah yang masih berstatus daerah administratif—kabupaten tidak,kecamatan bukan,punya kepala daerah hebat bernama I.E.Toekan.Sosok cerdas,peduli dan sederhana ini punya kebiasaan rutin yang di lakukan setiap hari Jumat,puluhan tahun sebelum orang akrab dengan istilah blusukan saat ini : berjalan kaki selepas Subuh menyasar beberapa kampung sekitar dan juga pasar Sarimalaha di kampung sebelah kediaman dinasnya,berjarak kurang lebih dua kilo meter.Menggunakan celana pendek dan kaos lengan pendek khasnya berwarna putih,beliau momotret dan berdialog dengan warga tentang masalah yang di hadapi mereka.Siangnya,belia menjadi khatib sholat Jumat yang di gilir dari masjid ke masjid.Tema khutbah atau ceramahnya,lebih pada memberi tahu masalah yang di dapatnya pagi tadi dan berharap jadi tanggungjawab bersama.Beliau pengagum Muhammad Ikbal,pemikir Islam dari Pakistan,tipikal pembaharu.

Kemarin,kami mendiskusikan tentang temuan Ombudsman RI perwakilan Maluku Utara soal indeks pelayanan publik daerah di 10 kabupaten/kota dan 1 provinsi di Maluku Utara.Berita media ini memberi konfirmasi,rata-rata indeksnya berada di level sedang dan bawah.Ini di diskusi saya dan teman-teman ASN dalam sebuah forum.Hingga,mengidentifikasi variabel-variabel yang jadi sebabnya.

Bagi saya,prilaku dan kultur di lingkungan kerja harus tercipta sedemikian rupa untuk menjadi kekuatan pendorong tumbuhnya kreatifitas dan daya inovasi yang kuat guna mendorong indeks pelayanan publik kita menjadi lebih baik.Jika kita lama membangun asumsi bahwa tersedia anggaran yang cukup,SDM pelayanan yang memadai,sarana dan peralatan kerja yang tersedia dan tata laksana sesuai yang di atur oleh ketentuan sebagai variabel pra-syarat terbangun dan berkembangnya kreatifitas dan daya inovasi yang kuat,coba kita “menguji” tesis lain : prilaku dan kultur kerja.

Semua ini untuk menjawab tantangan dan kondisi objektif yang di hadapi seperti adanya fakta ekspektasi atau harapan masyarakat terhadap kualitas layanan pemerintah terus berkembang dari waktu ke waktu,variabel akses terhadap keterbukaan informasi publik mempengaruhi kesadaran masyarakat terhadap haknya mendapatkan layanan sesuai aturan,peran media massa begitu besar dalam membangun kesadaran masyarakat mendapatkan hak pelayanannya dan pelayanan pemerintahan yang berkualitas telah menjadi isu publik yang terus bergulir,adanya hasil survey lembaga Ombudsman Maluku Utara tadi,berita media massa dan opini publik di media sosial yang terekspos tentang pengaduan terhadap kualitas layanan pemerintahan yang di anggap belum maksimal setiap waktu dan unjuk rasa kelompok masyarakat yang mempersoalkan dan menuntut kualitas layanan yang baik.Variabel-variabel di atas setidaknya menjadi indikasi bahwa kualitas layanan pemerintahan masih perlu di benahi terus menerus.

Jadi tantangannya adalah bagaimana menjawab kondisi objektif dan fakta yang di hadapi tadi.Kita cenderung masih menggunakan variabel dan asumsi pra-syarat menghasilkan layanan berkualitas dari aspek yang lebih bersifat fisikal,misalnya : layanan berkualitas akan terbangun jika tersedia anggaran yang cukup,sarana/prasarana dan peralatan kerja yang memadai,sumber daya manusia [ASN] yang trampil serta tata laksana yang umum dalam prinsip-prinsip mengelola organisasi pemerintahan dan cenderung mengabaikan aspek bahwa subjek pemberi layanan di garda terdepan yakni ASN dengan segala tingkatan jabatannya adalah manusia yang juga memiliki emosi dan tidak sekedar makhluk fisikal sehingga prilaku dan kultur di lingkungan kerja perlu di dorong.

Secara sederhana,prilaku dan kultur kerja bisa di defenisikan sebagai keseluruhan interaksi yang tercipta di lingkungan kerja baik di lingkungan lembaga pemerintahan maupun di lingkungan yang lebih spesifik [SKPD] yang terjadi sedemikian rupa hingga terbangun nilai-nilai positif yang menjadi panduan bersama.Orang tidak merasa terikat dengan nilai karena di paksakan tetapi karena kesadarannya sebagai makhluk yang memiliki emosi dan kesadaran.

Sebuah nilai yang di bentuk dengan aturan dan di paksakan,akan cenderung fluktuatif hasilnya dan sulit di ukur.Tetapi jika terbentuk karena kesadaran secara manusiawi,akan lebih lama bertahan hingga bisa menjadi etos yakni kesadaran pada nilai-nilai positif dalam bekerja dan memberi pelayanan yang sudah terlembaga dalam diri setiap subjek pemberi layanan [ASN].

Secara umum,kreatifitas di defenisikan sebagai penggunaan imajinasi atau ide-ide orisional dalam menciptakan sesuatu.sedangkan inovasi lebih menunjuk pada pengenalan layanan,produk,bentuk dan lain-lain,yang baru atau lebih baik.jadi bisa di simpulkan bahwa inovasi adalah bentuk dari kreatifitas.Sedangkan ciri-ciri inovasi yang umum adalah hal yang baru,punya ciri khas,memiliki keunggulan,punya tujuan yang jelas.sedangkan tujuan dari inovasi itu sendiri adalah guna meningkatkan kualitas layanan dan perbaikan atau pengembangan dari produk layanan sebelumnya.Di era digitalisasi ini,bentuk inovasi itu lebih banyak mengarah ke aplikasi sebagai sarana praktis,efektif,mudah dan murah.Tetapi rentang kendali dan infrastruktur sarana komunikasi masih menjadi kendala.

Lantas bagaimana mendorong prilaku dan kultur positif di lingkungan kerja di luar variabel umum dan bersifat fisikal seperti yang telah di atas.Bagi saya,variabel model kepemimpinan yang transparan,menghaegai,menonjolkan nilai-nilai humanis dan manusiawi,mengedepankan prinsip dalam bekerja sebagai bagian dari ibadah yang tidak saja punya implikasi materi tetapi juga tabungan amal setiap orang,mendorong situasi dan lingkungan kerja yang kondusif dan penuh keakraban,menghormati dan menghargai perbedaan,menjunjung tinggi prinsip-prinsip akademis dalam berpendapat,membangun prinsip bahwa lingkungan kerja adalah bentuk lain dari komunitas kecil selain keluarga,menghargai prinsip reward dan punishman,ada persepsi dan perasaan yang terbangun tentang perlakuan yang adil,prilaku dan aktifitas yang lebih banyak di dasari nilai-nilai agama dan lain-lain,di lingkungan kerja,adalah model pendekatan humanistik dan egaliter yang penting.

Jika variabel-variabel di atas bisa di dorong untuk berkembang dan menjadi panduan bersama dalam bekerja maka nilai-nilai positif lainnya akan ikut terbangun,seperti merasa malu karena tidak disiplin,termotivasi untuk selalu hadir tepat waktu,ada semangat yang optimal dalam bekerja,ada motivasi yang kuat untuk berprestasi,ada kerelaan untuk saling menolong,saling mengingatkan pada hal-hal positif,terbangun tanggungjawab bersama mencegah hal-hal buruk,dan lain-lain.

Dan di atas fondasi lingkungan kerja yang memiliki nilai-nilai positif yang kuat seperti ini bisa menjadi pra-syarat muncul kreatifitas dan inovasi secara spontan dan dengan sendirinya sebagai pendorong perubahan layanan berkualitas di lingkungan kerja karena telah ada jaminan ketenangan “bathin” dari orang/subjek pemberi layanan/ASN sebagai syarat mengeksplor kemampuan dan bentuk kreatifitas serta daya inovasinya.

Dan terpenting,apapun bentuk dari produk kreatifitas dan daya inovasi yang di ciptakan,harus senantiasa menggunakan lembaga perguruan tinggi [PT] sebagai mitra untuk mengekseminasinya karena ada prinsip-prinsip akademis yang harus di gunakan sebagai dasar menganalisis ketepatan dan bagaimana mengukur ekspektasi masyarakat terhadap setiap produk dan bentuk layanan.Prinsip akademik yang umum di kenal,evidence based policy,kebijakan berbasis bukti.Dari aspek data saja,basisnya mulai bergeser ke data ril [riil time] dari sebelumnya berbasis time series.

Saya bercanda ke teman,kreatifitas dan daya inovasi mustahil muncul dalam kondisi perut yang lapar dan pikiran yang kacau.Dan dua mantan kepala daerah tadi memahami benar apa yang mereka lakukan.Wallahua’lam

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *