Pisang Calvandis Hingga Ikan Asin Pulau Widi : Berharap Jadi Tanda Takjub dan Rasa Syukur [Part 59].
Anwar Husen/Kolomnis Tetap/tinggal di Tidore.
Di FORDISTA,sebuah WAG para alumni HMI Maluku Utara,kami kerap mempercakapkan menu makan berbahan lokal,dengan memposting gambarnya sembari di beri sedikit caption,paling umum saya lihat,bertulis : sederhana saja atau ringan saja.Tentu ini maksudnya sekedar “baku gara”,saling canda dengan makna bahkan majas tertentu,merendah.
Karib Moksen “Ochen” Sirfefa,yang kadang memperlihatkan panen pisang di belakang rumahnya di Jakarta,yang buahnya terlihat seperti “kurang gizi” tetapi bernilai “mahal” itu,sering di respon dengan gambar “tandingan” dari umumnya,teman-teman asal Tobelo dan Galela yang domisilinya di sana ataupun yang di Ternate dengan foto panen pisang segar dengan keunggulan tertentu.Saya sendiri tak terlalu paham “ilmu” pisang.Tetapi di Galela,kabupaten Halmahera Utara,pernah punya perusahaan jenis pisang Calvandis,berkualitas ekspor.
Saya pernah mengitari kawasan eks perusahaan itu di sekitar talaga Duma dan melihat sisa-sisanya.Juga setahu saya,di Galela dan Tobelo,punya hasil kebun yang rata-rata di akui kualitas dan cita rasanya di Maluku Utara.Mungkin karena efek material vulkanik gunung Dukono yang aktif itu.
Dulu,saya sering order jenis ubi tertentu dari teman di Tobelo.Dan saat bersantap di Royal Resto,sebuah restaurant yang cukup di kenal di kota Ternate,saya pernah iseng bertanya jenis menu tertentu,semisal ubi tadi,di bilang bahwa itu asalnya dari Halmahera Utara.Pisang matang dan ubi ini,yang sering di posting gambarnya oleh senior kami Musriyoni “Oni” Nabiu,yang berdomisili di Ternate tadi.Kadang dari teman lain,Mashuri “Oely” Chalid,ada Popeda,makanan khas berbahan sagu dengan aneka kuah “made in” Patani,Halmahera Tengah,yang bisa bikin orang yang sedang berpuasa,berkurang nilainya gara-gara “menghayal”.
Saya sendiri,kerap memperlihatkan gambar pisang matang yang sedang di panen di halaman rumah tetapi itu di rumah teman.Gambarnya saya “curi” di akun Facebooknya,sekedar membuat baku gara tadi,jadi makin seru.Juga,karib dan Senior kami,Syaiful Bahri Ruray,mantan anggota DPR-RI yang berdomisili di Jakarta,pernah japri pada saya,gara-gara sebabnya yang “sepele” : memperlihatkan foto “ikan garam”,jenis ikan asin yang di awetkan dengan garam,di sertai caption ikan garam Widi.Widi,nama gugusan pulau karang di kabupaten Halmahera Selatan,yang pernah jadi tempat festival mancing berskala nasional di Maluku Utara saat itu.Ko Ipul,sapaan akrab senior ini,menanyakan ikan garam tadi,di mana bisa di dapat.
___________________
Di WAG lainnya,sebuah komunitas warga kampung dari garis ibu,kerap juga hal sama terjadi.Ada warga yang telah lama berdomisili di luar daerah,seperti menunjukan rasa “ngiler” yang hebat jika menu yang umum jadi kebiasaan di kampung khususnya saat lebaran misalnya,di pajang fotonya di WAG itu.Seperti ada “rindu” yang bertepuk sebelah tangan,ingin mencicipi tapi apa daya tak bisa di buatnya karena berbagai alasan.Dan di kisah lain,ada orang “berduit” yang domisilinya di Tidore,rela charter taksi air dari pelabuhan Trikora pergi-pulang,hanya untuk berbelanja menu buka puasa kesukaannya di Ternate,yang biayanya mungkin ratusan kali lipat lebih mahal dari nilai belanjaannya.
Mungkin beda dengan selegram Anang dan Asyanty bersama keluarga mereka yang kerap mengunggah vidio pendek “perade” makan-makan mereka dari menu di emperan hingga ke hotel berbintang,dari pedalaman di desa di Indonesia hingga di jantung metropolis dan manca negara.Saya pernah bersantap bersama mas Anang saat datang ke Ternate sebagai anggota DPR-RI saat itu,dan saya senang melihat ekspresinya saat bersantap,terkesan begitu lahap.
___________________
Kita mungkin sering,sekurang-kurangnya pernah menikmati menu semisal pisang,ubi,ikan bakar hingga popeda tadi di kota-kota besar,Jakarta misalnya.Jika begitu,mungkin kita akan punya pembanding arti “segar”.Ikan segar misalnya.Jika di sini,ikan segar umumnya di mengerti sebagai Ikan yang baru saja mati.Tetapi di sana,ikan yang sudah “berkali-kali” mati,istilah yang kerap kita dengar.Saya bukan sarjana perikanan apalagi ahli Ikan,tetapi kondisi ini yang mungkin berpengaruh terhadap cita rasanya.Juga kadar garam pada habibat lautnya,dan lain-lain.Selebihnya,cita rasa punya “subjektifitas” sendiri.
___________________
Saat masih menjadi “driver” urusan pariwisata di provinsi ini,ada sedikit analog soal pembedaan destinasi “orang kota” dan “orang desa” yang kerap saya pakai.Orang Jakarta yang datang ke Maluku Utara,destinasinya adalah pantai dan cengkih Avo.Orang Maluku Utara yang ke Jakarta,destinasinya,di antaranya,hotel berbintang dan tugu Monas.Sampelnya???salah satunya, lihat parade foto yang kerap muncul di media-media sosial.Kenapa bisa begitu,ya memang begitu.Orang cenderung surprise pada pengalaman pertama.Karib saya yang ahli otak,Taufik Passiak,yang juga sesama KAHMI dan dekan di fakultas kedokteran universitas Veteran- Jakarta,pernah menjawab ini berdasarkan risetnya dalam salah satu bukunya tentang otak manusia.
Tulisan ini,pasti tidak bermaksud mencari “dasar hukum”,sebab mengapa selera kita mesti jadi begitu.Bahkan hingga “berkorban” apa saja untuk bisa mendapatkannya.Saya hanya mendeskripsikan fakta “rindu” yang bertepuk sebelah tangan di WAG komunitas kampung saya tadi,rindu yang sama dari karib dan senior kami di FORDISTA,bang Ochen,ko Ade—sapaan untuk Ade Adam Noch dan beberapa lainnya di tanah Jawa.Dan mungkin juga rindu kita semua : menikmati karunia Tuhan sebagai tanda takjub dan syukur atas nikmatNya.Wallahua’lam.