Era rezim Jokowi ditandai dengan boming tambang di Maluku utara.Mulai dari Bentangan Pulau Halmahera yang memanjang dari Halut, Hal-teng dan Hal-Tim ke pulau Obi, Pulau Taliabu dan Mangoli nyaris disesaki wilayah Izin Usaha Pertambangan atau IUP.Di Pulau Taliabu, bahkan tinggal menyisihkan wilayah pesisir pantai sebagai publik space.
Data MODI menunjukan, seluruh pulau Taliabu merupakan wilayah konsesi IUP biji besi dari para konglomerat di Jakarta.
Total Data dari ESDM, ada 100 IUP dengan luasan wilayah konsesi mencapai nyaris setengah wilayah daratan Provinsi Maluku utara.Dari 100 IUP itu, baru 27 yang beroperasi.
Masifnya tambang memang menjanjikan secara ekonomis.Masing-masing, baik perusahan, pemerintah pusat dan daerah serta sebagian kecil rakyat sebagai pekerja buruh tambang ikut menikmati ceruk tambang baik emas, nikel, dan pasir besi itu.
Provinsi Maluku utara baru bisa meraih nama besar predikat dunia dari pertambangan ini.Dari sektor ini, Malut meraih predikat termulia dalam issu ekonomi yakni pertumbuhan ekonomi 27%, economi growt tertinggi di dunia.Linear atau tidak, Malut juga meraih predikat provinsi terbahagia di Indonesia.
Namun, kutukan tambang tak terelakan dan ekskalasi permasalahannya tak kalah masif.
Pertambangan di Maluku utara bersanding dekat dengan kemiskinan bukan isapan jempol belaka.Nyaris semua daerah kaya tambang di Maluku utara seperti Hal-Teng, Hal-Tim, Hal-Sel dan Taliabu meraih predikat daerah termiskin.
Bukti kemajuan pembangunan Maluku utara juga memang tak sebanding dengan hasil tambang itu sendiri.Predikat pertumbuhan ekonomi tertinggi 27% sebagai pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia nyatanya tak berbanding lurus dengan pembangunan Maluku utara yang sama saja laju pembangunanya dengan pertumbuhan ekonomi masih 6-7%.
Kek jatuh tertimpa tangga, Lingkungan hidup sebagai ekosistem kehidupan mahluk hidup terutama manusia kini terancam dan menyiratkan ancaman di masa yang akan datang.
Kampung-Kampung yang menyimpan memori historis, budaya dan asal usul sosial masyarakat tergusur dari superiornya tambang.Sungai dan situs geopark seperti gua Boki maruru yang dahulu asri dan bening kini keruh laksana air becek.Meminjam ungkapan salah warga nitizen”kondisi air sedemikian, buaya saja bisa sakit mata”.
Terlibat atau tidak pihak perusahan pertambangan dalam kerusakan lingkungan masih menjadi pertanyaan.Namun sejarah kasus kerusakan lingkungan di lingkaran tambang linear dengan usaha ekstraksi mineral logam dan nikel ini.
Kasus keruhnya air Boki maruru bisa ditelisik lebih jauh dan dalam, apakah berbanding lurus dengan sistem pengelolaan pertambangan yang buruk atau tidak.
Pemerintah daerah baik provinsi dan Kabupaten perlu mengambil peran dalam meluruskan soal ini agar tidak bias tak tentu arah.Kasimpulan dari sebuah kajian lingkungan yang ilmiah sangat diperlukan.
Dari sisi ekonomi, pemerintah sudah waktunya mendaur ulang mindsetnya.Sikap manja pemberian karpet merah kepada investor perlu ditinjau ulang, paling tidak eksistensi mereka harus setara dengan kepentingan negara dan rakyat.Win-win solution lah istilahnya, jangan terlampau berat sebelah lalu merugikan pihak negara dan rakyat sebagai pemilik sah SDA Tambang.
Iklim investasi pertambangan memang wajib dijaga pemerintah sebagai pengepul asap dapur negara namun upaya menjaga keadilan ekonomi dan melestarikan ekosistem lingkungan juga tak kalah pentingnya.
Masa depan pertambangan bisa diprediksi dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi namun kehidupan akan tetap berlanjut yang mungkin bukan lagi kita yang hidup hari ini tetapi generasi kelak.Tak heran adagium kaum enveromentalisme berkata “Hutan adalah warisan bagi generasi kelak”.
Seiring jelang sehari bangsa ini merdeka jangan sampai generasi kelak menghitung waktu mundur kehancuran.
”Tambang datang, lingkungan terbilang”.
Usman Sergi, SH/Pemred.
Ternate,16 Agustus 2023.