OPINI

ANIES BERSALAH

Smith Alhadar/Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

 

Anies Baswedan membuat banyak orang terkejut. Juga ambyar. Seperti tanpa beban, ia terlihat ceria ketika pada 2 September lalu di Surabaya Ketum Nasdem Surya Paloh mendeklarasikan pasangan Anies dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar sebagai bakal capres-cawapres yang diusung Nasdem, PKB, dan PKS.

Sebenarnya, sekitar tiga hari sebelum Paloh mengumumkan persandingan Anies dengan Imin itu, ada upaya intensif dari kubu Anies untuk bertemu Ketum Partai Demokrat (PD) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Tujuannya membicarakan perkembangan terbaru terkait tawaran Paloh agar Anies berpasangan dengan Imin saja. Ini bertentangan dengan rencana awal Anies yang telah memilih AHY sebgau pasangannya.

Upaya Anies gagal. Rupanya PD sengaja menutup pintu komunikasi dengan Anies, yang maksud dan tujuannya beretemu AHY dan SBY sudah mereka ketahui. Keadaan menjadi tidak mudah.

Karena opsi-opsi politik yang tersedia untuk memungkinkan Anies bisa ikut kompetisi pilpres tak banyak lagi, sementara waktu nyaris habis, bisa difahami — bukan bisa dibenarkan — bila ia kemudian mengambil jalan tak biasa: menerima tawaran Paloh.

Bagaimanapun, ada pelanggaran etika yang mencolok di sini. Bagaimana mungkin hanya dalam waktu seminggu ia mengambil dua keputusan yang kontradiktif. Pada 25 Agustus, ia menyurati AHY yang menegaskan ia memilih putera SBY itu sebagau cawapresnya. Nyatanya, pada 1 September, ia memilih Imin.

Karena Anies tidak dalam posisi untuk bisa menolak desakan Paloh — sepanjang ia masih ingin nyapres — apakah langkah ini bisa dipertanggungjwbkan secara etis? Tidak. Hal ini hanya benar bila kita mengeluarkan norma dan etika dari politik. Tetaoi politik tanpa etika akan menghadirkan barbarisme yang membahayakan keadaban, bahkan kelangsungan hidup, suatu bangsa.

Pasti Anies terganggu secara psikologis ketika harus  meninggalkan AHY. Tetapi bagi sebagian orang, karena peristiwa ini, Anies yang mereka kenal selama ini sekonyong-konyong “hilang”. Yang muncul justru sosok yang seolah membenarkan adagium “politik itu kotor”.

Bagaimanapun, banyak juga yang mendukung langkahnya. Dan melihat respons PD yang menyatakan keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), disertai tuduhan pengkhianat kepada Anies, sebagai childish.

Kekecewaan PD sangat busa difahami. Seandainya Anies membuang AHY untuk digantikan tokoh yang lebih berbobot dalam konteks politik elektoral dan berasal dari parpol yang jauh lebih besar daripada  PD, mungkin PD bisa memaafkan.

Realitasnya, PD dan PKB adalah parpol sekelas. Demikian juga AHY dan Imin. Malah, dari sisi elektabilitas cawapres, AHY jauh lebih tinggi daripada Imin. PD tak mau tahu bahwa PKB memiliki nilai tambah buat Anies yang tidak dimiliki PD.

Dalam konteks kecilnya suara Anies di Jawa Timur dan Jawa Tengah meniscayakannya memilih cawapres dari pemilih sosiologis di dua provinsi gemuk ini, yaitu kalangan Nahdlyin. Dan hal itu dianggap hanya bisa dipenuhi oleh PKB, yang memang merupakan partai kaum sarungan itu.

Peran cawapres dalam pilpres sangat strategis dan instrumental. Fungsinya menambal kekurangan yang ada pada capres sehingga, dengan sendirinya, ia juga berfungsi sebagai vote getter.

Apa gunanya memaksakan pasangan Anies-AHY kalau potensi menangnya kecil? Kira-kira inilah pikiran Paloh. Tapi PD tidak bisa menerima argumen ini karwna beranggapan posisinya di Jatim cukup kuat. Klaim ini hanya bisa benar kalau kita merujuk pada pilpres 2004 dan 2009 ketika SBY memenangi Pilpres.

Tapi sejak pilpres 2014 dan 2019, suara PD di dua provinsi ini terpangkas lebih dari pada setengah. Lalu, hasil survey Litbang Kompas periode Agustus mengungkapkan, mayoritas pemilih Anies adalah kelompok terdidik dari kalangan menengah atas.

Pemilih ini juga merupakan pemilih PD. Dus, diperkirakan faktor AHY tak punya daya ungkit yang cukup untuk penambahan suara di Jatim dan Jateng. Mengapa? Karena mayoritas populasi di dua wilayah ini merupakan wong cilik simpatisan PKB, selain PDI-P tentunya.

Berpijak pada fakta ini, sejak awal Paloh tak menginginkan AHY mendampingi Anies. Dia sibuk mencari tokoh NU sebagai pasangan Anies. Nampaknya dia, juga Anies, sudah mendekati Gubernur Jatim Khofifah dan Yeni Wahid. Namun, tidak membuahkan hasil.

Sementara AHY telah memberi ultimatum: awal september KPP — terdiri dari Nasdem, PD, dan PKS — sudah harus mendeklarasikan Anies-AHY sebagai bakal capres -cawapres.

Pada saat bersamaan, Gerindra yang telah setahun membangun koalisi dengan PKB — Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) — menunda-nunda deklarasi Imin sebagai bakal cawapres Prabowo Subianto.

Sangat mungkin Prabowo berharap ada partai besar lain (PDI-P dan Golkar) yang bersedia bergabung dengan  imbalan kursi cawapres. Harapan Prabowo terpenuhi setelah Golkar dan PAN bergabung ke KKIR.

Tanpa kehadiran Imin, Gerindra, Golkar, dan PAN mengubah nama koalisi dari KKIR menjadi Koalisi Indonesia Maju. Imin menangkap itu sebagai isyarat peluangnya menjadi cawapres Prabowo sirna untuk digantikan Ketum Golkar Airlangga Hartarto.

Sebagai politisi kawakan, Paloh secara jitu melihat kesempatan bagi KPP untuk merangkul Imin sebagai cawapres Anies now or never. Pucuk dicinta ulam tiba. Lamaran Paloh disambut Imin.

Sejauh ini PKS tetap bertahan dalam KPP dan mendukung Anies. Kendati demikian, terkait keluarnya PD dari KPP dan Imin menjadi bakal cawapres Anies, Majelis Syuro PKS akan menyelenggarakan sidang terlebih dahulu untuk menerima atau menolak situasi baru ini.

Nampak PKS tak punya banyak pilihan kecuali mendukung Anies. Namun, kejutan lain bisa saja terjadi. Misalnya, PD, PKS, dan PPP membentuk koalisi sendiri. Dinamika politik masih berlangsung dengan intensitas tinggi. Segala sesuatu masih busa trjadi.

Baru beberapa hari lalu tidak ada yang menyangka PKB akan mengusung Anies yang datang dari kalangan Islam modernis sebagai capresnya. Bisa jadi juga PD balik lagi ke pangkuan KPP. Karena target AHY harus menjadi cawapres Prabowo atau Ganjar Pranowo sulit terjadi. Kalau balik ke KPP peluang kemenangan Anies-Imin terbuka lebar. Meskipun tidak mendapat kursi wapres, PD diberi lima pos menteri.

Bagaimanapun, perpindahan dadakan Anies dari AHY ke Imin mungkin akan menodai citra Anies sebagau sosok yang independen, konsisten, berintegriras, dan berkarakter. Insiden ini memperlihatkan Anies manut sepenuhnya pada kemauan Paloh meskipun tidak berarti kemauan Paloh berlawanan dengan kemauannya.

Sekiranya tak ada surat Anies kepada AHY mungkin orang akan berpikir lain. Insiden ini juga mau tak mau memberi kesan Anies seorang oportunis. Memang kalau Anies menolak desakan Paloh agar berpasangan dengan Imin, maka Anies bakal gagal nyapres.

PD dan PKS tak punya cukup suara untuk mencapai 20% presidential threshold kalau Nasdem cabut dari KPP. Sebaliknya, bila PD, bahkan juga PKS, cabut dari KPP, Anies tetap bisa nyapres karena suara PKB dan Nasdem cukup untuk mengusung capres-cawapres.

Anies bisa berargumen bahwa dia terpaksa mengikuti kemauan Paloh demi terwujud niat mulianya membangun bangsa ini secara berkeadilan. Artinya, dia boleh “berkhianat” asalkan tujuannya adalah menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Ini janji kemerdekaan yang diulang-ulang Anies sebagai janji yang harys dipenuhi pemimpin bangsa.

Namun, niat baik tak dapat dibenarkan dengan berbuat culas terlebih dahulu. Anies kini mencetak cacat etika yang melemahkan seluruh citra dirinya. Kini tidak mudah lagi baginya untuk bicara secara fasih tentang perlunya karakter jujur dan konsisten pada diri pemimpin.

Kini rakyat Indonesia dihadapkan pada situasi sulit.Tidak ada lagi bakal capres-cawapres yang ideal.Tetapi di antara bakal capres yang tersedia harus diakui Anies masih yang terbaik.

Anies, Prabowo, dan Ganjar pernah menduduki posisi strategis di pemerintahan. Tapi hanya Anies yang meninggalkan rekam jejak yang kinclong. Tak ada cacat moral atau korupsi yang dilakukannya. Legacy fisik dan pikirannnya bertebaran di seluruh pojok Jakarta.

Sebaliknya, Prabowo dan Ganjar nirintegritas dan nirprestasi. Dan keduanya juga sangat ambisius untuk meraih kursi RI1. Akhirnya, harus juga dikatakan bahwa kekotoran politik Indonesia hari ini bersumber dari dua hal.

Pertama, adanya UU Pemilu yang mengharuskan capres-cawapres diusung oleh partai atau gabungan parpol dengan suara minimal 20% kursi parlemen. Kedua, cawe-cawe Presiden Jokowi.

Fenomena ini membuat dinamika politik elektoral tak dapat berjalan secara transparan dan alami. Rakyat tak dilibatkan dalam keputusan stratrgis parpol. Politik Indonesia menjadi sangat elitis dan pragmatis. Demokrasi bercorak transaksional, bukan substantif. Maka terjadi pelanggaran etika oleh semua pihak yang terlibat. Ini juga yang terjadi dalam kasus Anies sekarang ini. Wallahu ‘alam bishawab.

Tangsel, 5 Sept 2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *