Kemarahan Demokrat seolah membongkar kotak pandora yang selama tersimpan rapat. Kemarahan ini membuka fakta yang selama ini jadi spekulasi publik bahwa: “Demokrat siap mengusung Anies Baswedan kalau AHY jadi cawapresnya”. Jika AHY tidak jadi cawapres, Demokrat akan hengkang dari KPP.
Spekulasi publik mulai kebuka hari kamis, 31 Agustus kemarin. Demokrat marah ketika mendengar kabar Anies Baswedan akan berpasangan dengan Muhaimin Iskandar. Banyak kader partai secara spontan menyerang dan mendiskreditkan Anies.
Publik bertanya-tanya: apa salah Anies? Anies diberi mandat oleh tiga partai untuk menentukan cawapresnya. Ketika cawapres sudah ditentukan, kenapa Anies disalahkan oleh Demokrat? Kalau begitu, penyerahan otoritas untuk menentukan cawapres kepada Anies itu gak serius dong…
Publik baru tahu, kenapa Demokrat tidak mau KPP deklarasi Anies Baswedan sebagai capres tanpa ada pasangannya. Rupanya memang Demokrat hanya mau deklarasi kalau pasangan Anies Baswedan itu adalah AHY. Dideklarasikan secara bersamaan. Ini sah-sah saja dalam politik. Daya tawar akan selalu bergantung pada kekuatan yang dimiliki.
Itulah politik. Panggung depan tidak selalu sama dengan panggung belakang. Panggung belakang lebih dinamis, dan pada waktunya akan terbuka dan terbaca publik ketika muncul peristiwa politik.
Demokrat punya hak untuk mengunci Anies Baswedan: siap ikut mengusung kalau Anies Baswedan menggandeng AHY sebagai cawapresnya. Karena memang, tanpa Demokrat KPP tidak cukup syarat mengsung Anies Baswedan. Di sini, Demokrat merasa dalam posisi penentu. Demokrat pegang kartu truf. Punya daya tawar tinggi untuk dimainkan.
KPP, terutama Nasdem merasa tidak nyaman dengan kuncian Demokrat. Terutama sebagai partai yang paling awal deklarasi Anies Baswedan dan mengambil semua risikonya. Nasdem gerah terhadap cara Demokrat menyandera KPP.
Komentar