Untuk kesekian kalinya,saya menulis hal-hal yang bersinggungan dengan masjid.Saya berpandangan,sebagai penganut mayoritas,masjid harus tampil paling depan dan memberi contoh.Di samping sebagai tempat ibadah yang nyaman bagi jamaahnya, masjid sebagai lembaga đengan pengelolanya harus mampu jadi pioner menebarkan “pancaran” kebaikan sekaligus contoh bagi warga di sekitarnya.Di part lain kolom ini,saya pernah “berhayal” bahwa seandainya masjid bisa berpikir lagi orientasi fungsinya dan bertanggung jawab sebagai penebar kebaikan dan pencegah keburukan di radius tertentu maka akan sulit di temukan pelanggaran norma karena relatif kita di kelilingi oleh masjid.Jadi,jika ada warga apalagi anak-anak usia sekolah melakukan pelanggaran nilai di tiris masjid maka itu isyarat kegagalan kita dari aspek fungsional masjid.
Seorang karib bertutur dengan raut tak puas,usai mengalami fakta ini : seorang pengelola masjid di lingkungannya “curhat” di sebuah acara seremoni hari besar agama.Materinya macam-macam.Mulai dari minimnya warga yang datang berjamaah di masjid hingga partisipasi yang rendah terkait biaya untuk peringatan hari besar agama, yang di sebutnya telah menjadi kebiasaan sejak lama.Juga klaim bahwa bahwa yang hadir di majelis-majelis begini pasti di berkahi Tuhan, tidak yang di rumah atau yang tak hadir.Dan banyak hal lainnya.
Saya mencoba menyelaminya dan membedah poin-poin dari ceritanya yang saya asumsikan sebagai variabel yang coba di telisik sebab-sebabnya.Begini, pertama soal “status” kepemilikan masjid.Di tempat domisili asal ataupun di tempat-tempat lain, setiap kita punya pengalaman pernah menjadi jamaah masjid, entah itu sebentar saja atau mungkin bertahun-tahun.Hal itu membuat kita punya pengalaman untuk bisa membandingkan hingga mengidentifikasi “keanehan” yang kita alami.
Saya sendiri punya pengalaman hal-hal kecil di tempat lain bahkan di luar daerah ini khususnya di Ternate, anak-anak di kisaran usia TK hingga kelas-kelas awal SD,yang berlarian bermain di belakang saf makmum saat sedang sholat berjamaah, di anggap oleh jamaah dan pengelola masjid sebagai bukan hal yang luar biasa.Tetapi di masjid lain bisa jadi hal besar karena jadi pemicu pertentangan antar orang tua jamaah yang punya anak tadi.Saya berseloroh, masalahnya di baca buku yang berbeda.Maksudnya soal pemahaman tentang hukum fiqih.
Di kasus lain, pertengkaran antar jamaah terjadi saat sholat berjamaah sedang berlangsung.Pemicunya sederhana, masker.Saat di ramadhan dan sedang mewabahnya “corona”.Di rapat menjelang ramadhan di sepakati menganjurkan jamaah untuk menggunakan masker.Tetapi tidak di sepakati siapa “algojo” yang bertugas menegur bagi yang tak bermasker karena memang hanya anjuran.Malam itu, seorang pengelola masjid menegur salah seorang jamaah dan nyaris terjadi adu jotos.
Masih banyak contoh lain, ini sampel saja.Pertanyaannya,haruskah semua jamaah wajib menerima fakta-fakta begini atas nama hidup bermasyakat dengan mengorbankan ketenangannya beribadah karena dasar keyakinan yang terbangun, berbeda dengan prilaku pengelola masjid tadi,karena buku yang di baca bisa saja berbeda???
Artinya,variabel prilaku pengelola tempat ibadah paling mungkin jadi faktor yang “merusak” kenyamanan ini, yang mungkin di sembunyikan atau pura-pura tidak tahu oleh yang curhat soal apatisnya jamaah tadi.Harus di cari sebab dan jalan keluarnya.Jangan terbiasa membela diri karena tak mau mengambil resiko tapi menyalahkan yang lain tanpa dasar.Ini prilaku yang kurang baik karena tak pernah menyelesaikan masalah.
Di tulisan part sebelumnya, saya pernah mencoba untuk mengidentifikasi sumber masalahnya.Karena ada gejala bahkan fakta yang paradoks : di saat pertama kali mengikatkan niat untuk membangun tempat ibadah secara swa kelola,umumnya yang terlihat,partisipasi warga hingga kerelaannya mencapai ambang paling tinggi.Warga bersatu padu,bahu-membahu siang dan malam tak kenal lelah, demi semangat yang mulia ini.Semua warga di lingkungan kita, serasa bersaudara bahkan lebih.
Tetapi semua jerih payah tadi sudah terlihat hasilnya berupa masjid yang berdiri megah, coba diam-diam kita amati.Tak jarang ada oknum yang coba memposisikan diri sebagai “pemilik tunggal” dan cenderung meremehkan yang lain.Ini soal mentalitas pribadi-pribadi yang berpotensi merusak solidaritas.Hak milik itu pasti di nisbatkan atas bangunan yang telah berdiri, bukan pada pondasi atau tanah kosong.Tak terlalu penting lagi mengingat hasil keringat banyak orang.
Solidaritas,rasa senasib dan sepenanggungan tadi, perlahan mulai bergeser jadi potensi disharmoni antar warga,sebuah fakta yang miris.Di beberapa tempat, saya mengamati fakta yang lain, bendahara takmir masjid “berkuasa penuh” atas segala tindakan pengeluaran hingga menentukan warga dan bentuknya “mempercantik” masjid tanpa “konsultasi” ke pengurus lainnya.
Sebab lain, mungkin fakta kehadiran masjid di sebuah lingkungan masyarakat,tidak di rasakan “efek” sosial-keumatannya bagi warga sekitar,paling tidak secara ekonomi.Kita punya modal kebiasaan masyarakat menjadikan masjid sebagai muara donasi infaq dan sadakah.
Ada baiknya jika masjid juga melakukan perannya sebagai fasilitator “subsidi silang”.Kalau di setiap jum’at di rasa “memberatkan”,mungkin sekali sebulan,ada kaum fakir di lingkungan yang di santuni oleh infak/sadakah jamaah tadi.Tidak ada yang salah di sini.Mungkin tanpa sadar,kita telah turut “memecahkan’ sedikit masalahnya yang bisa saja jadi “penghambat” mereka menyam angi masjid.Siapa tahu begitu.
Terlalu terpaku pada kebiasaan masa lalu saja yang bikin kita tidak kreatif dan produktif.Belajar pada masjid lain yang sudah begitu jauh dan moderen mengelola sumbangan jamaah,masjid bersaldo nol,misalnya.Kita tidak bisa membangun perspektif pandangan kita sebagai pengelola masjid menggunakan referensi yang telah usang berhadapan dengan fakta jamaah dan lingkungan warga kita yang mungkin sudah jauh jangkauan wawasan dan pengalamannya di soal-soal begini.
Saya pernah menulis untuk memberi apresaiasi terhadap beberapa masjid di kota Ternate misalnya,yang pengelolaan terlihat makin mulai baik.Soal sadakah beras di tiap jum’at misalnya.Poin yang bikin saya kagum karena sensitifitas pengelolanya melihat masalah yang di hadapi jamaahnya di sekitar masjid.Itu poin pentingnya.Jika mau mengambil peran mengurusi umat maka itu resikonya : melihat fakta miris dan berpikir mencari solusi,banyak waktu yang harus tersita hingga mungkin mengganggu kita untuk beristirahat dan lain-lain.Bagaimana masalah umat dan warga bisa di kenali dan segera di selesaikan jika kita sendiri memilih tidur lebih awal dan cenderung eksklusif.Di urusan ini, kadar peduli dan ikhlas itu ujian paling pertama.Mengeluh tetapi tak paham sumber masalah, akan sia-sia.
Terakhir, klaim bahwa yang paling sering hadir di majelis taklim,yang paling di berkahi Tuhan.Yang lain,yang di rumah saja, tidak.Lagi-lagi ini soal baca buku.Kalau ini klaim maka bagi saya, kita telah telah turut memperlihatkan dangkalnya level pemahaman kita dari sisi materi dan cara.Di part lalu, saya mengutip ceramah Buya Arrazy Hasyim,seorang mubaligh paling di kenal.Beliau mengurut level pengenalan dan makrifat seorang hamba atas 3 bagian.Dan bagian pertama sekaligus paling rendah tingkatannya adalah hamba yang beribadah karena berharap imbalan pahala.Menghamba dengan mentalitas karyawan,ada upah dan gaji yang di terima.Kurang lebih itu analognya.Ini dari sisi materi.Dari sisi cara,tak elok mengklaim,apalagi di wilayah “wallahua’lam” ini.
Kita mestinya tak bisa menjadi sombong karena merasa paling alim di soal-soal begini.Menganggap kita paling hebat karena sering terlihat berjubah hingga merendahkan yang lain,bisa membuat kita lupa diri,terjebak ri’ya dan terhapus pahala amalan.Tak sekedar itu,ini yang bagi saya,perlu jadi renungan diri : tanpa sadar,kita sering mengobral kedangkalan pemahaman kita ketika berbicara di depan banyak orang.Bisa jadi,ada di antara mereka yang menertawai meski itu tak di tampakan.
“Merayu” Tuhan agar berpaling kepada hambaNya adalah wilayah “hakikat” setiap hamba.Dan rayuan tadi bisa saja tak kesampaian gara-gara kita terlalu sibuk bertengkar hingga nyaris adu jotos karena sebab-sebab yang sepele, masker misanya.Wallahua’lam.