oleh

Genosida Konstitusi

Saya pernah mengkritik bahwa, dalam beberap kasus, sikap inkonstistensi acap kali disuguhkan Mahkamah dalam membuat putusan. Apalagi kembali terulang dalam perkara ini. Bagaimana dengan konstitusionalitas batasan minimal usia Cagub/Wakil 30 tahun; Cabup/wakil 25; atau Caleg anggota DPRD/DPR/DPD tahun.
Pada titik ini, Mahkamah boleh saja berdalih bahwa doktrin Ultra Petita tidak bisa dipisahkan dari jati diri pembentukan MK. Menafsirkan makna konstitusionalitas dibalik Pasal atau ayat UU yang di JR, tidak boleh berlangsung kaku dan defesit nilai filosofis serta sosiologis dibalik argumentasi hukum yang dibangun.
Walau doktrin yurisprudensi tidak berlaku mutlak dalam sistem peradilan kita, namun sikap inkonsistensi sangat jelas terlihat dengan sejumlah putasan MK sebelumnnya.
Apalagi dengan objek JR dan petitum yang kurang lebih sama dan diajukan dalam waktu yang relatif tidak berjarak. Sebut saja Putusan No. 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan perkara 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh beberapa kepala daerah .
Ketiga putusan ini berakhir dengan penolakan. MK menyatakan tetap konsisten dengan batasan usia 40 tahun untuk Capres/Cawapres. Urusan mengubah, diserahkan kepada pembentuk UU sebagai open legal policy.
Sebijaknya, setiap putusan MK memiliki garis demarkasi pertimbangan hukum yang lebih rasional, sarat nilai moral konstitiusional.
Pengaruh progesifitas MK mestinya, lebih tampak dibalik ratio decidenci, sehingga bersenyawa dengan nilai keadilan sosial yang dipotret oleh publik.
Bukankah hakim wajib menggali nilai keadilan dan kearifan yang hidup dan berkembang dalam Masyarakat.? Memerankan diri sebagai positive legislator, bukan berarti menutup telinga dan mata dari suara keadilan yang berkembang di masyarakat.
Belum ada dalam sejarah Putusan MK, ratio decendi hakim yang menolak putusan, mengungkapkan perasaan-curhat seolah kecewa bercampur rasa tak percaya dengan putusan MK sendiri.

Baca Juga  Bravo 24, Tim Aliong -Sahril Lebih Tertarik Visi Misi dan Rekam Jejak MK-BISA.Pindah !

Sebagaimana curhat hakim Saldi Isra dihadapan sidang pembacaan putusan per Senin 16 Oktober 2023. Saldi malah menegaskan, MK justru terjabak dirinya sendiri dalam pusaran politis pada akhirnya meruntuhkan MK.
Termasuk dalam barisan curhat adalah Hakim Arief Hidayat (dissenting opinion), yang mengangap putusan a quo mencoreng marwah MK dan turut mengku heran dan bingung.

Baca Juga  Masyarakat Malut Diminta Menunggu Perhitungan Manual

Terakhir, ketua MK turut terlibat dalam memutus perkara a quo, padahal memiliki hubungan kekeluargaan dengan Presiden. Potensial konflik kepentingan sulit dihindari. Jika tegak lurus pada supremasi hukum, maka putusan MK ini, tidak berkuatan hukum alias batal demi hukum.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *