Pagi tadi, di beberapa WAG ada kabar duka.Telah berpulang ustadz Thahah Kotu, seorang agamawan dan mubaligh yang cukup di kenal, khususnya di Maluku Utara.
Saya tak mengenal dekat almarhum dan almarhum mungkin juga tak mengenal saya.Hingga mau menulis nama lengkapnya saja, saya harus mengutipnya dari postingan kabar duka ini dari seorang kawan, yang dekat profesinya dengan almarhum bahkan teman dekatnya.Makanya saya yakini, tak salah menuliskan nama almarhum meski puluhan tahun lalu saya sudah akrab dengan nama ini.
Saya memutuskan menuliskan kisah setelah menunggu beberapa informasi pribadi tentang almarhum yang saya minta dari seorang karib tetapi tak kunjung saya dapatkan di jeda waktu kurang lebih 3 jam hingga ba’da sholat Jum’at.
Saya, dan mungkin kita semua, seringkali menghubung-hubungkan fakta keseharian seseorang dengan saat atau hari berpulangnya.Entah itu orang yang cukup di kenal publik, keluarga kita, sahabat karib hingga tetangga rumah kita.
Kenapa harus menghubung-hubungkan juga hal-hal begini???ya sekedar pembelajaran dan renungan bagi saya dan mungkin juga kita semua.Semua ini karena kita pernah mendengar dari para agamawan atau membacanya dari buku dan lain-lain, bahwa hari Jum’at punya keutamaan tertentu hingga di kaitkan dengan yang berpulang di hari itu.Meski juga, dalam pandangan ahli hakikat, bisa juga berbeda,termasuk saat atau waktu menziarahi kubur, misalnya.Tapi bukan itu yang ingin saya tulis.
Jika saya harus mengajukan kesimpulan apriori bahwa almarhum Thahah Kotu adalah orang baik, nyaris mengabdikan seluruh hidupnya untuk kebaikan dalam mengajarkan,mempraktekan pengetahuan dan pemahaman tentang ajaran agama bagi umat, maka saya mengenalnya, memahami sosoknya bukan baru hari ini.Atau katakanlah setelah punya gelar akademik hingga aktifitas kesehariannya yang di kenal publik Maluku Utara.
Nun jauh di tahun 1980-an, saat di mana saya masih di usia belia, bersama teman-teman sebaya, kami telah mengakrabinya.Tempatnya di aula Ito Gapura, sebuah gedung untuk tempat menginap bagi tamu di masa pemerintahan Daerah Administratif Halmahera Tengah, di bilangan Kotamabopo, kelurahan Gamtufkange, Tidore [sebelum di rehabilitasi seperti saat ini].Ini di masa bupatinya I.E.Toekan.Ada seleksi tilawah untuk persiapan daerah ini mengikuti MTQ tingkat provinsi Maluku.
Di saban malam, saya kecil, bersama teman-teman sebaya, kami menyaksikan hingga larut malam pelaksanaan “seleksi internal” ini sambil duduk di rerumputan depan aula ini sebagai “kursi”nya.
Hampir setiap malam, kegiatan seleksi ini terlihat ramai oleh penonton.Mereka bahkan datang dari kampung sebelah yang jauh.Ada yang bahkan hanya berjalan kaki jika hanya berjarak tak jauh dari kampung ini.
Apa kira-kira pemantiknya yang bikin penontonnya membludak hingga di larut malam di wisma Ito Gapura ini???Di arena seleksi tadi ada nama-nama beken.Dan almarhum Thahah Kotu “muda”, salah satunya.Ada juga Arsyad Salasa, qari asal Gurabati, Tidore, yang cukup punya nama di pentas MTQ tingkat nasional karena pernah menjadi juara itu.Ada juga Fatah Abd.Rajak, yang pernah menjadi lurah Gamtufkange dan muadzin paling favorit di masa kecil saya.Dan masih banyak peserta lainnya yang tak kalah pamornya.
Hanya itu alasannya???tidak.Pelatih atau mentornya ketika itu bukan orang sembarangan.Dia adalah ustadz Abdullah Maki, seorang alumnus Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, yang cukup di kenal masa itu.Beliau di datangkan khusus oleh sang bupati yang di kenal agamais dan bukan “putra daerah” ini.Terakhir yang saya tahu dari media dan bikin kaget, Abdullah Maki adalah salah satu dewan hakim pada pelaksanaan STQ tingkat nasional di Sofifi, Maluku Utara beberapa waktu lalu.
Nama ini begitu lekat di memori kecil saya karena kebetulan tempat yang jadi “hotel” menginap semua peserta seleksi, juga termasuk kediaman orang tua saya di kelurahan Gamtufkange tadi.Maklum, di jaman itu belum ada penginapan komersial.Keseharian aktifitas di jeda kegiatan, senantiasa di iringi lantunan ayat-ayat kitab suci beserta “lagu”nya.Mungkin juga sedang melatih diri,tak terkecuali almarhum ini.Beliau termasuk salah satu peserta seleksi ketika itu yang paling di puja mentornya, Abdullah Maki tadi.
Variabel lain membludaknya penonton seleksi ini karena iklim dan kultur keagamaan ketika itu begitu kental.Di level seleksi saja animo warga begitu kuat,apalagi di pagelaran event.Mereka berdatangan dari penjuru hingga pelosok, semata-mata karena ingin menyaksikan event begini, nyaris dengan segala resiko.Fenomena ini di Maluku Utara ketika itu, mungkin sama.Sudah berbeda dengan saat ini, event berskala nasional tetapi penikmatnya tak lagi terlihat antusias.
Almarhum ustadz Thahah Kotu, di kenal punya nama di pentas nasional soal urusan melagukan ayat-ayat suci Alqur’an.Sama seperti qari Arsyad Salasa.Juga qariah Jihadiah Badar asal Tidore yang fenomenal itu, juara dunia lomba ini di tingkat antar bangsa, sebuah capaian yang mungkin sulit untuk di ulangi generasi kita saat ini.
Ada ide lama saya, yang harus saya ulangi di tulisan pendek ini, meski mungkin telah “terlambat”.Saking “kesal”nya terhadap perlakuan pada mereka-mereka ini, saya pernah menyampaikan ide sekaligus tawaran ini ke qari Arsyad Salasa, ketika itu,di sekitar 13 tahun lalu, meski akhirnya tak jadi nyata : merekam secara audia-visual pengajiannya untuk beberapa surat dalam kitab suci dalam bentuk kepingan CD dan membaginya secara gratis ke semua masjid.Saya berpikir bahwa satu-satunya kenangan bernilai “tinggi” itu harus di patrikan sebelum mereka bertambah usia dan berubah kualitas suaranya dan lain-lain.Tidak hanya Arsyad Salasa, juga Jihadiah Badar, yang setahu saya, belum punya album kasetnya.Padahal posisinya bisa di bilang setara nama-nama beken seperti Nanang Qasim, Maria Ulfa, Muammar, Mirwan Batubara, dan lain-lain.Sejujurnya, hingga di sini, ada yang di sesali.Entah buat almarhum Thahah Kotu, kita pernah mematrikan bentuk kenangan yang “tak mahal” ini atau tidak.
Mengenang almarhum ustadz Thahah Kotu, sama berartinya saya mengenang almarhum I.E.Toekan, seorang sosok kepala daerah yang peduli dan agamais serta tak terhingga mematrikan memori indah bagi daerah yang dengan status “miskin” di saat itu.
Mereka, bagi saya, adalah orang-orang yang memilih berbuat karena peduli dan panggilan jiwa untuk agamanya, bukan karena berharap di anggap hebat.Allah SWT.Tuhan seru sekalian alam, kiranya menempatkan arwah mereka pada sebaik-baiknya tempat di sisiNya.Wallahua’lam.(***)