oleh

Persatuan Makayoa Antara Hapolas, Togal dan Politik.

-BUDAYA, HEADLINE-127 Dilihat

HAPOLAS secara etimologi artinya babayar, sedangkan secara terminologi menurut Budayawan dan Ekonom Makian Dr.Mukhtar Adam adalah Hapolas sebagai Model Rencana kematian.

Menurutnya, Ketidak pastian akan kematian, maka ritual kematian selalu menjadi proses interaksi sosial antar masyarakat, yang memaksa aspek ekonomi ikut didalam peristiwa kematian, yang dalam kehidupan sosial dikenal dengan tahlilan.

kegiatan ritual peringatan kematian hari ke 10 yang ditandai dengan donasi dari warga makian kepada keluarga berduka sebagai bentuk gotong royong membayar hutang bahan makanan untuk membiayai tahlilan selama 9 hari.HAPOLAS telah parmanen meskipun keluarga yang berduka tidak berhutang untuk membuayai tahlilan atau Dina.HAPOLAS telah menjadi simbol gotong royong bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak direncanakan yang membutuhkan biaya sehingga harus menjadi tanggun jawab bersama.Olehnya disebut HAPOLAS, hutang keluarga berduka adalah hutang bersama orang Makian-Kayoa sehingga semua wajib membayar hutang.

Barongge Togal.

“Gesekan fiyol, pukulan tifa dan petikan gambus serta tiupan suling seakan menghipnotis warga desa. Di bawah tenda sederhana yang terbuat dari atap seng, lantunan pantun dan sajak-sajak tentang cinta, kehidupan, pendidikan, nasihat dan kekecewaan asmara membuat suasana pesta; tarian togal semakin meriah. Tua muda menari; baronggeng, penuh ceria. Di sisi lain, banyak pula yang meneteskan air mata, mengingat-ingat kenangan tentang orang tua, orang-orang yang telah berpulang”.Demikian Kompasiana dalam artikel tentang baronggeng Togal, seni suku Makayoa.

Baca Juga  Hi.Is Suaib : PKS Mendukung Kebijakan Fiskal Segera di Luncurkan

Dikutip dari media Kabar Pulau.Com, Ronggeng togal menjadi sebuah tradisi yang melegenda di kalangan etnis Makean. Dia menjadi pengingat tidak hanya hubungan sosial antar manusia, tetapi juga orang tua dan sang pencipta. Togal bagi etnis Makean tidak sekadar musik tradisional. Ternyata bernilai lebih dari itu,menjadi alat pengikat dan pemersatu.

Sayangnya, Togal dan ronggeng yang begitu bermakna kini perlahan mulai tergerus zaman. Irama dan tarian memiliki gerak dan bunyi musik penuh makna ketika diciptakan oleh para leluhur ini, perlahan mulai ditinggalkan kaum muda.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun Ternate Rudy S Tawary mengatakan, membaca keragaman kebudayaan Maluku Utara saat ini, setidaknya ada dua hasil penelitian bisa jadi rujukan. Pertama, Penelitian tentang kebudayaan Maluku Utara yang dilakukan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Maluku Utara dalam rentang tahun 2015 sampai 2016. Kedua, penyusunan Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan (PPKD) Kabupaten/kota di Maluku Utara pada tahun 2018 oleh Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Khairun.

Dua penelitian ini berhasil mencatat ratusan tradisi berbagai sukubangsa di Maluku Utara. Penelitian ini juga memberi gambaran keragaman kebudayaan di Maluku Utara, sekaligus menegaskan kekayaan budaya yang berlimpah. Meski begitu fakta lapangan berbagai tradisi juga mencuatkan beragam rasa. Dari bahagia kecewa bahkan sedih. Berbagai tradisi yang telah dicatat, sebagian besar berada dalam situasi menyedihkan karena sebagian sudah punah. Sementara lainnya melemah. “Persoalannya adalah perhatian dan apresiasi,” jelasnya.
Dia bilang, Togal sebagai salah satu tradisi lisan di Maluku Utara juga menghadapi persoalan yang sama. Tradisi lisan yang oleh dua penelitian di atas mencatat tersebar di beberapa daerah di Maluku Utara ini mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Secara garis besar ada dua hal yang dianggap ikut melemahkan tradisi togal. Pertama, pemerintah sebagai pihak yang diberi wewenang belum memiliki kepedulian atau kesadaran atas pentingnya sebuah tradisi bagi peripenghidupan masyarakat pendukungnya.

Baca Juga  Resmi ! Bersamaan Dengan Muhammadiyah, Pemerintah Tetapkan 1 Ramadhan 1446 Hijriyah Sabtu Besok Tanggal 1 Maret 2025

Kedua, generasi muda, sebagai tumpuan masa depan tradisi togal, kurang mengapresiasi kekayaan kebudayaan ini. Mereka selalu curiga sebagai sesuatu yang sudah ketinggalan zaman.

Rudi yang menyelesaikan tesis seni togal ini menjelaskan, togal memiliki berbagai nilai yang dapat berkontribusi terhadap kehidupan masyarakat terutama suku bangsa Makean. Dari sekian nilai itu, satu yang dapat disebutkan peran togal dalam memperjumpakan berbagai entitas sosial masyarakat Makean. Togal menjadi ritus perjumpaan karena melalui berkesenian ini, masyarakat Makean dipertemukan dalam satu konteks pertunjukan. Pada saat togal dilaksanakan, semua memiliki posisi yang sama.

Baca Juga  Peduli Pekerja, Hj.Ike Masita Tunas, S.Sos.M.Si, Ketua SP KEP SPSI Malut : Perusahan Harus Cairakan THR Mulai H-7 Lebaran

Togal dengan segala kehebatannya, kini cenderung ditinggalkan generasi muda. Satu hal yang paling tampak dari kecenderungan tersebut adalah selera generasi muda Makean terhadap togal yang terus menurun. Jika ada pelaksanaan togal, seringkali terjadi pertarungan selera antara generasi tua dan muda. Generasi tua menginginkan togal, sementara yang muda mendambakan musik-musik modern (pop, dangdut, dan lainnya).

Berdasarkan beberapa persoalan di atas, maka ada beberapa pandangan bisa dipertimbangkan untuk dilakukan. Tidak saja untuk togal tetapi juga kesenian lain yang memiliki nasib yang sama.
Pertama, Pemerintah daerah perlu mecontohi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk membuat identifikasi maestro seni daerah. Seniman-seniman yang memenuhi ketentuan akan diapresiasi dengan cara diberi insentif dalam berbagai format, bisa per bulan, triwulan, atau per semester. Nominalnya tergantung kebijakan Pemerintah Daerah. Asalkan nominal itu mempertimbangkan kecukupan sehingga seniman termotivasi untuk meregenerasi kesenian yang dikuasainya.

Kedua, Pemerintah daerah perlu menyediakan wadah ekspresi bagi seniman sehingga hasil-hasil kreatifitas dapat dipertunjukkan dan menghidupkan.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *