HEADLINEOPINI

PILPRES 2024: PERTARUNGAN TOKOH TEGAS, KERAKYATAN, DAN INTELEKTUAL

Ismid A. Hadi/Penasihat Lembaga Pendidikan Demokrasi

Iklan.

Pada 1 Oktober silam, dalam Rakernas PDI-P, Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri menertawai orang-orang yang mengatakan PDI-P akan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) — terdiri dari Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN — guna menghadapi Koalisi Perubahan (KPP) — terdiri dari Nasdem, PKS, PKB — yang telah mengusung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN).

Mantan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, yang tadinya diusung PDI-P sebagai bacapres, akan dipasangkan dengan bacapres KIM Prabowo Subianto sebagai bacawapres. Mempertimbangkan PDI-P sebagai parpol besar dan komitmen pemimpinnya untuk mengusung kadernya sendiri, memang kurang logis bila PDI-P bergabung dengan KIM dengan  mendegradasi posisi kadernya sendiri.

Terlebih, dalan Rakernas PDI-P itu juga Presiden Joko Widodo memberi kode kuat bahwa ia mendukung Ganjar. Dukungan Jokowi ini membuat PDI-P makin percaya diri. Toh, menurut hasil survey Litbang Kompas yang dilakukan pd 27 Juli-7 Agustus, ada 18,1 persen responden menyatakan akan memilih capres yang direkomendasikan Jokowi.

Dus, sudah hampir pasti pilpres mendatang akan diikuti tiga pasang capres-cawapres. Pertama, Prabowo (dgn pasangannya) merepresentasikan karakter tegas dan berwibawa, yang masih disukai masyarakat Indonesia. Dalam pilpres 2014 dan 2019, Prabowo bersaing ketat dengab capres berkarakter sederhana dan kerakyatan (Jokowi). Pada pilpres 2019 khususnya, sekiranya tidak ada kecurangan kualitatif di pihak petahana, Prabowo diyakini menang.

Di luar kecurangan itu, harus juga diingat bahwa track record Prabowo ketika masih berdinas di militer memiliki dua cacat. Yakni, ia dituduh menculik aktivis pada 1997. Prabowo memang mengakuinya meskipun 9 orang yang diculiknya kelak ia bebaskan semuanya. Cacat lain, menurut Presiden ke-3 BJ Habibie, Prabowo hendak melakukan kudeta sehari setelah Presiden Soeharto lengser. Dua isu ini dieksploitasi lawan-lawan Prabowo ketika itu.

Kedua, Ganjar yang mewakili karakter “sederhana dan kerakyatan” sebagaimana Jokowi. Sebenarnya tak terlalu jelas apakah benar Ganjar mengusung Marhaenisme ciptaan Soekarno yang mengklaimnya sebagai sosialisme yang diterapkan di Indonesia. Ganjar memang kader PDI-P, parpol yang mengklaim sebagau pembela wong cilik (marhaenis).

Bagaimanapun, kasus kekerasan di Wadas dan Pegunungan Kendeng, Jateng, memperlihatkan Ganjar tak punya empati pada wong cilik. Ia justru mengakomodasi kepentingan oligarki dengan mengintimidasi orang kecil yang lahannya tak mau dijual untuk dijadikan tambang batu andesit yang akan merusak lingkungan.

Di Kendeng juga begitu. Rakyat menolak kehadiran Pabrik Semen Gresik di sana karena mengganggu resapan air. Kedua proyek ini melanggar UU pertambangan dan lingkungan. Ketika pecah kasus Wadas, para petinggi PDI-P ramai-ramai mengecam Ganjar. Ideologi Marhaenisme yang diklaim Ganjar makin meragukan karena selama 10 tahun memimpin, Jateng tetap merupakan provinsi termiskin di Pulau Jawa.

Pendapatan rata-rata rakyat di sana masih di bawah rerata nasional. Fakta ini membuat sebagian orang ragu pada kepemimpinan Ganjar. Dalam salah satu videonya, ia menyatakan politik itu pencitraan. Keyakinan pada konsep politik inilah yang membuat ia lebih sibuk di medsos untuk membangun citra kerakyatan. Dan dia berhasil.

Dukungan Jokowi dan PDI-P sebagai parpol wong cilik menguatkan citra Ganjar sebagai tokoh kerakyatan. Apalagi Ganjar — sebagaimana juga Prabowo — mengaku akan melanjutkan legacy dan program pembangunan Jokowi meskipun banyak kebijakannya menuai kritik luas karena membahayakan negara.

Ketiga, karakter intelektual dan santun yang diwakili Anies Baswedan. Menurut hasil survey Litbang Kompas, selain karakter tegas dan kerakyatan, antusiasme rakyat pada tokoh intelektual baru muncul pada pilpres kali ini. Pendukung Anies adalah kelas menengah atas dan berpendidikan tinggi.

Intelektualitas Anies diakui oleh kawan maupun lawan dalam negeri. Bahkan, ia juga dihormati lembaga-lembaga internasional yang prestisius. Kapasitas intelektual dan kepemimpinan Anies selama lima tahun memimpin Jakarta tercermin pada legacy-nya. Tak heran, hingga kini apresiasi warga ibu kota atas kinerjanya cukup tinggi. Selain infrastruktur yang berkeadilan sosial, terobosan-terebosan dalam kebijakannya di bidang sosial-perkotaan juga kinclong.

Kalau Ganjar memandang buruh Cina lebih unggul ketimbang buruh bangsanya sendiri, Anies justru mengandalkan kemampuan anak bangsa dalam seluruh sektor pembangunan, bahkan ketika membangun Jakarta International Stadium yang kompleks, dengan menggunakan metode konstruksi yang “ajaib”, yang belum pernah dilakukan kontraktor manapun di dunia ini.

Anies tidak membatasi lingkup kerja hanya di Jakarta. Ia membangun kerja sama pertanian dengab daerah-daerah produsen pangan untuk memasok kebutuhan beras warga jakarta. Bukan hanya itu. Ia membeli beras di tingkat petani dengan harga yang layak. Hal ini merangsang petani meningkatkan produksi berasnya.

Tentu saja ini cara yang lebih efektif dan efisien dalam upaya negara membangun swasembada pangan ketimbang membangun food estate raksasa dengan menebang hutan lindung secara besar-besaran dan merusak lingkungan tanpa hasil yang diharapkan. Terbukti, Menhan Prabowo yang ditugaskan Jokowi membangun lumbung pangan gagal total.

Bagaimanapun, pertarungan tiga kubu dalam pilpres akan sangat kompetitif. Dalam rilis hasil jajak pndpt terbaru lembaga survey Indikator Politik Indonesia, elektabilitas Ganjar bertengger di urutan pertama dengan 35 persen. Prabowo berada di urutan kedua dengan 33 persen, dan Anies di peringkat ketiga dengan 21 persen.

Namun, kian banyak orang tak percaya pada lembaga-lembaga survey. Ini mungkin dipengaruhi kenyataan di lapangan yang memperlihatkan berlimpah ruahnya masyarakat tiap kali AMIN muncul di kota mereka. Menurut hasil survey Litbang Kompas, pendukung AMIN memang militan.

Lalu, menurut hasil jajak pendapat lembaga survey asal Australia, Utting Research, yang dirilis pada akhir Juli silam mengungkapkan keterpilihan Ganjar sebesar 34 persen, Prabowo 33 persen, dan Anies 27 persen. Data ini mirip dengan prediksi surveyor LP3ES Agung Prayitna ketika diwawancarai Hersubeno Arief dari FNN sekitar dua bulan silam.

Agung memang percaya Anies masih di urutan ketiga, namun ia menolak hasil survey yang menempatkan posisi Anies dibawah 20 persen. Ia yakin keterpilihan Anies di atas 25 persen. Berpegang pada hsl survey Utting Reasearch, setiap kubu yang bertarung punya kans yang sama untuk menang.

Walakin, sebaiknya kubu AMIN tudak overoptimistic dan harus bekerja lebih keras karena Anies telah memiliki bacawapres definitif yang memang telah meningkatkan suara AMIN di Jatim dan Jateng, tetapi belum signifikan. Sementara Ganjar dan Prabowo belum memiliki bacawapres. Dalam pilpres, cawapres adalah subyek strategis dan instrumental untuk menambah suara pasangan kontestan.

Mahfud MD atau Khofifah menjadi calon kuat mendampingi Ganjar untuk merebut suara Nahdlyin sehingga akan berebut suara dengan AMIN. Yang juga harus mndpt perhatian serius AMIN adalah suara kalangan muda.

Sesuai hasil survey Kompas, Ganjar mendapat dukungan suara dengan porsi terbesar di kalangan generasi Z (17-25 thn), sementara Prabowo unggul dalam meraup suara milenial (26-40 thn). Kendati Anies juga mendapat limpahan suara dari kedua segmen pemilih ini, jumlahnya jauh dibawah Ganjar dan Prabowo.

Dalam upaya meningkatkan raihan suara, Prabowo masih  berharap MK mengabulkan judicial review atas batas umur cawapres sehingga ia bisa menggandeng putera Jokowi, Gibran Rakabuming, sebagai bacawapresnya. Gibran diyakini dapat menjadi vote getter para simpatisan Jokowi.

Kendati kubu Ganjar dan Prabowo mendapat dukungan besar dari politik asosiasif dengan Jokowi — mereka disebut kubu keberlanjutan atau status quo — publik yang mendukung AMIN adalah mereka yang menginginkan perubahan. Sesusi hasil survey Utting Research, 81 persen responden menginginkan perubahan. Baik yang menginginkan keberlanjutan dengan perubahan (61 persen) dan perubahan penuh (20 persen).

Di luar itu, potensi membesarnya krisis-krisis sosial-ekonomi pada waktu mendatang — seperti isu Rempang, kenaikan harga beras dan BBM, merosotnya nilai tukar rupiah yang meningkatkan utang negara yang sudah besar akibat kenaikan suku bunga The Fed, dan melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya Cina — yang dihadapi rezim Jokowi hingga tahun depan bisa jadi akan menggerus suara Ganjar dan Prabowo. Selamat berjuang.

Pamulang, 5 Oktober 2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *