Waka MK Saldi Mengaku ‘Aneh Luar Biasa’ soal Kepala Daerah Bisa Jadi Capres
Kutipan pernyataan Prof Saldi Isra diatas mewakili pikiran putusan MK yang kontroversial tentang usia minimal capres-cawapres.
IMG_3512(klik ini)
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan sengketa perkara permohonan usia minimal capres-cawapres.Substansinnya, Usia minimal tetap 40 tahun terkecuali yang pernah menjabat kepala daerah.
Sial ! keputusan hakim MK dinilai tendensius dan kontroversi yang berdanpak serius bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.Celaka, kondisi negara jadi gaduh ditengah kontestasi Pilpres yang diharapkan kondusif itu.
Parah, MK potensial tidak dipercaya publik nasional dan global.Padahal MK adalah benteng terakhir keadilan konstitusi dalam bernegara yang tak bisa salah dan kehilangan trust publik.
Putusan yang kontroversial itu diketuk Ketua MK Prof Anwar Usman notabene adik ipar Presiden Jokowi yang amar putusannya diduga beririsan kuat dengan kepentingan Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi untuk bisa mencalonkan diri sebagai cawapres.
Jika iya, apa lagi yang kita harapkan dari game pemilu, Pilpres dan Pilkada yang adil tegak lurus sesuai koridor ? Benar-benar Indonesia dalam ancaman kiamat negara demokrasi konstituonalitas.
Putusan MK itu dinilai ambigu, tendensius alias inkonsisten karena melanggar prinsip open legal police yang awalnya oleh MK sebagai rujukan.
Ideal sistematisnya, putusan 9 hakim MK menyatakan permohonan para pemohon ditolak untuk seluruhnya karena tidak memenuhi syarat formil bahwa sengketa ini bukan kewenangan MK.Namun 9 hakim MK lebih memilih putusan kontroversial.
So ! Seluruh rakyat dan komponen bangsa mulai pakar dan hakim MK sendiri kaget dan curiga atas putusan ini.Prof Yusril Ihza Mahendra, begawan Tata Negara, bahkan wakil ketua MK dan Hakim MK Prof Saldi Isra dan Prof Arif Hidayat ikut bingung atas putusan ini.Alamak !
Ketidak percayakan kepada MK dinilai mencapai puncaknya di era Ketua MK Prof Anwar Usman notabene ipar Presiden berkuasa bahkan melebihi kasus Akil Mochtar, mantan ketua MK yang terpidana suap perkara MK.Ironisnya, ini terjadi ditengah agenda maha penting dan krusial bangsa yang butuh trust kepada MK.
Kita patut bertanya, ada apa dengan MK sejak dipimpin Prof Anwar Usman notabene adik ipar Presiden Joko Widodo sehingga seperti loyo dalam menghadapi pemerintahan rezim Jokowi ?
Kritik ini patut kita layangkan sebagai Warning sejarah bagi pengelola MK ke depan.Sejarah kelam ini tak usah diulangi.
Ingat ! Peran MK dalam negara yang menganut demokrasi konstitualisme sangat vital dan berdanpak fundamental bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.Salah asuh dan urus, nasib bangsa taruhannya.
Fungsi dan peran utama MK adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum.Rapuhnya konstitusionalisme hukum ibarat lonceng kematian bernegara demokrasi.
Itulah mengapa, MK diberikan kedudukan formil yang kuat dan istimewa serta kewenangan fungsional super istimewa yakni lembaga yang mandiri dan independen dengan keputusan yang final dan mengikat, keputusan MK langsung dilaksanakan.Demikian agar MK bisa menjadi benteng terakhir keadilan dan penjaga harapan keyakinan berbangsa serta bernegara.Sedemikian MK tak bisa salah apalagi sengaja salah dan keliru karena danpak keputusannya sampai Indonesia kiamat.
Putusan MK Antara Kepentingan Bangsa dan Politik “Dinasti Jokowi”
Pandangan kritis Prof Saldi jelas dan lugas bahwa putusan ini sangat aneh luar biasa menandai bahwa keputusan ini sangat bermasalah dari berbagai perspektif.
Alegan ! Jokowi sebaiknya tidak mengelak dengan logika sistematis formil yang pada pasca putusan MK ini kerap dilontarkan sebagai counter atacke terhadap opini publik yang bertubi-tubi dibidik padanya .”Tanyakan ke MK, itu urusan MK bukan urusan Presiden”.Putusan MK final dan mengikat maka Jokowi baiknya mengedepankan moral negarawan “ Gibran nanti nyapres-nge Wapres di Pilpres 2029 aja”.
Sikap negarawan Jokowi yang sangat ditunggu Indonesia saat ini agar Pilpres kondusif tanpa halangan sistematis berarti lagi.Sebab putusan MK secara tehnis berdanpak ke PKPU yang harus direvisi bersama persetujuan DPR dan pemerintah dan atau melalui PERPU.Danpak seriusnya ketidakpercayaan terhadap MK.