“Hak Angket itu gertakan Ganjar aja”, kata Jimly Assiddiqie. Benarkah? Hingga hari ini, partai pengusung Ganjar-Mahfuz yaitu PDIP dan PPP belum mengusulkannya ke DPR. Padahal, syaratnya mudah. Diusulkan oleh 25 anggota DPR dari dua fraksi.
Tiga partai pengusung Anies-Muhaimin sudah menyambutnya dengan 20 jari. Ketemu, bikin usulan bersama, jadi itu Hak Angket. Kenapa bertele-tele? Apa yang membuat mereka lambat melayangkan Hak Angket? Jangan-jangan benar apa kata Jimly, Ganjar main gertak doang.
Para pendukung kedua paslon ini, baik 01 maupun 03 nampak sudah membaur di bawah. Mereka bersama-sama demo ke KPU dan Bawaslu. Di Solo, mereka bahkan cap jempol darah. Mereka menamakan diri Mega-AMIN.
Kenapa mereka menamainya Mega-AMIN? Mungkin karena mereka ingin Megawati yang memimpin perlawanan ini. Perlawanan bukan di tangan Ganjar atau Mahfud. Tapi di tangan Megawati. Makanya, semua menunggu “Fatwa Megawati”. Ketua umum yang saat ini menjadi penentu jadi tidaknya Hak Angket.
Para ahli hukum tatanegara bilang: Hak Angket tidak bisa menggugurkan hasil pemilu. Itu cara berpikiri normatif. Ahli hukum ya harus berpikir seperti itu. Normatif.
Kalau anda tanya tentang kecurangan Terstrukrmtur, Sistemik dan Masif, vulgar dan kasat mata, videonya beredar masif di berbagai media dan medsos, maka ahli hukum akan menjawab laporkan saja ke MK. Silahkan dibuktikan di MK. Padahal dia tahu, seperti apa lembaga MK saat ini. Begitulah cara berpikir ahli hukum. Apalagi kalau para ahli hukumnya sudah dapat kontrak, maka mereka akan semakin normatif.
Yang mereka tidak hitung adalah bahwa Hak Angket itu jalur politik. Ketika pansus dibentuk di DPR, lalu pansus ini ternyata menemukan adanya pelanggaran hukum terkait proses pemilu, maka segala sesuatu bisa terjadi. Namanya juga politik, jalannya tidak linier. Unpredictable. Tak terduga.
Terlihat pemenang quick count sedang berupaya mengantisipasi, bahkan cenderung menghalang-halangi Hak Angket ini. Para ahli hukum tatanegara dipasang di depan untuk membangun opini. Tujuannya? Melemahkan Hak Angket.
Dilantiknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai menteri ATR juga disinyalir sebagai upaya membendung “keliaran” Demokrat. Jokowi sepertinya ingin memastikan bahwa Demokrat tidak membelot. Publik mengenal betul bagaimana zig-zagnya Demokrat selama ini.
Di sisi lain, jika nanti Gibran benar-benar berhasil dilantik menjadi wapres, maka ini bisa menjadi kuburan bagi karir AHY kedepan. Sebab, AHY akan menjadi pesaing, bahkan ancaman bagi karir Gibran untuk maju menjadi capres. Jokowi pasti paham bagaimana membuat AHY mati langkah.
Kembali soal Hak Angket. Banyak dukungan mengalir. Para tokoh dan purnawurawan jenderal ikut mendorong Hak Angket. Mereka ingin dugaan kecurangan pemilu dibongkar. Agar ini tidak diwarisi oleh penguasa-penguasa berikutnya.
Secara hukum, bukankah “Usulan Angket” itu hak konstitusional DPR. Kenapa dihalangi? Jawabnya sederhana: Karena Hak Angket bisa menjadi bola liar yang dapat ditendang ke berbagai sudut. Bisa juga nyasar ke gedung KPU. Bahkan bolanya bisa terlempar ke istana. Konstitusional secara hukum, tapi liar secara politik.
Akankah Megawati punya cukup nyali untuk mengusulkan Hak Angket? Ini bukan soal nyali, tapi soal kalkulasi. Begaimana kalkulasi Megawati? Apakah Puan Maharani juga siap menjadi panglima Hak Angket di DPR? Jawaban ini yang sedang ditunggu oleh rakyat.
Yang harus dipahami, Hak Angket bukan semata soal hasil pemilu. Bukan sedang memperjuangkan paslon. Juga bukan soal kalah menang. Tapi Hak Angket ini adalah sebuah perjuangan mulia untuk meluruskan arah bangsa. Bagaimana bangsa akan lurus jika dugaan adanya pelanggaran hukum dibiarkan.
Cap Jempol Darah di Solo adalah ekspresi cinta rakyat kepada bangsanya. Ini akan ada harganya jika para elit punya kepekaan untuk memperjuangan harapan mereka. Jalurnya? Hak Angket.
Jakarta, 26 Pebruari 2024