Intinya, istana melemah karena ditinggal dan meninggalkan kekuatan-kekuatan yang selama ini menjadi pendukung utamanya. Di politik ada PDIP. Di organisasi massa, ada pesantren dan pemuda NU. Di tengah melemahnya kubu istana inilah, gerakan perlawanan rakyat mulai tumbuh dan membesar.
Gelombang perlawanan ini akan reda jika istana berhasil memanggil kembali kekuatan-kekuatan pendukungnya yaitu PDIP dan pesantren-pesantren besar NU itu. Dengan sendirinya para pemuda NU akan ikut bergerak menjadi basis massa yang ikut mengamankan istana. Bagi NU dan para santri, istana adalah simbul negara. Tapi jika marwah istana tidak dijaga, itu persoalan tersendiri.
Jokowi sudah berulangkali berupaya mendekat kembali ke PDIP. Minta bertemu dengan Megawati, ketum PDIP. Terakhir, melalui Hamengkubuwono X. Tapi, nampaknya tidak berhasil. Rakyat bisa mengerti jika Megawati sangat kecewa terhadap Jokowi dan keluarganya. Karena PDIP-lah yang selama ini membesarkan Jokowi dan keluarga (anak-menantu).
Bagi pendukung Jokowi, mereka justru menganggap bahwa PDIP-lah yang dibesarkan dan dapat coat-tail effect dari Jokowi. Dua kali PDIP menjadi pemenang pemilu karena efek Jokowi nyapres. Tanpa Jokowi, sulit dibayangkan PDIP bisa menjadi pemenang pemilu 2014 dan 2019.
Saat ini, situasinya semakin tidak mudah. Terutama setelah Kaesang menjadi ketua PSI, partai yang dianggap rival PDIP. Begitu juga dengan Gibran yang menjadi lawan Ganjar, calon dari PDIP di pilpres 2024. Cawe-cawe presiden di pilpres juga semakin membuat sulit hubungan Jokowi-Megawati.
Di sisi lain, Gibran di dalam debat cawapres terakhir dianggap kurang sopan kepada Mahfud dan Cak Imin, dua tokoh NU. Ini telah menjadi catatan penting bagi para ulama NU dan para santri. Sikap Gibran dianggap tidak etis, tidak elok, dan cenderung merendahkan kedua tokoh NU itu.
Komentar