Kalau dikalkulasi, Hak Angket yang akan diusulkan oleh PDIP, PPP, Nasdem, PKB dan PKS mestinya mulus. Sebab, jumlah anggota DPR dari lima partai pengusung 01 dan 03 itu 54,60%.
Prosesnya sederhana: diusulkan minimal oleh 25 anggota DPR dari minimal dua fraksi. Tentu, ini hal mudah. Lalu dibawa ke sidang pleno. Di sidang pleno, dibutuhkan dukungan 50% + 1 anggota DPR. Kalau ini terpenuhi, maka dibuatlah pansus. Pansus ini yang nanti akan melakukan investigasi apakah pemilu pebruari kemarin ada kecurangan dan pelanggaran hukum? Pihak mana saja yang terlibat dalam kecurangan? Dan siapa saja yang melakukan pelanggaran hukum? Banyak pihak yang akan dipanggil dan dimintai keterangan. Live, disiarkan di TV dan rakyat semua nonton. Seru bukan?
Kalau tidak ada yang merasa terlibat, mestinya gak perlu risau. Kalau merasa tidak melanggar undang-undang, biarkan saja Hak Angket itu diusulkan. Bila perlu, semua fraksi ikut mengusulkan. Baik fraksi yang ada di kelompok paslon 01 dan 03, maupun paslon 02. Dorong saja supaya Hak Angket menjadi sarana pembuktian. Toh, kalau tidak ada bukti, mereka yang mengusulkan akan malu sendiri. Jangan dihambat, dan jangan pula dihalang-halangi.
Tapi, jika ada yang berupaya menghalang-halangi, itu jelas tandanya bahwa ada yang merasa bersalah. Ini sekaligus memastikan ada yang melakukan pelanggaran undang-undang. Simple rakyat menilainya.
Ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk menggembosi Hak Angket. Pertama, melalui opini. Bahwa Hak Angket itu hanya bikin gaduh dan berpotensi memecah belah bangsa. Namanya juga mau menghambat. Opini murahan, aneh dan lucu seperti ini akan muncul.
Apakah pembuat UUD yang memasukkan Hak Angket sebagai hak konstitusional DPR itu dimaksudkan untuk memecah belah bangsa? Kan ngaco cara berpikir seperti itu.
Ada sejumlah ahli hukum tatanegara yang diberi tugas untuk terus mengemukakan pendapat bahwa Hak Angket itu tidak bisa mengubah hasil pemilu. Kan sudah dikatakan Megawati: Hak Angket itu bertujuan untuk membongkar ketidakjujuran, kecurangan dan pelanggaran terhadap UU. Ini harus dibuka, supaya tidak terulang lagi. Mereka yang melanggar harus dihukum. Dengan begitu, Hak Angket bertujuan untuk menegakkan keadilan. Jadi, ini bukan urusan paslon lagi. Ini soal masa depan negara yang butuh keadilan dan perlu diselamatkan.
Ngeri ! Hak Angket bagi sejumlah pihak, ini ngeri. Ngeri bagi mereka yang merasa terlibat dan jadi pelaku kecurangan. Ngeri bagi yang melanggar hukum. Apalagi, jika betul terjadi secara Terstruktur, Sistemik dan Masif. Atau TSM.
Kedua, cara menghalangi Hak Angket dengan menggembosi partai pengusulnya. PPP misalnya. Ini partai yang sedang jadi buah bibir rakyat. Posisi PPP dipertanyakan publik apakah masih punya iindependensi? Publik melihat PPP dalam keadaan “Laa yahya walaa yamuut” jika mengacu pada perolehan suara dua pemilu terakhir. Apakah perolehan suara PPP kali ini mencapai 4% sehingga bisa masuk ke Senayan? Atau masih butuh syafaat supaya tetap bisa masuk senayan. Anda paham kan apa itu syafaat? Ini yang membuat rakyat was was. Bukan was was PPP masuk senayan atau tidak. Was was apakah PPP bisa bersikap independen dan punya marwah untuk menjaga simbol Ka’bah kaitannya dengan Hak Angket ini. PPP adalah partai yang paling rawan kena operasi.
PDIP, Nasdem, PKB dan PKS pun juga akan ditawari untuk bergabung. Ada jatah menteri plus pengganti dana pemilu misalnya. Tambah bunganya. Apakah empat partai ini akan tergoda? Kalau tergoda, rakyat perlu melakukan evaluasi atas dukungannya terhadap empat partai ini di pemilu yang akan datang. Jangan mudah lupa !
Ketiga, menghambat Hak Angket dengan cara operasi melalui anggota DPR. Jika pun PPP tidak ikut mengusulkan Hak Angket, empat fraksi PDIP, Nasdem, PKB dan PKS masih cukup jumlah anggotanya, karena mencapai 50% + 1. Cukup untuk mendukung Hak Angket.
Meski cukup, apakah ada jaminan semua anggota DPR dari empat partai itu solid. Bagaimana kalau para anggota DPR dari empat partai itu dilobi, dipanggil dan diberi uang Rp. 20 M? Atau malah Rp. 50 M? Apa mereka tidak goyang. Terutama bagi anggota DPR yang pileg kali ini gagal masuk DPR lagi. Kehabisan dana untuk nyeleg, lalu ada tawaran 20-50 M. Gurih bukan?
Di sinilah terjadinya kerawanan. Dan kita tahu standar integritas kebanyakan para anggota dewan kita, umumnya “sangat fleksible” bila berurusan dengan negosiasi. Jago membuat dalil dan argumentasi. Nah, ini tantangan buat partai-partai pengusung paslon 01 dan 03. Bisa menjaga soliditaskah?
Bagi umumnya anggota dewan, keluar masuk partai itu biasa. Banyak dari mereka yang gak peduli soal partai. Ini bukan soal ideologi atau platform. Yang penting bisa masuk Senayan dan bisa jadi anggota DPR. Partai apa saja tidak masalah. Nah, bagi anggota DPR macam ini, bagaimana bisa diharapkan mampu menolak Rp. 20-50 M agar tidak menyetujui Hak Angket. Beraaaat….
Apakah para guru besar dan dosen, para mahasiswa dari berbagai universitas, purnawirawan Jenderal, para aktifis dan civil society yang mengawal Hak Angket ini akan bisa ikut memberi spirit perjuangan fraksi-fraksi di DPR yang kemudian menjadi jalan lapang bagi Hak Angket untuk bisa terealisasikan?
Jakarta, 28 Pebruari 2024