Kini, tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan itu diperparah dengan rencana penambangan nikel di gunung Watowato oleh PT Priven Lestari. Gunung Watowato ini adalah satu-satunya sumber air bagi hampir 20 ribu warga di Kecamatan Maba. Sumber air yang sama juga digunakan oleh warga di Subaim, Kecamatan Wasile, salah satu lumbung pangan (padi) terpenting di Maluku Utara.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hilirisasi di wilayah sentra nikel telah memicu kemiskinan bagi warga. Persentase angka kemiskinan di wilayah sentra nikel justru mengalami peningkatan. Mulai dari Sulawesi Tengah, yang naik sekitar 0,11 persen poin dari 12,30 persen menjadi 12,41 persen. Lalu disusul Sulawesi Selatan, yang mengalami kenaikan angka kemiskinan 0,04 persen poin dari 8,66 persen menjadi 8,70 persen. Demikian juga dengan di Maluku Utara yang naik 0,09 persen poin dari 6,37 persen pada September 2022 menjadi 6,46 persen.
Pada kesempatan yang sama, Ekonom Faisal Basri, menyebutkan hilirisasi nikel hanya menguntungkan segelintir orang, terutama pengusaha. Sedangkan warga dan lingkungan menjadi korban. Sehingga tak pantas jika hilirisasi disebut-sebut telah menguntungkan Indonesia.
“Saya tidak anti investor asing, mereka berhak dapat laba. Tapi (seharusnya) yang lebih banyak untungnya rakyat Indonesia: kerjanya, pajaknya, dan lingkungannya tidak rusak,” ucap dia.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, mengungkapkan hilirisasi nikel hingga EV justru menjadi ironi. Pameran besar-besaran di Jakarta soal energi bersih dengan EV, tapi warga di lingkar tambang dilupakan deritanya.
“Jadi seolah nikel itu hanya untuk menyamankan hidung orang berduit di Jakarta. Di daerah lingkar tambang, hidup mereka kian sesak,” kata dia.(***)
Komentar