Sistem demokrasi meniscayakan kontestasi gagasan idiologis.Percaturan gagasan idiologis berbasis Islam, Liberal-Kapitalisme bahkan komunisme berdialektika mewarnai proses demokrasi.
Di Indonesia, sejak dicabutnya azaz tunggal dalam sistem kepartaian, idiologi seperti idiologi Islam dan liberal kapitalisme berkembang di masyarakat.
UUD 1945 sebagai landasan konstitusional juga memungkinkan berkembangannya idiologi Islam.Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” yang didalamnya dimaknai penerapan nilai-nilai Islam tentang kepemimpinan.
Ideologi berasal dari kata idea, berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, ide-ide dasar, atau cita-cita dan logos yang berarti ilmu. Secara harfiah, ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide, atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar.
Dalam lanakap demokrasi di Maluku utara, pandangan -pandangan politik utamanya di Pilkada tak sepi dari nilai idiologis termasuk didalamnya pandangan cultural.Tak heran percaturan kepentingan politik semuanya memiliki basis argumentasi idiologis masing-masing.Pada kasus Pilkada Maluku utara, disadari atau tidak, pertarungan idiologis itu kental mewarnai wacana Pilkada Maluku utara.
Hemat saya, ada dua aliran idiologis yang mewarnai Pilkada Malut yakni aliran yang saya sebut sebagai aliran idilogis Islam yang tergambarkan sebagai gagasan-gagasan dan spirit Pilkada syar’i dan aliran leberal-kapitalis.
Aliran Pilkada Syar’i.
Aliran Pilkada syar’i yang standing interes politiknya melawan calon yang tidak syari menyandarkan diri pada term-term idiologis Islam yang unik.Kelompok yang dipelopori kalangan ulama konservatif dan kaum terpelajar moderat ini bersandar pada term-term idiologis Islam seperti ayat Al Maidah 51-57.
Sebagai sebuah pandangan idiologis, mereka melihat calon tertentu dengan kacamata Islam yang hitam putih.Konglusinya, tidak memilih memilih calon pemimpin musim dan sebaliknya adalah perintah Allah dan RosulNya sehingga tak bisa ditawar-tawar lagi.Ancamannya bukan main-main yakni sebagian ulama meyakini “murtad” atau keluar dari Islam jika memilih calon pemimpin yang dilarang Allah dan RosulNya.
Pandangan ini juga seirama dengan konsepsi adat se atoran negeri kesultanan.Simak saja pandangan dari Mufti Kesultanan Moloku Kie Raha dan Ismunandar AIM Sjah dari kekerabatan kesultana Ternate bahwa hanya pemimpin muslim yang bisa memimpin Maluku utara.
Oleh Ismunandar Sjah, pemimpin Malut harus memahami histori cultural negeri kesultanan Moloku Kie Raha yakni Adat Matoto Agama, Agama Matoto Kitabullah Alquran dan Sunnah.Dalam konsep ini, pemimpin Malut harus memahami konsepsi kitabullah Alquran dan Sunnah Rosulullah.
Mereka memandang barisan idiologis liberalis -Kapitalis “pesek” sebagai pemulung sampah residu idiologi liberal kapitalistik yang terbuang dari AS dan Eropa yang “so pastiu” dengan leberal-kapitalis yang mendekandenai moral dan serakah
Aliran Liberal-Kapitalistik.
Bagi kaum liberal-kapitalistik, siapapun warga negara Indonesia berhak mencalonkan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku utara.
Bagi mereka, konstitusi nya demikian sehingga siapapun dengan latar belakang apapun sah-sah saja mencalonkan diri.Bagi kaum ini, Indonesia bukan negara teokrasi yang menganut paham sistem politik Islam sehingga siapapun calon Gubernur tidak bisa dilawan dengan ayat-ayat Allah dan Sunnah Rosul, para kontestan hanya bisa dilawan dengan ayat-ayat konstitusi.Orang Islam sekalipun jika dilarang oleh konstitusi seperti tengah dipenjara atau dicabut hak politiknya karena terpidana maka tidak bisa mencalonkan diri.
Liberalisme adalah ideologi yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai yang utama. Kapitalisme adalah ideologi di mana filsafat sosial dan politiknya didasarkan pada asas pengembangan hak milik pribadi. Kapitalisme merupakan perluasan dari paham kebebasan.
Sistem ekonomi liberal adalah sistem ekonomi yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi. Sistem ekonomi ini dikenal juga dengan sebutan sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi pasar.
Kritik Idiologis.
Kritik antar idilogis mewarnai diakursus idiologis.Bagi kaum leberal, Kelompok Islamisme adalah kumpulan Muslim yang patuh terhadap ajaran Islam, namun mereka literal, statis dan kaku dalam memahami ajaran Islam (Alquran).
Namun bagi kelompok Islam, idiologi leberal kapitalisme yang menghamba pada kebebasan individual yang bebas nilai etik dan moral telah menyebabkan dekadesensi dan kerusakan moral berlangsung ditengah tatanan yang dianggap maju.
Salah satu kritisme marxisme terhadap kapitalisme adalah bahwa kelas borjuis memiliki kekuatan dan kekayaan yang tidak adil dibandingkan dengan kelas proletar. Mereka memiliki kontrol atas alat produksi dan memiliki keuntungan ekonomi yang signifikan.Pemusatan sumber daya yang kebablasan pada segelintir Kompol menyebabkan ketimpangan ekonomi pada kelompok mayoritas adalah kritik lain terhadap liberal kapitalisme.
Di negara-negara barat baik Eropa dan Amerika mulai disadari bahwa idiologi leberalisme-kapitalistik yang mereduksi nilai-nilai moral agama dalam sistim politik bernegara terbuktu gagal mewujudkan tatanan kehidupan yang bermoral.Mereka mulai kembali mempertanyakan kelangsungan liberalisme -kapitalisme dan mencari konsep baru yang agamais seperti fonomena kaum puritan dan masivnya gerakan mualaf.
Dalam sistem demokrasi konstitusional, Kehidupan bernegara demokrasi yang telah diatur dengan sistem yang komplit namun dinamika sosial politiknya tak lepas dari nilai-nilai sosial yang eksis di Masyarakat.Dalam terminologi hukum, apa yang kita kenal dengan hukum positif dan hukum alam.
Hukum positif yakni konstitusi negara tertulis mulai UU sampai peraturan tlainya yang bersifat memaksa dan mengikat seluruh warga negara dengan segala ancaman hukumnya sedangkan hukum alam adalah hukum tak tertulis yang diyakini dan hidup secara sosial di masyarakat seperti budaya, hukum adat dan nilai -nilai agama.
Endingnya ! Dialektika idiologis itu alamiahnya demokrasi yang mencerdaskan.Mungkin kita bersandar pada spirit demokrasi, menolak seseorang mencalonkan diri di Pilkada itu inskonatitusional namun tidak memilih nya karena beragam pertimbangan juga sebuah sikap yang konstitusional.
Ternate, 25 Juli 2024.