Menyoal (Lagi) Netralitas ASN : Catatan Video Viral Kakandepag Halut
By. Muhammad Guntur Alting :The Maharani Institute Jakarta
.TAHAPAN Pilgub Malut 2024 belum usai, namun “jagatmaya” Maluku Utara dikejutkan dengan kampanye hitam yang mengarah pada “character assassination” pada salah satu Cagub (MK), dan ajakan mendukung paslon tertentu yang dilakukan oleh Kandepag Halut melalui video(berdurasi 7 menit, 11 detik).
Setidaknya inilah video kedua, dalam pengetahuan saya melalui jejak digital, yang kembali melibatkan “oknum”pejabat kementrian agama, setelah sebelumnya terjadi di (Morotai) dengan kejadian yang mirip, yakni berisi ajakan memilih pasangan (calon Bupati tetentu) yang tidak tanggung-tanggung diduga melibatkan pucuk tertinggi di KANWIL Kemenag Maluku Utara.
Cukup banyak tanggapan dari berbagai pihak, yang mendesak Bawaslu segera mengusut keterlibatan sang pejabat di jajaran Kemenag tersebut, yang sesungguhnya telah melanggar asas“kepatutan” sebagai seorang pejabat.
Saya menduga sang “oknum Kandep” tersebut berpikir bahwa yang hadir, karena semuanya adalah bawahannya baik(pegawai maupun guru) dalam lingkup kemenag, sehingga merasa aman, Ia tak menduga jika diantara yang hadir ada punya pilihan politik yang “berbeda” sehingga merekamnya sebagai bukti.
Ini menunjukan relasi kuasa antara kandidat dengan pejabat birokrasi, adalah potensi kerawanan yang menjadikan ASN bisa “terbawa-bawa” ke ranah politik praktis. Relasi yang paternalistik dengan pejabat politik berada di posisi lebih superior adalah salah satu sumber utama ketidaknetralan birokrasi.
Alhasil, independensi birokrasi kerap diperhadapkan dengan upaya kontrol oleh pejabat politik. Idealnya, para pejabat politik bisa menghormati kompetensi dan komitmen para ASN yang menjalankan mesin birokrasi. Pun sebaliknya, para birokrat berkewajiban untuk merawat komitmennya menjaga ukuntabioitas dan responsibilitasnya.
Tulisan ini hanya sekedar mengingatkan kembali “nalar kita,”terutama sebagai seorang birokrat. Sebagai pejabat seharusnya Ia menyadari dan tentu tahu bahwa sikap, gerak–gerik dan ucapannya tak akan lepas dari sorotan “ribuan pasang mata dan telinga” yang akan mengawasinya. Apalagi di momentum politik saat ini.
Netralitas ASN dalam Regulasi
Setidaknya ada 3 alasan Aparatur Sipil Negara (ASN) harus netral. Pertama, agar pemilihan (pemilukada) tidak dipandang sedang dipengaruhi kelompok tertentu. Kedua, agar fasilitas Negara tidak hanya dipakai untuk kepentingan kelompok tertentu. Ketiga, menjaga agar layanan publik tetap terselenggara dengan baik tanpa harus membeda-bedakan golongan dalam masyarakat.
Hasil penulusuran yang saya temukan di data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) per 2 April 2024, memperlihatkan sejumlah 481 ASN yang dilaporkan atas dugaan pelanggaran netralitas, dan 264 (54,9 %) di antaranya terbukti melanggar. Sebagai pembanding, Pilkada Serentak 2020, tercatat ada 2.034 ASN yang dilaporkan melanggar netralitas, dan 1.597 ASN (78,5 %) di antaranya terbukti meakukan pelanggaran.
Lantas, mengapa kasus terkait netralitas ASN dalam pemilu ataupun pilkada tersebut tak pernah surut?.
Padahal para ASN tersebut semestinya menjadi bagian dari upaya untuk membangun korps yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam UU tentang ASN diatur jelas mengenai kewajibanASN, antara lain ; menjaga netralitas – sebagaimana termuat pada UU 20/2023 pasal 21 ayat (1) huruf d. Netralitas dimaknai sebagai setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada keentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara.
bukan hanya setiap pegawai ASN harus patuh pada asas netralitas, dengan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan tertentu; para istri/suami yang berstatus PNS pun dilarang menggunakan antribut yang mengandung unsur politik serta dilarang menggunakan fasilitas milik negara.
Bahkan Aturan turunannya menegaskan larangan bagi ASN untuk melakukan hal-hal seperti : memasang spanduk/baliho/alat peraga calon peserta pemilu,sosialisasi/kampanye media, menghadiri deklarasi/kampanye bakal calon peserta pemilu, membuat postingan, (comment, share, like, follow) dalam grup/akun pemenangan bakal calon peserta pemilu, mem-posting pada media sosial/media lain yang bisa diakses public. Ataupun ikut dalam kegiatan kampanye/sosialisasi bakal calon peserta pemilu.
Ancaman sanksi tersebut sebenarnya memadai (atau“menakutkan”) jika memang diterapkan dengan ketat terhadapASN yang melanggar ketentuan.
Sangsi Pelanggar Netralitas
Merujuk pada PP 94/2021 tentang Disiplin PNS dan PP 49/2018 tentang (Manajemen PPPK), sanksi netralitas berupa pelanggaran disiplin tersebut berkonsekuensi terhadap hukuman disiplin sedang, berupa pemotongan tunjangan kinerja (tukin) sebesar 25 persen selama 6 bulan/9 bulan/12 bulan, dan hukuman disiplin berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan, pembebasan jabatan selama 12 bulan. Dan pemberhentian dengan hormat, tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, sampai pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Sementara merujuk pada PP 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, sanksi netralitas berupa pelanggaran kode etik berkonsekuensi sanksi moral pernyataan secara terbuka dan sanksi moral pernyataan secara tertutup.
Bahkan soal kelembagaan, untuk menegakkan netralitas Pemilu terdapat 5 kementerian/lembaga yang dalam satuan tugas atau Satgas Netralitas ASN, yakni Badan Kepegawaian Negara (BKN); Kementerian PANRB; Kementerian Dalam Negeri; Bawaslu; dan KASN.
Dalam konteks ini, maka menurut hemat saya, apa yang dilakukan oleh Kandepak Halut adalah tindakan yang jelas telah melanggar berbagai ketentuan tersebut, dan patut mendapat sangsi dengan ‘pasal’ yang berlapis. Sehingga sudah sewajarnya lembaga-lembaga terkait seseperti BKN, Kemendag, KASN dan Bawaslu sudah perlu mengambil tindakan.
Jika semua elemen bekerja optimal, bukankah semestinya pelanggaran netralitas oleh ASN tidak lagi terulang (atau setidaknya, semestinya bisa berkurang) dari setiap pemilihan ke pemilihan berikutnya?
Pertanyaan kita semua, apakah benar-benar ancaman sanksi tersebut dijalankan di lapangan? Ada masalah nyata jika terjadi “bias” dalam pengenaan sanksi kepada ASN pelanggar netralitas. Dalam hal terjadi perulangan atau intensitas pelanggaran yang meningkat, tentu hal tersebut harus menjadikan refleksi bagi kita semua, untuk memperbaiki keadan ini. Mulai dari level teratas. Prinsip dasar netralitas ASN harus dipahami, dan disosialisasikan, dan kemudian secara baik.
Netralitas Kemenag Malut dalam Pilgub Malut 2024
Dalam pemahaman saya, secara normatif dalam konteks Pilgub Maluku Utara, tidak ada arahan ataupun paksaan dari pusat untuk mendukung pasangan calon tertentu. Yang ada adalah perintah menjaga kondusifitas, terlibat aktif menyukseskan jalannya pesta demokrasi, dan menjaga kerahasiaan dalam menentukan pilihan.
Netralitas pegawai Kemenag adalah dengan cukup membicarakan “moral dan kaidah beragama” kepada anggotanya dan masyarakat, dan itu semua tidak bersinggungan dengan politik praktis. Netralitas tumbuh tanpa diperintah dalam perspektif ‘das seinya’ atau (seharusnya)
Sebagai salah satu institusi fertikal (pusat), Kemenag kemudian mendapat alternatif dan kebebasan memilih calon kepala daerah sesuai hati Nurani, sekalipun barangkali (eks) atasan ataupun pejabat tempatnya mengabdi menjadi salah satu calon atau kandidat.
Tapi dalam kenyataannya (Das Sollen) apakah netralitas itu terjadi? Hanya Tuhan yang tahu, dan Anda sendiri yang melihat dan menilainya .
Mengutip pernyataan salah seorang (eks) petinggi kementrian agama di pusat “Kita memasuki tahun politik di mana kepentingan menjadi “pusat gravitasi” dari pergerakan semua elemen masyarakat. Kita juga punya memori masa lalu di mana efeknya hingga hari ini masih terasa. ASN Kemenag seharusnya untuk tidak menjadi atau melibatkan diri dengan politik praktis,”
Ada banyak pengalaman, catatan, serta aduan masyarakat tentang oknum-oknum Kemenag di mana ada ASN–nya terlibat dan diarahkan untuk mendukung paslon tertentu di Pilgub Maluku Utara. Seyogyanya fokus saja pada pekerjaan dan spirit untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat,”. Hemat saya, menjaga integritas dan jangan sampai menyalahi sumpah jabatan.
Dalam teori “DRAMATURGI” sosiolog Irvin Gofmann menyebutkan, peritiwa sosial itu terjadi pada 2 wilayah panggung, panggung belakang (back stage) dan panggung depan (front stage). Pada panggng depan menuntut individu untuk bersikap ideal, sesuai dengan kepatutan, dan kaidah moral. sementara panggung belakang tempat bersiasat, kasak-kusuk, bahkan ada “permufakan jahat” meminjam istilah kritikus Rocky Gerung.
Kalau panggung depan “oknum pejabat kementrian agama Malut” saja sudah memperlihatkan hal yang sudah tidak pantas, maka kita patut membayangkan seperti apa panggung belakangnya?. Semoga kasak-kusuk selama ini yang beredar luas di Masyarakat, bahwa jajaran KANWIL KEMETRIAN AGAMA Malut, baik secara individu maupun secara struktur terlibat dan “melibatkan diri” secara aktif mendukung pasangan tertentu hanya “rumor dan hoaks” belaka.
Sebagai (eks) pengajar dalam lingkungan Perguruan Tinggi(IAIN Ternate dan UIN Jakarta) saya punya banyak kawan di jajaran kanwil kemenag agama Maluku Utara dan juga di kampus, dan saya tahu persis mereka adalah orang-orang yang sangat punya integritas yang mumpuni, sehingga saya tidak percaya terhadap rumor tersebut.
Tapi jika benar, maka hal ini sangat disayangkan, karena bertentangan dengan “spirit era baru” dalam lingkungan kementerian agama dibawah sang nakhoda yang baru Prof. Dr.Nasaruddin Umar,MA. Sebagai seorang intelektual dan agamawan yang pernah mengecap pendidikan di Universitas McGill Kanada dan Program Ph.D di Universitas Leiden Belanda, tentu beliau sangat menjungjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Tentu sebagai sosok menteri yang baru di lantik di Kabinet Merah-Putih Prabowo-Gibran, Prof. Dr. NasaruddinUmar,MA pasti tidak ingin kementrian yang dipimpinya itu“tercoreng” oleh tindakan “oknum pejabat dan ASN” yang keluar dari kepantasan dan kepatutan, dan menginkan keluarga besar Kementerian Agama tetap berada pada jalunya sebagai “penjaga moral”. ****