oleh

Info Buku (11) : GORESAN SANG ETNOGRAF

Apresiasi karya ‘Moeslim Abdurrahman’, (Agamawan yang Antropolog)

Oleh : M.Guntur Alting

——

MENULIS itu satu paket dengan membaca. Jika Anda temukan seorang penulis yang sangat produktif, hampir dipastikan Ia adalah seorang PEMBACA yang ‘lahap.Setidaknya itu yang saya simpulkan dari karya buku Hernowo—“Seandainya buku itu adalah Sepotong Pizza”, (1999).

Jika pena (ujung jari) adalah senjata bagi penulis, maka membaca adalah pelurunya. Senjata tak akan berfungsi jika tak ada peluru, pun sebaliknya. Ibarat mobil, jika ingin terus bergerak, harus selalu diisi dengan bahan bakar (bensin). Dan bahan bakar bagi seorang penulis adalah membaca.

Ada 5 buku yang saya bawa dalam tour ini, untuk antisipasidead time’ (waktu mati/lowong) Seperti saat menunggudatangnya pesananan makanan, berada di “waiting room”pesawat, menunggu jemputan mobil, atau di pesawat di tengah penerbangan.

Salah satu buku yang saya sertakan adalah karya‘cendikiawan beken’ yang juga antropolog, Muslim Abdurrahman. Judul bukunya adalah “Bersujud di Baitullah”.

 –000–

Ini adalah buku terbitan kompas yang sudah lama saya miliki. Tapi baru dikunyah (dibaca). Buku ini terjemahan dari disertasi beliau yang berjudul On Hajj Tourism : In Search of Piety And Identity In The New Order Indonesia, yang dipertahankannya di Departemen Of Antropology, (University of Illinois, Urbana-Champaighn), Amerika Serikat pada tahun 1998.

Buku ini berisi sebuah catatan etnografi interpretif, yang berbeda dari etnografi tradisional. Etnografi tradisional mirip dalam istilah Parsudi Supalan (Antropolog UI), dengan kegiatan pengumpulan kupu-kupu’ (butterfly collecting) yaitu untuk mengidentifikasi dengan cara memilah-milah berbagai ciri kupu-kupu secara taksonomik, dan dalam pendeskripsiannya dibuat seperti laporan JURNALISTIK

Sedangkan etnografi interpretif, yang jadi model etnografi masa kini yang oleh sosiolog Denzin (1997) sebagai praktik-praktik bagi abad ke-21, berbeda dan bahkan bertentangan dengan etnografi tradisonal.

Etnografi interpretatif pertama kali diperkenalkan oleh Cliford Geertz (1961) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Aswab Mahasin, Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa (1981) yang sangat terkenal itu.

Dalam pendekatan interpretatif ini, Ia melihat kegiatan naik haji, bukan hanya sebagai gejala keagamaan. Tapi juga adalah gejala sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam upaya memahami kompleksitas makna-makna yang terkandung di dalamnya.

Baca Juga  *Dukung PIK 2, Ah Lu Lagi...Lu Lagi...*

Untuk itu ia menggnakan semiotika dan hermeunetika pada berbagai tingktannya dalam menginterptretasi informasi informasi yang diperolehnya.

Informasi tentang jamaah mengenai pemikiran, perasaan, serta keyakinan sebagai pengalaman mereka yang tertuang  dalam bentuk tindakan, ucapan, tulisan  dan benda-benda material yang mereka beli dan kumpulkan.

Inilah sebuah etnografi yang akan dapat dibaca oleh setiap orang, bukan hanya ilmuan sosial saja. Moeslim Abdurrahman telah berhasil mendeskripsikan sebuah kisah nonfiksi secara manusiaawi mengenai kelompok orang yang eksklusif sebagai jamah haji-plus dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

 –000–

Buku ini merefleksikan perjalanan pribadinya ke makkah dan posisinya ketika mengerjakan etnografi yang sekaligus mencari kesalehan. Refleksi pribadinya melibatkan persoalan identitas rangkapnya (dualisme) yakni sebagai “ahli Antropolog , pemandu agama dan kritikus sosial”.

Sebagai antropolog dan pembimbing agama, ia melakukan pekerjaan etnografi pada komunitasnya sendiri (in group) tapi juga keterlibatan ia terhadap beragam suara/pendapat yang menafsirkan ibadah haji di “pusat sana” (tanah suci) yang muncul, dan ini tentu berbeda  rasanya kalau perdebatan itu biasa kita dengar di tanah air.

Sebuah pengakuan dari Moeslim Abdurrahman, ketika Iamenulis ada 3 perubahan dalam pencarian pribadi sewaktu ibadah haji, salah satu diantaranya seperti yang ditulis “ Meskipun saya mengnggap Ka’bah bukan bangunan keramat. Tapi saya suka sekali duduk menatapnya, terutama pada malam hari setelah tawaf atau shalat malam. Tuturnya, Ia pun melanjutkan :

Saya jadi teringat pada pengakuan Abu Yazid, ketika ia berkata ketika untuk pertama kalinya saya menunuaikan ibadah haji, saya melihat Ka’bah sebagai “kuil” bagi umat Muslim. Untuk ke-2 kalinya, saya melihat baik ka’bah maupun Tuhan di “kuil” tersebut. Dan ke-3 kalinya saya melihat, yang ada hanyalah Tuhan semata dan diri saya sendiri.

Ia melanjutkan, Ia terpaku dengan emosi keagamaannya  yang hanyut, sewaktu ketika Ia melakukan zikir. Bagaimanapun, hal tersebut serta dengan pengalaman seorang antropolog Bruner di An-Ashram ketika ia ikut melantunkan mantra’ dan tak dapat membedakan antara realitas, pengalaman dan PELANGGARAN.

Baca Juga  TAMBANG KONGLOMERAT dan PETANI KONG MELARAT, PRABOWO KEMANA

–000–

Buku ini juga membahas hal remeh temeh seperti tentang asesoris haji, dimana penulis memberi perhatian mengenai “kenang-kenangan naik haji” seperti yang dibangun melalui fotografi, kartu pos, dan cenramata dan yang lain semacamnya.

Semuanya ini berperan penting dalam membangun kembali identitas Islam setelah jamaah tiba di kampung halaman. Foto-fotoi haji sesungguhnya mewakili semacam sidik jarijamaah haji. Hal ini bkan hanya melukiskan haji secara harfiah,  tapi juga melembagakan hubungan antara rumah jamaah dan Rumah Tuhan.

Ketika setelah pulang haji, ada fenomena yang Ia temukan, ketika Ia berkunjung ke rumah jamaah. Di dinding-dindingrumah kelas menengah, disamping dihiasi lukisan-lukisanklasik  atau modern. Juga dipasang poteret Kabah yang berharga mahal yang dibawa pulang dari Makkah.

Bagian faforit saya dalam buku ini adalah penulis  menganalisis tentang catatan harian naik haji sebagai ciri dan “gendre” baru dalam literatur Indonesia.

Ia memlih 8 diantara beberapa cerita mengenai naik haji paling populer dan sekaligus membahas tentang penulisnya yang tidak hanya mewakili pengalaman spiritual  mereka saathaji. Tetapi juga mengenali ruang sosial, budaya dan politik melalui buku-buku catatan perjalan haji mereka, dalam konteks perubahan sosial di Indonesia.

Delapan cerita yang dipilih oleh penulis (Moeslim Abdurrahman) mengenai naik haji dan pengarangnya antara lain :

Pertama, catatan haji yang paling populer pada zaman Orde Baru ditulis oleh Danarto dengan judul ‘Orang Jawa Naik Haji’. Buku ini dierbitkan tahun 1984. Perjalanan ibadah haji atau risalah teologi tentang haji,.

Buku ini bukan tuntunan untuk menjadi pedoman dalam pengamalan haji. Ibadah haji sendiri bagi Danarto adalah sebagai “kanak-kanak, peserta yang keranjingan orang Indonesia dan modern.

Danarto adalah penulis fiksi, penyair, pemain drama, dan pelukis  yang tulisan tulisannya didasarkan pada budaya jawa dan ajaran sufi wahdat alwujud.Secara ringkas isi buku itu adalah :

(1) Pengalaman spiritual Danarto bertemu dengan Malaikat dekat ka/bah dan berkomunikasi secara spritual denganTuhan. Sebuah cita-cita yang didambakan oleh penganut ilmu kebatinan.

Baca Juga  Laut Kok Punya HGB. Negara Makin Kacau !

(2) Danarto menuliskan sebagaimana adanya, tulisannya bergaya tutur, puitis, sederhana, segar dan jenaka. Seperti yang ditulis, hajinya tahun 1993, Ia merasa bahwa itu merupakan suatu keajaiban. Karena secara kebetulan, ia melihat bahwa celengan di rumahnya berisi uang yang cukup untuk bayar ONH.

Ia tidak menyadari bahwa jumlah tabungnnya itu cukup besar. Karenanya,  ia percaya bahwa uang yang ia dapatkan adalah suatu keajaiban yang harus dikembalikan pada yang ‘Maha Gaib.

Pada malam itu ia menghitung tabungannya, meskipun masih punya cicilaan untuk rumah BTN-nya., ia dengan tegas memutuskan untuk naik haji dan merasa seakan  ia “terlahir kembali”.

Kedua, catatan orang Jawa lainya yang berusaha menyamai buku Danarto adalah ‘Buku Tamu Allah, yang ditulis oleh Muhammad Sobary (kang Sobari) tahun 1996.

(1) Penulis nampaknya ingin menggambarkan  spiritualitas jawa dan moralitas sufi dalam pengalaman peralannnya.Meskipun buku itu menggambarkan/menunujukan dirinya sebagai ‘kritik sosial’ ketimbang sebagai narasi pengalaman religius.

(2) Kang Sobary sendiri mengatakan  tujuannya melaksanakan umroh tidak hnya mengunjungi yang Maha Kuasa di tanah suci. Tetapi juga untuk “beristirahat” dari pekerjaannya sebagai kolumnis mingguan di kompas dan sebagai peneliti sosial LIPI (BRIN saat ini). Karena itu,impian ke tanah suci untuk melakukan sujud, ruku, dan berzikir dengan tenang dan damai, seakan saya besok akan pergi selama-lamanya.

Ketiga, catatan haji yang ketiga yang dianggap memiliki kecenderungan mistik Jawa ditulis oleh Suroso dan diterbiitkan 1990. Buku ini tidak berisi cerita pribadi mengenai pengalaman haji, tapi ia mengumpulkan anekdot haji, khususnya cerita-cerita yang berisi kejadian misterius selama ibadah haji. Judul bukunya “Haji dan Keanehan di Tanah Suci.

–000–

Ini buku sangat menarik. Namun saya terpaksa akhiri bacaan saya, karena harus bergabung kembali dengan “privat groupuntuk lanjutkan jelajahi kota Istambul pagi ini. Hmm....sepertinya saya semakin tertarik pada bab-bab berikutnya. Semoga bacaannya berlanjut di lain waktu.

——–

Hotel Trinity Taxzim, Kamis 16 Januari 2025

Pukul : 04.20

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *