oleh

TAMBANG KONGLOMERAT dan PETANI KONG MELARAT, PRABOWO KEMANA

-OPINI-515 Dilihat

Hilirisasi yang digadang-gadang sebagai jalan menuju kemajuan ternyata menjadi momok bagi petani di Halmahera Tengah, yang kini merasa mimpi mereka hampir sirna. Proses ini, yang diklaim sebagai bagian dari Program Strategis Nasional dengan sokongan fasilitas negara, justru memperlihatkan dominasi investasi asing yang berujung pada terkuncinya hak-hak petani.

Dalam praktiknya, kehadiran program tersebut tidak hanya mempersempit ruang gerak para petani untuk mempertahankan lahan dan penghidupan mereka, tetapi juga menunjukkan lemahnya peran pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan setempat dalam melindungi hak-hak masyarakat lokal. Dengan kondisi seperti ini, hilirisasi yang seharusnya menjadi katalisator pembangunan dan kesejahteraan masyarakat berubah menjadi ancaman nyata yang menggerogoti kedaulatan petani atas tanah mereka sendiri.

Undang-Undang Cipta Kerja yang diharapkan menjadi solusibagi berbagai permasalahan justru menghadirkan tantangan baruyang semakin menekan masyarakat dan pemerintah daerah. Alih-alih memberikan kemudahan dan keadilan, aturan ini malah memperkuat kesan keterpinggiran pihak-pihak yang seharusnya dilibatkan dalam proses pembangunan. Dengan pengaturan kewenangan yang cenderung sentralistik, ruang bagi pemerintah daerah untuk menjalankan otonomi menjadi semakin sempit. Ironisnya, otonomi yang dulu diperjuangkan dan menjadi kebanggaan diskusi di warung kopi, kini seolah tereduksi menjadi wacana belaka tanpa implementasi nyata. Sentralisasi yang diatur sedemikian rupa tidak hanya menimbulkan ketimpangan, tetapi juga menciptakan jarak antara kebijakan pusat dan kebutuhan riil masyarakat di daerah.

Hilirisasi sering kali digambarkan sebagai transformasi besar yang menjanjikan kemajuan, seolah-olah mengubah buah kelapa menjari emas. Janji-janji manis tentang perubahan dari provinsi agraris menjadi provinsi industri, serta dari wilayah tertinggal menjadi kawasan maju, terus digaungkan sebagai harapan masa depan. Namun, realitas yang muncul justru bertolak belakang dengan ekspektasi tersebut. Hilirisasi ini tidak membawa kesejahteraan sebagaimana yang dijanjikan, melainkan berubah menjari “drakula” yang menghisap ekonomi rakyat. Dampaknya terlihat jelas melalui inflasi yang meroket dan ketimpangan harga yang semakin melebar, menyisakan kesulitan ekonomi bagi masyarakat kecil. Alih-alih menjadi solusi pembangunan, hilirisasi hanya meninggalkan “tulang belulang” berupa kerugian dan kekecewaan bagi mereka yang terpinggirkan dalam arus perubahan tersebut.

Baca Juga  In Memoriam KH. Abdul Gani Kasuba, LC, Ustad Ku, Gubernur Ku

Hilirisasi sering dipromosikan sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dibungkus dengan narasi surgawi yang penuh filosofi dan argumentasi ilmiah. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) kerap dijadikan landasan untuk memperkuat klaim tersebut, memberikan kesan bahwa program ini memiliki dasar yang kuat dan tak terbantahkan. Dalam berbagai acara kenegaraan maupun daerah, hilirisasi menjadi materi pidato andalan yang disampaikan dengan penuh semangat, dirancang untuk memukau dan menyenangkan hadirin. Tepuk tangan yang bergemuruh dari para audiens seringkali menjadi indikator keberhasilan retorika tersebut, meski pundi balik itu, substansi dan implementasi nyata dari hilirisasi masih menjadi tanda tanya besar.

Pada akhirnya, narasi besar ini lebih sering digunakan untuk menciptakan ilusi keberhasilan daripada menjadi refleksi jujur atas realitas yang dihadapi masyarakat.

Tontonan kepiawaian pejabat berpidato sering kali menjadi jalan mulus untuk eksploitasi tambang yang tidak hanya menggusur anak negeri, tetapi juga menciptakan kemiskinan di kawasan tambang. Padahal, permasalahan ini seolah dianggap bukan bagian dari problem bangsa, karena alasan utama yang dijadikan fokus adalah pertumbuhan ekonomi untuk mencapai status negara maju. Namun, pertumbuhan ekonomi ini nyatanya tidak dirasakan oleh anak bangsa sendiri, melainkan oleh pihak-pihak tertentu yang menjadi penikmatnya. Sebuah ironi yang terjadi, di mana yang dianggap penting adalah pertumbuhan ekonomi, sementara kesejahteraan rakyat menjadi urusan yang terpinggirkan. Dalam setiap forum bilateral, multilateral, atau global, ketahanan ekonomi bangsa hanya diukur dari seberapa kuat pidato pejabat di podium, tanpa memperhatikan dampak dari kebijakan tersebut terhadap rakyatnya yang tertindas.

Baca Juga  Catatan Pimred : SAYA TALIABU Menangi Pilkada Kabupaten Pulau Taliabu, Era Baru Atau Sama Saja Kah

Hilirisasi yang digembar-gemborkan sebagai solusi untuk meningkatkan perekonomian, ternyata membawa dampak buruk bagi petani dan pelaku ekonomi lokal. Meskipun pejabat negara menyebutnya sebagai bentuk penghiburan, kenyataannya di pasar, petani atau pelaku ekonomi lokal yang berusaha bekerjasama dengan industri tambang, mereka harus berhadapan dengan berbagai persyaratan yang justru menghalangi partisipasi mereka. Dalam banyak kasus, jika ada transaksi yang melibatkan pengusaha lokal, posisinya sudah diambil alih oleh pejabat, baik pejabat negara maupun pejabat daerah, seolah pelaku ekonomi lokal tidak layak atau tidak pantas bekerja sama dengan industri tersebut. Kenikmatan dan keuntungan dari industri tambang hanya dirasakan oleh pejabat negara dan daerah, sementara petani, pengusaha, dan masyarakat lokal dipaksa untuk tidak bergerak. Ancaman akan datang dari aparat negara yang mengatasnamakan perlindungan terhadap investasi asing, sekaligus mengorbankan pelaku lokal demi proyek strategis nasional yang sering kali lebih menguntungkan pihak-pihak tertentu di luar komunitas lokal.

Baca Juga  “Catatan Tarada Hambak”.Perkelahian Trump-Zakensky “ Dunia Kanang Dunia Bisnis”

Prabowo Subianto, sebagai Presiden yang gagah perkasa, berdiri didepan dengan lantang menyampaikan arah pembangunan nasional yang berfokus pada ketahanan negara, khususnya ketahanan pangan dan kekuatan ekonomi lokal. Dengan visi yang jelas, beliau menempatkan nasionalisme sebagai pondasi utama dari kebijakan pemerintahannya, menghubungkan kekuatan ekonomi lokal dengan semangat kebanggaan terhadap bangsa. Keberanian beliau terlihat ketika hadir di berbagai forum global, menantang WTO dan memberikan dukungan moral yang kuat bagi para petani, nelayan, dan kaum terpinggirkan. Tindakan nyata beliau terlihat dengan membongkar pagar laut untuk memberi kepastian bagi nelayan serta mengomandokan TNI Pangan sebagai bagian dari resolusi ketahanan pangan. Semua ini bertujuan membangkitkan anak bangsa yang tumbuh dengan kekuatan ekonomi yang kokoh, tidak lagi merasa minder terhadap bangsa lain, karena pangan sebagai penyangga ekonomi yang kuat dan mandiri.

Prabowo Subianto, dengan semangat nasionalismenya, mengobarkan api perjuangan untuk melawan konglomerasi investor yang melaratkan petani dan nelayan, sebagaimana yang disebutkan warga Maluku Utara dengan istilah “Kong Melarat.”

Bagi banyak orang, Prabowo Subianto menjadi secercah harapan yang  muncul dari tanah nikel di Halmahera, sebagai simbol perubahan dan perjuangan bagi rakyat kecil.

Ternate, Kampoeng Malanesia-SIDEGon, 22 Januari 2024.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *