Seiring dengan berjalannya waktu, PPP dihadapkan pada berbagai dinamika di era reformasi. Terutama saat presiden Jokowi berkuasa. Sebuah kekuasaan dengan strategi menyandera, khususnya sandera para ketum partai. PPP tidak lepas dari dinamika ini.
Dalam situasi kekuasaan yang menggunakan “strategi sandera”, PPP seringkali dihadapkan pada dilema. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kebijakan PPP dalam menentukan afiliasi politiknya.
Dalam perjalanannya, tak jarang perahu PPP harus dibawa melaju melawan arus konstituennya. Adanya intervensi kekuasaan membuat PPP sering dipaksa kontra terhadap umat. Akibatnya, suara PPP terus tergerus.
Pemilu 2019, PPP hampir tidak masuk ke Senayan. Rumor yang berkembang, PPP dapat “syafa’at” dari penguasa sehingga masuk di Senayan. Pemilu 2024, PPP tak lagi bisa ditolong. Kehilangan banyak suara, PPP gagal masuk ke DPR RI. Ini kali pertama PPP tidak punya wakil di DPR RI.
Selain kontra konstituen, tiga hingga periode terakhir, internal PPP banyak dilanda kekisruhan. Kader satu sama lain saling menjatuhkan. Para elitnya saling jegal. Inilah yang kemudian membuat PPP semakin rapuh. Sampai akhirnya, pemilu 2024 PPP harus mengucapkan “goodby” pada temen-temennya di DPR RI. PPP gagal masuk Senayan.
Apakah kegagalan ini menyadarkan para elit PPP untuk menginsafinya, lalu kompak membangun strategi untuk bangkit kembali?
Semangat membangun ada, tapi kompak gak ada. Masing-masing elit sibuk dengan agenda kepentingan politiknya masing-masing. Ya, itulah politik. Sampai di sini, publik melihat PPP saat ini adalah partai Islam yang penuh ironi.
Komentar