Oleh : M. Guntur Alting/Anak Mareku
“Nabi saat Idul Fitri tak pernah mudik ke kampung halamannya di Mekkah. Kok Anda malah rame-rame mudik?”—Nabi itu progresif bergerak ke depan. Karena itu Nabi hijrah. Bukannya malah mudik pulang kampung.” Tak ada dalilnya buat mudik.— “Ingat setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”.
“Tapi Saudara-Saudaraku….Selamat mudik yaah !.Jangan dengar orang yang bilang mudik itu bid’ah. Dia itu mau hijrah,. Anda mau mudik, ya juga silahakan.(he he… ) Semoga semuanya selamat sampai di kampung halaman, dan salam hangat untuk keluarga Anda.!”
——–
Begitulah Nadirsyah Hosen menarasikan dialog ‘imaginernya’, dan saya pun dibuat geli tersenyum membacanya. Kebetulan diparuh akhir ramadhan, selain Al-Qur’an, saya juga ‘mentadarrus’ pikirannya sang “kiyai nyentrik” ini, yang juga pengajar di Melbourne University.Tulisan-tulisannya kadang “nyeleneh” tapi mencerahkan dan sekaligus menghibur.
Raro Gam, secara sederhana memiliki makna “jenguk/besuk kampung”. Sebuah panggilan primordial purba bagi para pengelana/pengembara atau ‘wonderer’, sekedar meminjamistilah teori arketipenya Carol Pearson dalam karya “The Hero Within”. Ini saya kutip dari Asghar Saleh dalam “draft” pengantar beliau terhadap buku saya “Sejenak Hening”.
Adalah William James, filsuf Amerika Serikat, menyatakan kepedulian utama manusia dalam hidupnya adalah kebahagiaan. Bagaimana cara memperoleh, mempertahankan, dan memulihkan kebahagiaan merupakan motif tersembunyi dari tindakan kebanyakan orang, termasuk dalam kehidupan beragama.
Sigmund Freud ‘menjangkarkan’ kebahagiaan itu pada pencapaian kenikmatan-seksual (the will to pleasure), sedangkan Alfred Adler pada kehendak untuk berkuasa (the will to power). Namun, Viktor Frankl, lewat refleksi dirinya sebagai ‘penyintas’ yang nyaris bunuh diri di kamp konsentrasi Nazi, mengajukan pandangan yang berbeda.
Menurut dia, pencapaian kebahagiaan tertinggi itu terengkuh bukanlah dalam keberhasilan, kesenangan, dan kekuasaan, melainkan dalam keberanian untuk menghadapi kenyataan dengan segala pahit getirnya. Frankl percaya pada kehendak untuk menemukan makna (the will to meaning)—lewat kemampuan berdamai dengan kenyataan dan pengorbanan untuk menjadi lebih besar daripada diri sendiri—merupakan sumber kebahagiaan tertinggi.
Akan tetapi, apa artinya makna hidup jika kenyataan sehari-hari senantiasa dirundung kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan kekalahan persaingan yang tidak seimbang
Kata Yudi Latif, “Dalam kesulitan menemukan makna hidup ke depan, orang-orang akan mencarinya dengan berpaling ke belakang. Kepulangan ke kampung halaman, dengan segala kerinduannya sambil mencari suaka sementara dari kepengapan hidup kota besar, merupakan mekanisme katarsis demi mengisi kekosongan makna hidup.”
Saya jadi teringat ketika Covid melanda 2020 silam. Tatkala para pembesar negeri melarang warga mudik Lebaran, seorang asisten rumah tangga saya bereaksi, “Tuan bisa menikmati berbagai macam kebahagiaan sepanjang tahun, sedangkan kebahagiaan saya cuma sekali setahun, yaitu mudik Lebaran. Apakah kebahagiaan satu-satunya itu pun harus saya korbankan?”
Raro Gam, dan Kepingan Jejak
Raro Gam, bukan sekadar tradisi tahunan yang dilakukan saat libur panjang atau hari raya. Bagi seorang pengembara, ini adalah perjalanan kembali ke tempat yang selalu dirindukan—tanah kelahiran, rumah yang penuh kehangatan, dan keluarga yang selalu menanti dengan doa.
Di antara jalanan berdebu dan rumah-rumah sederhana, ada kenangan yang tersimpan rapi. Raro Gam bukan hanya tentang melepas rindu dengan keluarga, tetapi juga tentang menyadari sejauh mana perjalanan di tempat rantau membawa perubahan dalam diri.
Kampung, dengan segala kesederhanaannya, mengajarkan nilai kerja keras, ketulusan, dan kebersamaan. Meskipun kini sebagian besar waktu dihabiskan di negeri orang, ada jejak-jejak kampung seperti pantai, kebun, lapangan tempat bermain bola, bahkan bilik kamar masa kecil yang tetap melekat dan itu semua sangat membahagiakan.
Saat kembali, wajah-wajah penuh kehangatan menyambut dengan senyum, cerita lama masih terdengar segar, dan doa-doa yang tulus terus mengalir. Ada kesadaran yang muncul, ibarat burung, sejauh-jauh terbang nanti akan kembali ke sarangnya juga. Inilah wujud kerendahan hati dan menghargai asal-usul.
Lebih dari itu, Raro Gam menumbuhkan rasa syukur. Syukur atas kesempatan pekerjaan, atas pengalaman di tempat rantau, dan atas kenyataan bahwa selalu ada rumah yang menanti kepulangan. Di tengah hiruk pikuk kota, Raro Gam menjadi momen untuk ”melambat sejenak”, menikmati kebersamaan dengan keluarga, dan memahami bahwa kebahagiaan sejati sering kali terletak dalam hal-hal sederhana.
Raro Gam bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin—sebuah refleksi tentang bagaimana setumpuk pengalaman yang diperoleh di daerah rantau bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana adab dan akhlak bisa menjadi cahaya bagi keluarga dan lingkungan sekitar.
Selain itu, Raro Gam juga mengajarkan tentang perubahan. Rumah yang dulu ramai mungkin kini terasa lebih sepi, orang-orang yang dulu banyak bercanda kini semakin “menua”, dan beberapa yang tersayang mungkin sudah tiada. Semua ini mengingatkan bahwa waktu terus berjalan dan setiap momen bersama keluarga harus benar-benar dihargai.
Pada akhirnya, Raro Gam bagi seorang pengembara adalah perjalanan yang syarat makna. Ini bukan hanya tentang kembali ke rumah, tetapi juga tentang membawa cahayapengalaman ilmu yang telah didapat, menjaga hubungan dengan keluarga dan masyarakat, serta melangkah ke depan dengan hati yang penuh kehangatan dan syukur.
Setiap manusia memiliki apa yang disebut oleh Komarrudin Hidayat sebagai “Bangunan Psikologis” yang akan selalu meronta-ronta dan memanggilnya, bangunan psikologis itu adalah orang tua, saudara kandung, anak, kerabat dan kampung halaman tempat ia lahir dan dibesarkan. Bahkan sekolah, sumur, bebatuan, hewan peliharaan seperti ayam dan kucing bahkan tanaman.
Menyaksikan tayangan Adikku Tuti Usman (Bawaslu Propinsi Maluku) di tepian pantai Mareku dengan latar laut dan pulau Maitara, tak terasa membuat air mata tergenang, pikiran berloncatan melalang buana pada puluhan tahun yang silam, kepingan– kepingan kisah dan kenangan masa kecil hadir kembali menari-nari dalam pikiran.
Begituga juga video ‘mengitari’ kampung dan batal puasa bersama dari Abangku Amandi (Kusnadi Hi Umar) ‘sang kreator’ yang juga saat ini memimpin sebuah sekolah unggulan di Kota Ambon, semakin membuat kerinduan kian membuncah.
****
Raro Gam juga mengajak kita untuk kembali menengok panorama keindahan alam di kampung halaman. Karena selain ayat yang tertulis di dalam kitab suci, ayat Allah juga terbentang di alam semesta. Inilah ayat kauniyah.
Dari sinilah, oleh Maulana Jalaluddin Rumi dalam “Matsnawi” nya mengajari muridnya akan lukisan ayat ilahi dalam semesta? Apa bekal yang bisa kita ambil untuk perjalanan mudik kita dari tamsil yang disampaikan Rumi?
Rumi mengajak para muridnya menuju taman bunga di musim semi. Awalnya dia ajak muridnya mendegarkan suara gemercik air. Baginya, suara gemercik itu bagaikan ekspresi kerinduan akan kampung halaman. Bukankah pecinta terus berputar seperti orang yang tidak hentinya meratap? Kerinduan akan kampung halaman ini melampaui mudik yang kita lakukan menjelang Ramadhan berakhir.
Apa jadinya bila dahan dan ranting tersentuh desiran musim semi atau nafas ar-Rahman? Ranting dan dahan pun mabuk kepayang dan luluh dalam tarian agung. Itu sebabnya kita lihat ranting dan dahan bergerak melambai seolah tengah menari saat ditiup angin. Tarian ini adalah sebuah gerak yang mewarnai penciptaan di semua tingkatan. Tanpa gerak tak ada penciptaan. Tanpa tarian tak ada kehidupan. Rumi pun bersyair:
“Ranting pun menari seperti mereka yang bertobat”
“Dedaunan pun bertepuk tangan seperti penyanyi pengembara…”
“ Dan……
——-
** Cukup dulu di sini, sambung di bagian.. (2)
Komentar