oleh

Obituari AGK : PERGINYA ‘THE LEGEND OF DAKWAH”

-OPINI-1097 Dilihat

Oleh : M. Guntur Alting/Dosen UMJ Jakarta

De Mortuis Nihil Nisi Bene Tentang yang telah tiada, jangan katakan apapun kecuali yang baik” (Pepatah Latin).

_______

Pepatah latin di atas, adalah kutipan faforit saya, ketika mengawali sebuah catatan kematian pada seseorang yang pernah ‘berinteraksi dengan saya, entah  diberi judul, Obituary atau In memoriam dan semacamnya.

Catatan ini saya batasi pada titik kisarperjalanan (Alm) KH.A.Ghani Kasuba pada fase awal kepulangan beliau dari studi di Madinah dan kiprah dakwah, selanjutnya memberi makna yang lebih luas dalam sebuah pendekatan filosofis bagi yang masih hidup.

Saya adalah anak ke tiga dari lima bersaudara. Mendiang Ayah saya bernama H.Abdul Gani Alting, entah sepertikebetulan nama awalnya mirip dengan nama (Alm).KH.Abdul Ghani Kasuba.  Ayah saya adalah seorang guru agama SD, yang bertugas dari suatu wilayah ke wilyah lain di sepanjang Halmahera. Berawal di Patani, Wasile dan desa Lola Kecamatan Oba.

Saya mengenal KH.Abdul Ghani Kasuba pertama kali, saat saya duduk di bangku Madrasah Tsnawiyah (MTS) Mareku Tidore, ketika itu saya ikut ayah saya ke tempat tugasnya di Desa Lola Kecamatan Oba. Dan suatu sore, mendiang Ayah berkata :

      “Ato (panggilan kecilku)…siap-siap, Kitorang sambut Penceramah

      “Siapa yang ceramah Papa?

      “KH. Abdul Ghani Kasuba dari Ternate, nanti sabantar cium tangannya ambil berkah

Saya hanya menganguk, dan sekaligus penasaran seperti apa sosok beliau?. Menjelang magrib, yang ditunggu-tunggu pun tiba. Saya terpesona menatap wajahnya, aura mukanya kuat memancarkan cahaya sebagai seorang yang berilmu, teduh dan damai. Terlebih saat berada di atas mimbar, suaranya lembut namun lantang, mengalir dan mengayun, kadang meninggi, kadang rendah, raut mukanya gagah dengan kopiah dan balutan sorban dilehernya.

Usai ceramah, Ayah menuntun tangan keciku untukmenyalami Sang Kiyai, beliaupun dengan lembut mengulurkan tangannya, kemudian mengusap kepalaku dan berkata :

    “Ade, Ade pe nama siapa?

    “ Guntur, tapi dipanggil Ato !

    “ hanya Guntur’?,

     “Muhammad Guntur Alting”, jawabku.

Nanti Guntur”- kata beliau, sekolah bae bae eee…Ustadz kase doa supaya Anak Guntur, sekolah tinggi dan suatu saat bisa ba dakwah. Saya hanya mengganguk, dan beliau menyelipkan tiga lembar doi sambil berkata “ Ini doi untuk beli buku tulis dan Pensil.

Sejujurnya, saat itu saya tidak terlalu paham, minat dakwah saya juga belum tumbuh, dan cita-cita saya pun masih angin-anginan/berubah-ubah seperti umumnya anak kecil.Begitulah, awal saya  mengenal KH. Abdul Ghani Kasuba puluhan tahun silam.

Waktu pun berjalan, saat itu langit Maluku Utara dipenuhi pencerahan dakwah beliau. Beliaulah satu-satunya King Of Dakwah Maluku Utara kala itu. Beliau berdakwah di seantero Maluku Utara, dengan alat tranportasi laut yang sederhana, beliau tak pernah lelah, menjangkau di seluruh pelosok pulau-pulau.

Sosoknya telah menginspirasi anak-anak muda Maluku Utara, darinya lahir para aktivis dakwah dan pendidik, dari kalangan aktivis mimbar ada sederetan nama seperti KH. Rusli Amin, Ustadz Ibrahim Muhammad, HM.Saleh Yasin, H.Usman Muhammad, H.Saleh Sakolah, tentu masih ada deretan nama lainnya, belum lagi para pendidik yang membina pesantren dan lembaga pendidikan Agama yang tidak bisa dituliskan semuanya.

Baca Juga  Penahanan Hasto dan Mosi Tidak Percaya PDIP Terhadap Prabowo-Gibran

Memori kolektif masyarakat Maluku Utara, juga tak akan lupa sosoknya sebagai seorang pemandu (pembimbing) haji yang mumpuni, terdapat kisah-kisah haji bersamanya pada generasi orang tua-tua di kala itu, yang selalu kita dengar, ibadah haji saat itu identik dengan nama “Haji Ghani”, begitulah sapaan akrab beliau. Bahkan konon ketika beliau diajak untuk menadampingi Pak H.Thaib Armain sebagai Wakil Gubernur, beliau bersedia tapi  dengan satu syarat, beliau tak dilarang dampingi jamaah pada setiap musim haji.

Belaiau pun juga menginspirasi kelompok “para da’i” untuk terjun di arena politik, tak heran bermunculan para aktivis dakwah ke gelanggang politik, sebutlah H. Redwan Elyas(Mantan Wakil Bupati HalTengah) H.Muhammad Kasuba (Mantan Bupati Halsel), HM. Saleh Yasin (Mantan Anggota & Ketua DPRD Tidore), Asrun Padoma (Mantan Wakil Bupati Morotai), Kasman Hi. Ahmad (Wakil Bupati Halut 2025-2030) H.M. Guntur Alting (Pilwako Tidore 2020), H.Qubays Baba (Pilbup Morotai 2025) dan terakhir H. Sarbin Sehe yang akhirnya terpilih sebagai Wakil Gubernur Maluku Utara 2025-2030.  

Sadar atau tidak, dalam level mikro Maluku Utara, beliau adalah faktor pemantik, dan tentu pada level makro (nasional)terdapat kelompok dai/agamawan yang terjun ke gelanggang politik sebutlah KH. Hasym Muzadi (Calon Wapres) TGB. Zainul Mazdi ( Mantan Gubernur NTB) dan tentu belakangan adalah KH.Maruf Amin (Wapres).

                                      ***

Bercermin dari perjalanan pasang surut hidup beliau, saya jadi teringat pada kata hikmah Ustadz H.Abdul somad ketika berdialog dengan Rocky Gerung di sebuah podscastDimana,  ada masanya berbunga, ada masanya harum semerbak, tapi kemudian ada masanya layu dan kemudian mati”.

Dari sini kita lantas bertanya, bagaimana kaum filosof melihat kematian? Kata merekaorang filsafat tidak bisa lihat kematian. Karena orang filsafat menganggap, kematian itu adalah sama misterinya dengan kehidupan. Epikorus seorang filosof yunani  menyebut waktu kita hidup kita tidak mati, waktu kita mati kita tidak hidup. Jadi itulah dua kualitas yang tidak perlu diperbandingkan.

Agama punya point of view yang lain, bahwa kematian adalah penundaan dari harapan. Harapan itu hanya bisa kita peroleh dengan melewati fase kematian, jadi ada politics of hope di dalam kematian,” .

Bagi para filosof kehidupan adalah politics of memory. Memori itu kita hentikan supaya kita punya hope. Namun, sebetulnya menurut filosof,  kalau di dalam ilmu pengetahuan yang lebih positivistik menanyakan kematian itu tidak layak ditanyakan kepada orang hidup.

Dulu ada seorang sosiolog yang ditanya oleh seorang wartawan, jika sosiolog itu meninggal, ingin dikuburkan di mana dan dengan cara apa?. Di jawab oleh sosiolog itu, sebaiknya para wartawan menanyakan kepada jenazahnya kelak.

Jadi pertanyaan tentang kehidupan nanti, itu adalah pertanyaan untuk orang mati. Kalau orang hidup itu hanya menggambar kenikmatan hidup nanti, ada kebahagiaan, kata paara filosof. Ibnu Sina menyebut antara teologi dan filsafat bersahabat baik. Karena teologi menggambarkan kehidupan pasca kematian dalam format keadaanya yang indah. Sementara filsafat, merasionalisasi dan mengkritik jalan pikiran itu. “Jadi kematian itu tema bersama teologi dan filsafat,”

Baca Juga  Dilaporkan Ke KPK, Jokowi Respon Dengan Senyum

                                      ****

Berpulangnya AGK, mengingkatkan saya pada Paulo Coelhe Pengarang ‘Novel Al-Kemis’ berkisah, suatu saat seorang Wartawan The mail  datang ke hotelnya di London dan mengajukan pertanyaan sederhana. “ Seandainya Anda mati hari ini, pemakaman macam apa yang Anda inginkan?Sebenarnya pikiran tentang kematian  sudah ada dibenak saya setiap hari sejak 1986, waktu saya menuju Santiago.

Sebelumnya, saya selalu ngeri membayangkan suatu hari nanti semuanya akan berakhir, tetapi pada salah satu tahap ziarah itu, saya melakukan latihan untuk menyelami rasanya dikuburkan hidup-hidup. Sungguh  pengalaman yang  sangat intens sehingga melenyapkan semua rasa takut saya—dan sesudahnya, Saya menganggap kematian sebagai teman saya sehari-hari, yang selalu mendampingi saya dan berkata “Aku akan mencolekmu, tapi kau tidak akan tahu saatnya. Maka jalanilah hidupmu seintens mungkin.”

Karena itulah”, kata Paolo  “saya tidak pernah  menunda-nunda apa yang bisa saya kerjakan atau saya alami hari ini-diantaranya bersuka cita, menuntaskan kewajiban pekerjaan,meminta maaf kalau saya merasa melukai hati seseorang, serta berkontemplasi tentang saat-saat sekarang, seolah-olah inilah hari terakhir saya.

Saya ingat, sudah berulang kali saya menyerempet dengan maut, kata Paolo. Ia menuturkan pada suatu hari di tahun 1974 di Rio de Janeiro, Taxi yang Ia tumpangi di hadang para militer bersenjata dan menutup kepalanya dengan kain. Walaupun mereka bilang saya tidak diapa-apakan, tetapi saya yakin sekali bahwa sebentar lagi saya akan masuk dalam daftar orang-orang yang “dihilangkan” oleh rezim militer.

Wartawan itu masih bertanya lalu bagaimana dengan tulisan di batu nisan Anda?  Berhubung saya akan dikremasi, tentunya tidak akan ada batu nisan untuk menuliskan sesuatu, toh abu jenazah saya sudah lenyap terbawa angin. Tetapi seandainya saya mesti memilih kata-katanya, maka inilah pilihan saya “ Dia wafat  ketika sedang menjalani hidupnya.”

Mungkin ini aneh, tetapi saya kenal banyak orang yang sudah berhenti menjalani hidup, meskipun mereka bekerja, makan dan beraktivitas sehari-hari. Mereka jalani hidup ini secara otomatis tak menginsafi bahwa setiap hari membawa keindahannya sendiri, tak menyempatkan diri untuk merenungkan tentang mukzizat hidup, tak nyana bahwa  bisa saja menit berikutnya bakal menjadi menit teakhir mereka di planet ini.

Setelah wartawan itu pergi, Saya kemudian memutuskan untuk menulis ini “kita perlu bersyukur terhadap setiap menit yang kita lalui, tapi kita juga berterimaksih, sebab dialah yang membuat sadar akan pentingnya setiap keputusan yang kita buat atau tidak kita ambil. Mautlah yang membaut kita berhenti melakukan hal-hal yang jadi perangkap dan menjadikan kita ‘mayat’ hidup.

Sebaliknya kita di dorong untuk mengambil risiko,mempertaruhkan segalanya demi segala yang yang kita impikan, sebab suka atau tidak suka, malaikuat maut telah meninggalkan kita. Demikian Paolo Coolhe berkisah.

                                           ***

Menyaksian ribuan orang yang menangisi kepergian AGK, saya pun merenung, ketika malam tiba dan tak seorang pun melihat, Aku merasa takut akan segalanya, hidup, mati, cinta atau ketidaan cinta, kenyataan bahwa semua hal baru dengan cepat menjadi kebiasaan, perasaan bahwa aku menyia-nyiakan tahun-tahun terbaik dalam hidupku dalam pola yang akan terus berulang sampai aku mati, dan kepanikan yang luar biasa saat menghadapi hal yang tak diketahui, betapa pun menarik dan penuh petualangan itu.

Baca Juga  Di Era Prabowo, Orang-Orang Yang Dibesarkan Jokowi Dibantai

“Meninggal besok tidak lebih buruk daripada meninggal di hari lain. Setiap hari harus dijalani atau menandai kepergian seseorang dari dunia ini. Demikian kata Heidegger.

Saya masih ingin melanjutkan catatan ‘memoar’ ini, ketika sebuah bunyi Watshap yang menyelinap masuk di WAG keluarga, muncul petikan goresan hati dari Sang Putra AGK, M.Thariq Kasuba yang dikirim Kakakku Mohtar Alting,sejenak menghentikan jemariku untuk mengetik dan membaca, tak terasa air mata menetes, teringat juga mendiang Ayahku mendiang H. Abdul Gani Alting Sang Pendakwah Kampung.

Inilah petikan Goresan Putra (alm) KH. Abdul Gani Kasuba, Muhammad Thariq Kasuba :

Ayah ku..Sang Pendakwah Tak Kenal Lelah

Ayah namamu akan selalu terukir dalam hatiku sebagai sosok yang penuh ketulusan, seorang pendakwah yang mengabdikan hidupnya untuk agama, umat, dan kebaikan. Engkau bukan hanya ayah bagiku, tapi juga guru, panutan, dan cahaya yang membimbing kami semua.

Aku masih ingat.. bagaimana setiap langkahmu selalu membawa kebaikan. Suaramu yang lembut namun tegas saat menyampaikan dakwah selalu membuat hati tenang. Engkau mengajarkan kami untuk mencintai Allah, untuk berpegang teguh pada iman, dan untuk selalu berbagi dengan sesama.

Aku ingat.. di setiap perjalanan dakwahmu, engkau tidak pernah mengeluh meski harus menempuh jarak yang jauh, meski tubuhmu lelah. Senyummu tetap merekah, hatimu tetap lapang, karena engkau yakin bahwa jalan yang engkau tempuh adalah jalan kebaikan.

Di rumah, engkau adalah sosok ayah yang penuh kasih. Engkau selalu mendengarkan kami, memberi nasihat dengan sabar, dan menanamkan nilai-nilai Islam dalam setiap tindakanmu. Engkau mengajarkan kami untuk hidup sederhana, untuk selalu rendah hati, dan untuk tidak pernah meninggalkan shalat.

Kini, engkau telah pergi... Tak ada lagi sosokmu yang menyapa dengan lembut, tak ada lagi suara dakwahmu yang menyejukkan. Namun, ayah, warisan ilmu dan kebaikan yang engkau tinggalkan akan terus hidup.

Aku merindukanmu, ayah. Tapi Aku tahu, engkau telah kembali kepada Allah, Sang Pemilik Segala. Aku hanya bisa mendoakanmu, semoga Allah melapangkan jalanmu, menerima segala amal ibadahmu, dan menempatkanmu di surga-Nya yang penuh cahaya.

Terima kasih telah menjadi ayah yang luar biasa. Terima kasih telah mengajarkan kami arti hidup yang sesungguhnya. Semoga kelak kita dipertemukan kembali dalam kebahagiaan yang abadi. Aamiin.

Aku anak mu …. akan melanjutkan perjuangan dakwah mu.

                                                                              Muhammad Thariq Kasuba

                                         ***

Akhirnya, diujung fajar menyingsing waktu Jakarta, jemari tangan ini menuliskan ucapan

   “Selamat Jalan Guru Mimbarku,  

    “Selamat Jalan Legenda Dakwah Maluku Utara,

Kami akan selalu mengenang dan mendoakanmu dalam tidurmu yang panjang di sisi Rabmu, Al-Fatihah, Amiin. ***

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *