oleh

PROSES PEMBENTUKAN TATANAN GLOBAL BARU DAN MASA DEPAN RI

-OPINI-405 Dilihat

By.Smith Alhadar : Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

Dunia sedang berubah ke tatanan multipolar. Akselerasinya dipercepat oleh perang Rusia-Ukraina, krisis Timur Tengah, BRICS yang kian berdaya, dan kebijakan isolasionisme AS di bawah Presiden Donald Trump. Semua gejala ini menimbulkan ketidakpastian global tingkat tinggi.

Bisa jadi keadaan ini bertahan relatif lama mengingat aksi sepihak Trump mendamaikan Rusia dan Ukraina dengan mengorbankan Ukraina dan mengancam keamanan Eropa ditentang oleh sebagian besar negara Eropa. Kehendak Israel melanjutkan perang di Gaza sambil merelokasi warganya serta ancaman serangan Israel-AS terhadap Iran memperburuk situasi global.

Dukungan terang-terangan AS terhadap genosida dan ethnic cleansing Israel di Gaza, ditambah deportasi mahasiswa asing yang menentang genosida Israel serta tekanan terhadap kampus-kampus di AS untuk membungkam kebebasan berpendapat terkait kebiadabn Israel, hanya menegaskan AS menghancurkan tatanan internasional berbasis hukum.

Ancaman Trump menduduki Greeland yang berada dalam kendali Denmark, mencaplok Kanada, dan mengambil alih Terusan Panama dengan kekerasan menimbulkan ketegangan dengan sekutu Eropa. Apalagi ia juga mengancam akan keluar dari NATO kalau para anggotanya tidak meningkatkan belanja militernya.

Penghancuran multilateralisme yang dibentuk sekutu pasca Perang Dunia II berdampak pada semua negara. Indonesia yang bergantung pada pupuk dan gandum Rusia dan Ukraina, serta impor  minyak dari Timteng akan menghadapi ujian berat bila pecah perang Teluk. Kebijakan tarif Trump terhadap produk Indonesia akan juga memukul performa perekonomian nasional.

Tatanan global memang sedang ditulis ulang. Tapi arahnya sulit diprediksi mengingat sikap Trump yang berubah-ubah. Toh, kebijakan tarif terhadap produk Cina berimplikasi pada perekonomian AS. Juga bila Eropa membalas kebijakan tarif terhadap produk mereka. Kebijakan tarif berbasis pada prinsip “America First” untuk membuat “America Great Again” bisa jadi bumerang.

Sesungguhnya tatanan multilateralisme pimpinan AS justru memberi keuntungan besar pada AS. Multilateralisme dan nilai-nilai demokrasi, HAM, hukum internasional, dan pluralisme selama ini menjadi instrumen AS dalam menjaga hegemoninya.Ketika kekuatan-kekuatan baru bermunculan, yang menggerus kekuatan AS, Trump mengambil kebijakan isolasionisme dan realisme politik yang meminggirkan semua konvensi internasional.

Bangkitnya kubu kanan di AS yang, di antaranya, dicirikan oleh Islamofobia, anti-imigrasi, anti-gender, dan konservatisme, ikut mempercepat kebangkitan kelompok rasialis di Eropa sebagaimana ditunjukkan oleh naiknya suara partai-partai neo-Nazis secara signifikan dalam pemilu di Italia, Perancis, Jerman, Belanda, Inggris, Hongaria, Slovakia, Norwegia, dan Finlandia.

Fenomena ini menjelaskan mengapa AS dan Eropa permisif terhadap genosida, ethnic cleansing, dan kejahatan Israel terhadap Palestina. Semua ini berakar pada semakin banyaknya tantangan yang dibawa kompetitor AS dan Eropa yang tidak mampu dijawab berbasis pada liberalisme Barat.

Kini, ada Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan (BRICS) yang memiliki agenda dedollarisasiuntuk mengamputasi kekuatan AS yang, melalui institusi-institusi kekuangan dunia, dipakai untuk menjaga kepentingannya. Jumlah anggota BRICS bertambah dengan cepat setelah bergabungnya Turki, Indonesia, Iran, Mesir, Arab Saudi, dan Malaysia.

Kekuatan BRICS Plus cukup kompetitif di semua aspek: ekonomi, politik, keuangan, persenjataan, teknologi digital, dan AI (kecerdasan buatan). Ancaman Trump bahwa ia akan berlakukan tarif 100 persen bagi produk yang datang dari anggota BRICS Plus kalau agenda dedollarisasi dilaksanakan hanya menegaskan BRICS Plus merupakan ancaman nyata bagi AS.

Menolak Multilateralisme

Dulu, tatanan multilateralisme menguntungkan AS dan Barat. Bantuan ekonomi kepada negara-negara Dunia Ketiga yang baru membebaskan diri dari kolonialisme hanya dimaksudkan untuk memperbesar pasar Barat. Alasan kedua, bantuan itu bersifat ideologis untuk menghadang ekspansi komunisme pimpinan Uni Soviet selama Perang Dingin. Dalam konteks siklus kehidupan sebuah bangsa, peradaban Barat telah mencapai puncak. Artinya, mereka kini dalam siklus menua.

Trump melihat isolasionisme dan realisme politik merupakan cara yang efektif untuk merevitalisasi peradaban AS. Tapi menghadapi kebangkitan Global South yang muda, yang kecepatannya dibantu teknologi baru, kemerosotan AS sulit ditangani. Maka, sebagaimana cita-cita partai sayap kanan Eropa, Trump hendak melenyapkan unsur-unsur budaya asing yang “inferor”, yang dibawa para imigran non-Barat, khususnya kaum Muslim.

Baca Juga  Jokowi Terlalu Perkasa Untuk Diadili

Tentu saja ini pandangan yang sumir karena kebudayaan tidak berperan signifikan dalam menentukan maju-mundurnya sebuah bangsa, melainkan sistem pemerintahan. Contohnya, mengapa Jerman Barat (kapitalisme-demokrasi) lebih maju dari Jerman Timur (komunisme-otoritarianisme) di era Perang Dingin padahal keduanya berasal dari etnis dan budaya yang sama?

Mengapa Korea Selatan lebih makmur daripada Korea Utara padahal keduanya adalah satu bangsa? Mengapa pula India (Hinduisme), Cina (Confusionisme), Turki, Iran, Arab Saudi, UEA (Islamisme) bisa juga bangkit mengajar ketinggalan? Bangsa-bangsa ini dulu merupakan cradle peradaban-peradaban besar selama ribuan tahun.

Kalau non-Barat merupakan peradaban inferior, bukankah peradaban Cina, India, Arab, Persia, dan Semit merupakan produsen awal ilmu pengetahuan, kebudayaan, teknologi yang menjadi fondasi peradaban dunia saat ini? Tanpa mereka, yang juga merupakan tempat lahirnya para Nabi, Tuhan, dan Dewa, kita sulit membayangkan peradaban seperti apa yang akan lahir di Barat.

Kita juga tak bisa lupa bahwa, selain sistem pemerintahan modern belum solid di Dunia Selatan, penghisapan sumber daya lokal oleh kekuatan kolonialisme dan imperialisme untuk memperkaya diri memiskinkan Dunia Selatan. Kini, karena waktu sudah mepet untuk merenung, maka mengambinghitamkan budaya non-Barat merupakan cara paling efektif untuk konsolidasi kekuasaan kulit putih.

Maka, Trump keluar dari Perjanjian Paris terkait perubahan iklim dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Perjanjian Paris — yang berkomitmen menghilangkan energi fosil secara bertahap guna menyelamatkan bumi dari pemanasan global yang pasti akan mengancam kehidupan manusia – dilihat sebagai persekongkolan kaum inferior untuk melemahkan AS.

Energi fosil yang melimpah di AS, peran besar perusahaan-perusahaan minyak AS dalam menyumbang pajak dan penyerapan tenaga kerja, serta murahnya energi fosil untuk menjaga daya saing produk AS, menjadi alasan utama mengapa Trump menolak kajian saintifik tentang bahaya keberlanjutan penggunaan energi tak terbarukan.

Terkait WHO, Trump menganggap pendanaan yang besar yang dibebankan kepada AS bagi kelangsungan hidup organisasi itu sebagai penipuan untuk menggerus kemakmuran AS. Lebih jauh, ia menganggap WHO telah dipolitisasi Cina untuk keuntungan sendiri. Padahal, iuran yang dibayarkan Cina jauh lebih kecil ketimbang AS.

Trump juga menghentikan bantuan kepada USAID, lembaga yang bergerak di bidang sosial untuk membantu masyarakat di dunia selatan menghadapi tantangan-tantangan sosial yang dihadapi. Lalu, di tengah kelaparan dan genosida Israel atas masyarakat Palestina di Gaza, AS menghentikan pendanaan terhadap Badan PBB urusan Pengungsi Palestina (UNRWA).

UNRWA dibentuk pada 1949 untuk menjawab permasalahan Palestina yang mengungsi akibat pembungihangusan 530 desa mereka ketika negara Israel diproklamasikan pada 1948. Penghentian pendanaan UNRWA  sudah dilakukan Trump di periode pertama pemerintahannya (2017-2021) karena mereka Muslim yang ingin menghancurkan Israel, proksi AS di kawasan strategis itu.

Pemerintahan Presiden Joe Biden memulihkannya sebelum dihentikan kembali pasca Israel menuduh UNRWA disusupi Hamas yang membantunya menyerang Israel pada 7 Oktober 2023 tanpa bukti yang memadai. Bahkan, demi Israel, AS bersama sekutu Barat ramai-ramai mendemonisasi Palestina sebagai bangsa rendahan, teroris, yang layak dibinasakan oleh bangsa “superior” Israel demi kepentingan politik domestik.

Bahkan, AS dan Barat rela mengorbankan tatanan internasional yang mereka rancang. Lebih jauh, mereka membenarkan genosida kendati Israel melanggar semua konvensi PBB di bidang-bidang ini. Dus, sikap AS dan Barat terhadap Palestina secara telanjang menghancurkan semua nilai yang selama ini mereka khotbahkan ke dunia lain. Kemunfaikan Eropa semakin menonjol ketika mereka menentang agresi Rusia ke Ukraina, tapi mendukung Israel membasmi Palestina.

Standar ganda ini dicemoh Cina dan Rusia yang konsisten mendukung kemerdekaan Palestina. Sikap mereka, yang berkebalikan dengan sikap AS dan Eropa, membuat populeritas AS di kawasan anjlok ke titik nadir. Sebaliknya, pengaruh Cina meluas. Timteng secara geografis, geoekonomi, dan geopolitik masih menjadi wilayah strategis bagi kelanjutan peradaban dunia.

Baca Juga  Dilaporkan Ke KPK, Jokowi Respon Dengan Senyum

Secara geografis, Rusia butuh Timteng untuk menjaga hegemoninya di Asia Tengah, sebagai mitra strategis dalam pengendalian harga minyak dunia, dan pasar persenjataanya. Cina butuh Timteng untuk meluaskan proyek infrastruktur globalnya ke Afrika dan Eropa, sumber daya alamnya, dan kapasitas ekonominya. Terlebih, Cina ingin mengimbangi pengaruh AS di kawasan volatile itu.

Dus, dukungan tanpa syarat AS terhadap Israel kontraproduktif bagi kepentingannya. AS memang masih unggul di beberapa aspek daripada Cina, terutama kecanggihan militernya. Tapi keunggulan itu akan disalip Cina dalam waktu dekat mendatang. Pembangkangan negara-negara Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) terhadap AS terlihat dari penolakan Liga Arab dan OKI terhadap proposal Trump mendepolitisasi Gaza.  

Meninggalkan Eropa

Bagaimanapun, Eropa pun kehilangan kepercayaan pada Trump. Begitu Trump menduduki Gedung Putih, Eropa kelabakan menghadapi isolasionisme AS. Pertama, Trump memberlakukan tarif bagi negara-negara Eropa. Ia juga menekan mereka untuk  meningkatkan belanja militer hingga 150 persen untuk menjaga keamanan mereka sendiri.

Sebaliknya, Trump cenderung mendukung Presiden Rusia Vladimir Putin dengan menekan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy memberi konsesi tertori kepada Rusia demi penghentian perang yang, menurut Trump, menguras sumber daya AS.Kebijakan tarif Trump dan niatnya meminimalisir peran AS dalam NATO membuat Eropa kewalahan.

Pasalnya, peran militer AS di Eropa sangat strategis sebagai deterrence terhadap ancaman Rusia. Tapi mereka tak punya pilihan lain kecuali menerima realitas. Maka, negara-negara Eropa sudah dua kali duduk bersama  membicarakan kelangsungan hidup NATO pasca AS. Pasalnya, mereka melihat Putin sebagai ancaman terhadap keamanan Eropa di masa mendatang.

Mereka ingin mengakhiri perang Ukraina, tapi melalui kekuatan untuk memaksa Rusia maju ke dalam perundingan perdamaian dalam posisi yang lemah. Dengan kata lain, Putin tak boleh diberi kompensasi berupa pencaplokan Crimea, dan wilayah Ukraina timur dan selatan sebagai syarat pengakhiran perangsebagaimana usulan Trump.

Tekanan Trump untuk memaksa Zelenskyy berdamai dengan Rusia dengan syarat-syarat yang ditentukan Putin menimbulkan kemarahan di Eropa. Dan tak mengakhiri krisis. Eropa justru akanmemperbesar belanja militernya untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan AS sehingga akan melestarikan eskalasi dengan Rusia.

Di pihak lain, dalam posisi rentan Eropa akan kian bergantung pada energi Timteng sebagai pengganti hilangnya minyak dan gas dari Rusia. Hal ini bisa melemahkan posisi Eropa vis a vis Israel. Sangat mungkin mereka juga akan mendekati Iran untuk mengimbangi Arab. Kalau demikian, hegemoni AS dan Israel di kawasan makin melemah.

Hal lain yang mungkin akan mempercepat perubahan tatanan global adalah pendekatan Eropa terhadap Cina guna menutupi kemerosotan ekonominya kalau Trump memberlakukan tarif yang memperlemah daya saing produk mereka. Masuk akal kalau Eropa merangkul Cina, ekonomi terbesar kedua setelah AS dengan pasar yang sangat besar.

Kalau demikian, kebijakan Trump melemahkan Cina akan sia-sia. Karena kemajuan Cina tak bisa dihentikan.Langkah merangkul Cina sudah diambil Jepang dan Korea Selatan. Pada 23 Maret lalu, Mente Luar Negeri ketiga negara membicarakan perbedaan mereka di Tokyo dengan niat memperdalam hubungan kerja sama di segala bidang.

Cina, Jepang, dan Korsel memiliki permusuhan historis terkait pendudukan tantara Jepang di Cina dan Korea dalam Perang Pasifik. Tapi isolasionisme Trump memaksa mereka berpikir ulang atas permusuhan mereka yang tidak produktif. Memang tidak mudah membangun hubungan harmonis di antara ketiga, terutama karena Cina mendukung Korea Utara, tapi demi survival mereka, Korsel dan Jepang tak punya pilihan lain kecuali hubungan dekat dengan Cina.

Bagi dunia selatan, terutama rezim-rezim otoriter di Timteng, Cina juga menarik dari sisi sistem negaranya yang efisien dan berkemajuan. Kendati sistem Cina ini belum teruji secara jangka panjang, Dunia Selatan melihatnya sebagai alternatif terhadap sistem demokrasi Barat yang kini kelanjutan hidup dan kebobrokannya sedang dipertanyakan.  

Pemerintahan Prabowo

Di tengah anjloknya nilai tukar rupiah, penurunan Indeks Harga Saham Gabungan, kemerosotan kelas menangah, dan meluasnya pemutusan hubungan kerja (PHK), mulai 2 April Trump berlakukan tarif bagi produk ekspor Indonesia ke AS guna menutupi defisit AS sebesar US$ 19 miliar dalam perdagangan dengan RI. Ini akan semakin jauh memukul ekonomi RI.

Baca Juga  SHERLY TJOANDA ANTARA GOOD GOVERNANCE dan BISNIS INTERES

Saat tekanan eksternal cukup berat, kebijakan domestik pemerintahan Prabowo tidak koheren. Di satu pihak, pemerintah mengeluarkan UU tentang Efisiensi APBN dan APBD. Di pihak lain, ia menambah jumlah kementerian dan lembaga yang sangat boros  hanya untuk mengakomodasi kekuatan-kekuatan politik, sosial, dan budaya domestik.

Program populis berupa makan bergizin gratis yang menyita APBN cukup besar justru dikritisi masyarakat. Selain nilai gizi satu porsi makanan berharga kurang dari Rp 10 ribu, program bertahap itu dianggap tak cukup signikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi kendati pemerintah mengklaim menyerap lebih sari 1 juta tenaga kerja.  Sementara itu, efisiensi anggaran membuat ekonomi lesu. Pajak pertambahan nilai ikut menggerus daya beli masyarakat.

Mengingat sulitnya menarik investor asing akibat proses perizinan yang berbelit dan mahal akibat korupsi, Prabowo membentuk Sovereign Public Fund atau lembaga superholding “Danantara” yang mengelola dividen BUMN-BUMN sehingga kita terbebas dari ketergantungan pada investor asing dalam menjalankan proyek-proyek strategis hilirisasi justru menimbulkan ketidakpercayaan investor. Ini yang menyebabkan IHSG anjlok dan dollar mengalir keluar.

Di bidang hukum dan politik, pemerintahan Prabowo juga melakukan blunder dengan mengesahkan UU TNI yang membuka ruang lebih lebar bagi peran perwira aktif menduduki jabatan-jabatan sipil. Ini dilihat sebagai pengkhianatan terhadap semangat reformasi 1998. Pada Februari lalu, mahasiswa di beberapa kota melangsungkan demonstrasi bertajuk “Indonesia Gelap” terkait UU Minerba, dorongan kepada DPR untuk meloloskan UU Perampasan Aset, protes terhadap langkanya gas elpiji dan program MBG.

Dalam situasi panas ini, ada pihak yang mengirim kepala babi, kemudian bangkai tikus, kepada majalah Tempo yang sangat kritis terhadap pemerintah. Kasus teror ini dilihat sebagai upaya pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Tak heran, masyarakat sipil dan media mengecam tindakan ini.

Andaikan kepolisian tak mampu membongkar pelakunya, yang nampaknya berasal dari pihak yang kuat, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan semakin melorot. Kendati demikian, Prabowo tetap percaya diri. Merespons kritik terhadap adanya intervensi Mulyono dalam pemerintahan, Prabowo justru meneriakkan “Hidup Jokowi” berulang kali.

Terkait analisis di atas, yang mengacu pada masalah ekonomi-poilitik domestik serta dinamika geopolitik dan geoekonomi global, sangat mungkin pemerintahan Prabowo akan kian mendekatkan diri kepada Cina untuk berutang dan menarik investasi ketika Bank Dunia tak lagi bersedia mengucurkan utang baru karena utang luar negeri RI sudah mencapai garis merah.

Utang bilateral kepada negara lain juga sulit didapat karena hilangnya kepercayaan lembaga-lembaga keuangan internasional terhadap RI. Karena pemerintahan Prabowo menghadapi tantangan ekonomi domestik yang tidak ringan, yang berdampak pada bidang politik, bukan tidak mungkin pemerintah akan berpaling ke Beijing untuk mendapatkan dana segar.

Hal ini akan sangat beresiko karenaketergantungan kita kepada ekonomi Cina terlalu besar. Dampak ikutannya adalah peran Indonesia sebagai big brother ASEAN melemah. Sebaliknya, posisi Cina di Laut Cina Selatan menguat. Karena posisi geografis RI sangat strategis terkait persaingan Cina-AS di Indo-Pasifik, bisa jadi Trump menawarkan bantuan dengan imbalan Indonesia menormalisasikan hubungan dengan Israel, hal yang mustahil bisa dilakukan Prabowo.

Atau Trump mendesak Prabowo mendukung tekanan AS atas Cina, hal yang juga mustahil bisa dilakukan Prabowo. Baru-baru ini BRICS mendirikan New Development Bank dengan bunga murah untuk memfasilitasi kebutuhan dana anggotanya. RI tentu saja bisa meminjamnya, tapi lagi-lagi peran Cina sangat besar di dalamnya. Diperlukan diplomasi RI yang berbobot untuk menjawab tantangan ekonomi dan politik domestik tanpa mengorbankan politik bebas-aktif. Apakah pemerintah mampu keluar dari situasi sulit ini? Waktu yang akan menjawabnya.

Tangsel, 26 Maret 2025

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *