Joko Su’ud Sukahar, dalam sebuah artikel bertajuk Golkar dan Saudagar Pedagang Politik mendiskripsikan politikus saudagar bahwa “Saudagar itu pedagang. Kebiasaannya jual beli dan tawar-menawar. Pasar adalah tempat transaksi. Dengan ilmu dagang, modal sedikit ambil untung sebanyak-banyaknya, maka margin besar didapat dari sana. Itu yang secara sinis disebut Shakespeare, yang mahal ditransaksikan di pasar itu aksi tipu-menipu yang dilakukan para pedagang.Pikiran bisnis yang provit oriented itu ditakutkan para pecinta lingkungan, pelestari alam, pengabdi perimbangan, penjaga tertib bumi, dan malah pejuang hak asasi manusia. Soalnya, jika pikiran bisnis sudah merambah berbagai segi tadi, maka segalanya akan berubah drastis. Dalam bahasa Jangka Jayabaya, pasar dadi ilang kumandange, sumber ilang kedunge”.
Kiprah Birokrat di panggung Pilkada.
Sementara kiprah politisi birokrasi dan atau kandidat yang berlatar belakang birokrasi sejauh ini disorot dalam konteks netralitas birokrasi atau ASN seperti dituntut dalam sistem penyelenggaraan pemilu dan Pilkada yang netral.
Namun pada isyu lain, kepala daerah dengan latar belakang birokrasi dinilai ideal terutama dalam rangka menjalankan fungsi pemerintah daerah sebagai fungsi perpanjangan tangan pemerintah dalam pelayanan publik.Dalam banyak kasus, kepala daerah dari klan birokrasi dinilai lebih tertib dalam penyelenggaraan adimistrasi pemerintahan daerah, pelayanan publik dan pembangunan.
Setiawan (2014), berpendapat dalam bukunya yang berjudul “Rekonstruksi Birokrasi Pemerintahan Daerah” bahwa birokrasi merupakan sistem kerja pemerintahan demi mencapai tujuan dari Negara secara efektif dan efisien. Oleh sebab itu perlunya objektif dan terbuka, dalam memahami bahwa tata kerja birokrasi ini untuk tujuan bersama bukan bentuk individu atau perorangan. Birokrasi didefinisikan sebagai sebuah organisasi keseluruhan pemerintah yang menjalankan tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintahan dibawah presiden dan lembaga-lembaga non departemen, baik itu yang di pusat, maupun di daerah seperti halnya di tingkat provinsi, kabupaten, serta kecamatan, kelurahan hingga desa.
Menurut penelitian Rayadi (2014) dalam hubungan politik dan birokrasi, pemilu adalah ujian bagi birokrasi untuk menilai apakah birokrasi sudah berjalan secara profesionalitas dan berfungsi sebagai pelayan publik dan bukanlah sebagai alat kekuasaan yang mudah terkooptasi dengan kepentingan politik kelompok tertentu. Politisi birokrasi dapat dikatakan bersifat resiprokal, dimana adanya hubungan saling mendukung secara politik, baik itu dari pihak birokrasi maupun politisi itu sendiri. Seperti diketahui bahwa politisi membutuhkan birokrasi sebagai sebuah mesin politik dan birokrasi membutuhkan dukungan dari politisi sebagai bentuk sarana penunjang karir.
Masalah terkait politisasi birokrasi menjadi persoalan hampir di seluruh daerah (Suryanjari, 2009). Seperti halnya pada pemilu 2024 ini, tren politik kekerabatan dengan sumber daya birokrasi dengan salah satu parpol atau caleg dalam pemilu 2024 ini akan mudah memberi dukungan. Adanya jaringan kekerabatan seringkali melibatkan birokrasi dalam politik seperti menjadi tim sukses salah satu caleg dan memobilisasi bawahan dan massa di sekitarnya untuk melakukan dukungan kepada calon tersebut. Pemanfaatan suara pegawai birokrasi ini jelas sangat mudah bagi kandidat Keadaan tersebut dilihat dari adanya beberapa praktik-praktik yang terjadi seperti halnya penggunaan sumber daya birokrasi untuk memenuhi kepentingan politik. Mobilisasi pegawai birokrasi saat pemilu/pilkada telah banyak terjadi pada tingkat pemilihan Kabupaten/Kota, Provinsi, hingga pusat (Yunus, 2017).
Kiprah Aktivis Partai Politik di Pilkada
Peran aktivis partai politik dapat digambarkan sejalan dengan partai politik itu sendiri.Aktivis partai politik di kekuasaan notabene sebagai Kader partai pada perkembangan nya kebih tunduk pada perintah partainya ketimbang aspirasi rakyat.Peran formal kader partai di kekuasaan dapat diasumsikan sebagai peran partai politik itu sendiri.
Partai politik memiliki arti penting dalam sebuah sistim demokrasi perwakilan. Partai politik diyakini sebagai instrumen yang strategis bagi perkembangan demokrasi Indonesia di masa depan.
Namun sejak era reformasi terlihat adanya penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik . Meskipun muncul berbagai reaksi terhadap eksistensi partai politik saat ini, berbagai pihak berharap demokrasi akan semakin baik apabila partai politik bisa lebih profesional, demokratis dan akuntabel. Hal tersebut mengemuka dalam seminar penguatan Kelembagaan Partai Politik Sebagai Pilar Demokrasiâ yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila UGM bekerjasama Kementrian Hukum dan HAM RI, Jumat (14/9) di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM.
Komentar