oleh

INDONESIA DI SIMPANG JALAN

-OPINI-153 Dilihat

Smith Alhadar : Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

Tidak mudah menavigasi Indonesia di tengah pancaroba geopolitik dan geo ekonomi global. Kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump, yang mengkhayalkan kemegahan (delusions of grandeur) AS kembali, menjungkir balikan tatanan lama berbasis liberalisme dan hukum pimpinan AS.  Tak ada satu negara pun yang luput dari angin puyuh ini, termasuk Indonesia, yang ujungnya masih unpredictable.

Trump ngawur. Defisit US$ 1,2 triliun dari GDP AS sebesar US$ 30 triliun dalam perdagangan dunia tidak dilihat dari teori ekonomi sederhana bahwa penyebabnya adalah pengeluaran AS melebihi pendapatannya. Dus, solusinya adalah mengerem pengereman, bukan menyalahkan dunia, terutama kompetitornya (Tiongkok) yang kemajuannya tak dapat dihentikan.

Toh, kebijakan tarif, terutama tarif resiprokal, memukul ekonomi AS juga. Bisa jadi Trump justru akan dikenang sebagai Presiden yang mempercepat kemerosotan AS sebagai negara terkuat di dunia untuk digantikan Tiongkok. Kalaupun Trump berhasil membawa pulang pabrik-pabrik AS untuk menciptakan lapangan kerja domestik, Perusahaan-perusahaan AS tidak lagi akan kompetitif dan inovatif karena dilindungi dan dimanjakan negara.

Bagaimana pemerintahan Presiden Prabowo Subianto merespons fenomena ini? RI terkena tarif resiprokal 32 persen yang senilai US$ 19 miliar surplus perdagangan dengan AS. Tentu saja RI, sebagaimana banyak negara lain, tak punya kekuatan untuk melawan tarif Trump. Karena itu, bersama 60 negara lainnya, pemerintah RI tunggang langgang mengirim tim ke Gedung Putih untuk negosiasi meminta pengurangan “hukuman” Trump. “They come to kiss my ass,” kata Trump mengira kebijakannya menjanjikan hasil besar. It’s non sense.

Negara-negara akan beradaptasi dengan situasi baru, melampaui delusion Trump. Walakin,kecerdasan, pemahaman dinamika dunia, dan leadership tiap negara sangat menentukan untuk survive. Untuk Indonesia, situasi ini sangat berat karena dibebani masalah ekonomi-politik internal yang tidak ringan dan kapasitas leadership yang terbatas.Sementara, berbasis pada bonus demografi, kita hanya punya waktu 10 tahun yang kritis untuk menjadi negara maju atau gagal.

Baca Juga  Bagian (1) “RARO GAM’ MENGUKIR JEJAK DAN MAKNA

Prabowo masih optimistis ekonomi RI bisa tumbuh 8 persen dalam lima tahun mendatang di tengah performa ekonomi kita yang ngesot. Depresiasi rupiah terus terjadi yang mengindikasikan ketidakpercayaan publik dan investor pada kebijakan ekonomi pemerintah yang memang tidak koheren. Indikasi lain, emas diborong untuk mengamankan tabungan dan investasi mereka.

Kalau pemerintah gagal merayu Trump membatalkan tarif resiprokal, industri manufkatur kita akan nyungsep, perusahaan terpaksa melakukan rasionalisasi dengan memecat lebih banyak buruh di tengah pengangguran yang meluas, kemiskinan yang meningkat, dan daya beli msyarakat yang melorot. Ini akan menciptakan kerawanan sosial-politik domestik.

Bargaining chip apa yang kita punya untuk negosiasi dengan Trump? Tadinya, Prabowo melihat relokasi atau evakuasi warga Gaza ke Indonesia dapat dijadikan “komoditastransaksional. Walakin, setelah mengunjungi lima negara Timur Tengah untuk, di antaranya, menjajakan gagasan ini, nampaknyaPrabowo tak mendapat dukungan. KTT OKI di Jeddah, Arab Saudi, 7 Maret, menantang ide ini.

Pasalnya, menurut PBB dan lembaga-lembagaHAM internasional, relokasi atau evakuasi paksa warga dari tanah air mereka oleh kekuatan pendudukan insentif dengan ethnic cleansing. Mesir dan Yordania saja menolak rencana yang akan menguburkan Palestina  sebagai bangsa yang sudah lama menjadi cita-cita Zionisme. Penolakan mereka didasarkan pula pada ketakutan akan memunculkan kemarahan publik domestik sehingga memciptakan destabilisasi kawasan.

Melihat letak geografis Indonesia yang sangat strategis, pasarnya yang besar, dan pemain kunci di Indo-Pasifik dalam konteks persaingan AS-Tiongkok, mestinya Indonesia memiliki bargaining position untuk mempengaruhi Trump. Tapi politik luar negeri kita yang sepenuhnya berada di tangan Menlu Sugiono yang tak berpengalaman, dan sesungguhnya dikembalikan Prabowo sendiri, menyebabkan kapasitas polurgi kita tidak maksimal.

Baca Juga  Selamat Jalan Bulan Suci, TAQABBALLAHU MINNA WAMINKUM” Semoga Berjumpa Kembali di Ramadhan 1447 Hijriyah

Kalau kita gagal mengubah kebijakan Trump, saya khawatir pemerintah akan bersikap pragmatis dengan mencari pertolongan Tiongkok. Dalam rangka mendiversifikasi sumber ekonomi luar negeri guna meminimalkan dampak perang dagang dengan AS di mana Tiongkok bersikap keras, baru-baru ini Presiden Xi Jinping melawat ke negara-negara Asia Tenggara untuk memperdalam kerja sama ekonomi dengan mereka yang juga sedang kewalahan menghadapi tarif Trump.

Ini bisa jadi presden bagi Prabowo untuk ikut masuk dalam hegemoni Tiongkok. Lagi pula, beda dengan AS, RI mengalami defisit dalam hubungan dagang dengan Tiongkok. Produk-prokduk murah Tiongkok yang membanjiri pasar dalam negeri, serta kehadiran buruhnya dalam jumlah besar di aneka usaha tambang, membuat kita makin bergantung pada negara Tirai Bambu itu, yang selanjutnya akan memperbesar sentimen anti-Tiongkok di negeri ini.

Yang juga mesti disebut adalah kehadirandeep state” yang membatasi ruang gerak pemerintah. “Deep statemengacu pada jaringan rahasia yang terdiri dari pejabat pemerintah yang dipilih orang lain (bukanPrabowo) dan pihak swasta (oligarki) yang beroperasi secara illegal untuk mempengaruhi dan memberlakukan kebijakan yang diinginkan aktor non-negara.

Tentu saja aktor itu adalah Mulyono (dan oligarki) yang mengatur hampir setengah jumlah menteri Prabowo. Memang ajaib, Mulyono nampak lebih berperan ketimbang Prabowo. Dalam suasana IdulFitri, para menteri loyalis Mulyono bergegas ke Solo untuk meminta petunjuk mantan bos merekasesungguhnya masih menjadi bos mereka  – terkait kebijakan pemerintah.  

Pesannya jelas: jalan melanggar rambu-rambu yang dipasang Mulyono dan sudah disetujui Prabowo. Rambu-rambu itu, di antaranya, adalah kucilkan PDI-P. Pesan ini disampaikan setelah Prabowo menemui kawan dekatnya: Ketum Megawati Soekarnoputri. Padahal, Prabowo butuh dukungan PDI-P saat negara sedang menghadapi cobaan berat. Akhirnya, pertemuan itu tak membawa hasil karena, saya duga, Prabowo tak berani melenyapkandeep state”.

Baca Juga  SHERLY TJOANDA ANTARA GOOD GOVERNANCE dan BISNIS INTERES

Dalam kunjungan Prabowo ke Timteng, yang memang disambut besar-besaran oleh negara tuan rumah, membuat para buzzer Prabowo mengkhayalkan Prabowo akan menjadi pemimpin Dunia Islam. Tentu saja khayalan ini menggelikan. Bagaimana mungkin Prabowo menjadi pemimpin Dunia Islam, sementara menjadi pemimpin Indonesia saja beliau belum mampu?

Alhasil, Indonesia sedang di simpang jalan. Akan bijaksana kalau kita menyingkirkan mimpi kita bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor lima dunia pada 2045 saat kita merayakan satu abad NKRI. Lebih baik kita melihat Indonesia secara realistik bahwa kita sedang dalam kondisikacau balau. Tekanan internal dan eksternal tak mudah dihadapi pemerintah.

Belum lagideep statemengikat tangan dan kaki Prabowo untuk bisa bebas menjalankan kebijakannya. Mulyono memang toksik. Sayangnya, Prabowo tak mampu melihatnya sebagai problema besar Indonesia hari ini. Padahal, Mulyono adalah “elephant in the room”. Sebaliknya, Prabowo justru memandang “Si Tukang Andong” ituistilah ini diucapkan Prabowo kepada Luhut Binsar Pandjaitan pada awal pencapresan Mulyono di pilpres 2014 – sebagai Solusi.

Tapi kita tak usah menangis. Bahlil Lahadalia memang wajah RI hari ini. Siapa tahu ada invincible courage yang muncul secara tak terduga sebagaimana terekam dalam perjalanan sejarah bangsa ini yang selalu menolak untuk dikalahakan aktor songong yang jahil dan para begundalnya. Indonesia termasuk bangsa yang sabar. Tapi ada limitnya. Bukankah tiga persiden hebat bangsa ini dijatuhkan oleh invincible courageitu?

Tangsel, 19 April 2025  

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *