OPINI

TRAGEDI PDI-P

Smith Alhadar/Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

Nyaris mustahil PDI-P akan mencapai tujuan dalam pilpres mendatang. Kelemahannya adalah ketidakmampuannya mengolah politik nasional yang sangat dinamis, sikap meremehkan Jokowi, dan ambisi yang tidak realistis.

Pada 4 April, dua hari stelah lima parpol (Golkar, Gerindra, PKB, PAN, PPP) membentuk koalisi besar, PDI-P menyatakan siap bergabung ke dalamnya. Tapi, menurut politisi PDI-P Budiman Sudjatmiko, syaratnya koalisi itu menjadikan Puan Maharani sebgai bacapresnya.

Kendati merupakan parpol terbesar, tawaran PDI-P itu tidak menarik, bahkan terkesan arogan. Paling tidak tawaran itu pasti ditolak Gerindra yang telah menetapkan Prabowo Subianto, ketua umumnya, sebagai bacapres. Ini harga mati.

Tidak masuk akal Prabowo bersedia didegradasi hanya sebagai bakal cawapres setelah dua pilpres sebelumnya dia adalah capres. Lagi pula, menurut hasil survey kekinian, elektabilitas Prabowo melejit setelah di-endorse Jokowi.

Prabowo akan menjadi pecundang yang sempurna kalau ia bersedia menjadi pasangan Puan sebagai bakal cawapres. Bukan hanya karena dia harus membuang obsesinya menjadi presiden yang ia dambakan sejak kecil, tapi juga akan ditinggal pendukungnya karwna sikap itu memperlihatkan ketidakandalannya sebagai pemimpin. Suara yang diperoleh Gerindra dalam pemilu serentak pun akan anjlok.

Parpol lain juga akan berpikir seribu kali untuk menerima Puan sebagai bacapres mereka tanpa dukungan Gerindra, partai terbesar kedua. Pasalnya, elektabilitas Puan tergolong sangat rendah.

Di pihak lain, Jokowi belum tentu menyetujuinya. Toh, pembentukan koalisi besar merupakan respons Jokowi terhadao sikap PDI-P yang menentang keikutsertaan timnas Israel dalam ajang Piala Dunia U-20.

Akibat penentangan itu, FIFA mencoreng Indonesia sebagai tuan rmh. Padahal, pagelaran bergengsi itu, yang diharapkan Jokowi mengangkat pamornya di dalam dan di luar negeri setelah oposisi terhadap pemerintahannya meningkat.

Perintah Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri kepada Gubernur Bali Wayan Koster dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo untuk bersuara menentang ajang itu dengan salah satu tujuannya adalah meraih simpati kaum Muslim tidak tercapai. Elektabilitas Ganjar pun ikut ngungsep. Sekarang ia bukan lg bacapres yang menjanjikan.

Terkait tawaran PDI-P di atas dan kemungkinan Jokowi menolaknya, secara implisit terbaca dalam pernyataan Puan: “Sy nonton di TV Pak Jokowi menyatakan, silakan para ketum parpol yang kemudian menjalankan hal (koalisi besar) tersebut, Presiden akan menjadi pendengar, gitu yang saya nonton di TV pernyataan dari Presiden.”

Artinya, menurut Puan, mestinya Jokowi tak keberatan kalau PDI-P bergabung kedalam koalisi besar karena posisi Jokowi dalam konteks pembentukan koalisi itu hanya sebagai pendengar atau “tak ikut campur dalam perjalanan koalisi besar”.

Terserah para ketum parpol dalam menentukan bacapres dan bacawapres. Padahal, Puan tahu bahwa bacapres yang di-endorse Jokowi adalah Prabowo. Bacawapres kemungkinan besar adalah Ketum Golkar Airlangga Hartarto.

Terlepas dari itu, tawaran PDI-P terlalu mahal setelah posisinya melemah menyusul terbentuknya Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) — terdiri dari Nasdem, Demokrat, dan PKS — dan meleburnya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) kedalam koalisi PKB-Gerindra.

PDI-P kini sendirian dan tak punya kekuatan untuk mendikte parpol lain. Kendati bisa mengusung capres-cawapres sendiri, PDI-P butuh koalisi dengan parpol lain untuk bisa memenangkan calonnya. Sayangnya, nilai jual Puan sebagai bacapres rendah.

Dalam konteks usia Megawati yang terbilang sudah uzur dan keberlanjutan trah Soekarno, pilpres 2024 sangat krusial. Kalau Puan tak jadi presiden, ketika Mega masih berperan penting, kemungkinan peluangnya untuk itu hilang untuk selamanya.

Pasalnya, pada pilpres 2029 usia Mega (kalau beliau masih umur panjang) sudah mencapai 82 tahun. Usia ini tentunya sudah sangat uzur sehingga kemungkinan ia telah surut dari panggung politik. Dengan demikian, cita-cita Puan menjadi presiden harus dikuburkan dalam-dalam.

Kalau Puan hanya menjadi wapres dari hasil pilpres mendatang, cita-cita menjadi RI1 juga akan hilang. Apalgi kalau ia menjadi wapres dua periode. Menurut para pakar hukum tatanegara, capres-cawapres adalah satu paket. Dus, kalau seseorg telah menjadi wapres dua periode, maka dia tak boleh lagi berkompetisi dalam pilpres sebagai capres. Smith Alhadar/Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

Itulah sebabnya, Mega ngotot Puan harus menjadi bacapres dalam pilpres kali ini. Now or never. Itu juga yang menjd alasan mengapa Ganjar, kader PDI-P dengan elektabilitas tinggi, harus disingkirkan dari arena kontestasi pilpres.

Kalau saja PDI-P jd bergabung dengan koalisi besar dengan Puan sebagai bacapres peluang menang memang terbuka meskipun ia harus bersaing dengan mantan Gubernur DKI Anies Baswedan yang cerdas dengan rekam jejak yang mengkilap. Sayangnya, kemungkinan itu kecil.

Bahkan, dalam konteks ini, koalisi besar akan bubar kalau Puan disetujui sebagian parpol dalam koalisi besar sebagau bacapres. Gerindra akan menarik diri. Besar kemngkinan PKB akan melakukan hal sama bila Cak Imin tidak menjadi apa-apa demi terbentuknya koalisi bersama PDI-P yang mengusung pasangan Puan-Airlangga.

Dengan kata lain, koalisi Gerindra-PKB akan meninggalkan koalisi besar. Kalau demikian, nilai jual Puan semkin anjlok sehingga besar kemungkinan KIB juga akan ogah bergabung dengan PDI-P.

Parpol lain mau bergabung dengan PDI-P kalau nilai jual Puan paling banter hanya dihargai sebagai bakal cawapres. Misalnya, sebagai bakal cawapres Prabowo. Ini pun berpotensi membuat Golkar dan PKB cabut dari koalisi. Kedua parpol bisa membentuk koalisi sendiri meskipun kemungkinan itu kecil.

Peluang Puan sebagai bacapres dengan dukungan koalisi besar (tanpa Gerindra) hanya mungkin kalau di-endorse Jokowi. Tetapiuntuk itu PDI-P harus lebuh dahulu mengemis pada Jokowi yang kini dalam kondisi kecewa berat karena kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.

Jokowi-lah kini pemegang kartu as dalam menentukan nasib PDI-P. Apakah Mega bersedia menurunkan gengsinya di hadapan Jokowi yang ia remehkan sebagai orang yang tdk ada apa-apanya tanpa PDI-P?

Kalaupun Mega bersedia melakukannya, kecil kemungkinan Jokowi akan mengabulkan keinginannya. Pasalnya, selain dendam, nilai jual Puan yang rendah akan sulit menghadapi Anies.

Padahal, Jokowi sangat berharap pemerintahan mendatang bisa menjaga legacy-nya, melanjutkan program pmbangunannya, dan terutama bisa menjamin keselamatan dia dan keluarganya. Prabowo telah berjanji akan melakukan itu. Bahkan, ia mengatakan 99,99% program pembangunan Jokowi berasal dari dirinya sehingga pasti ia akan melanjutkannya.

Mega mungkin tak menyangka Jokowi bisa berubah drastis. Dia bukan lagi tukang mebel dari Solo, melainkan presiden RI yang punya pengaruh besar, sehingga efek ekor jasnya dibutuhkan bacapres dari PDI-P. Atas dorongannya, sangat mungkin koalisi besar bersedia mengusung Puan sebagau bacapres.

Sayang Jokowi tak akan melakukannya. Melihat posisi PDI-P sekarang yang terisolasi, saya yakin PDI-P akan menurunkan nilai jual Puan sebagau bakal cawapres saja. Ini pun peluang keberasilannya tak besar.

Keadaan akan lebih mudah kalau PDI-P banting harga, yaitu Puan tidak lagu dijual sebagai bakal cawapres maupun bacapres. Namun, ini tak akan dilakukan PDIP — kecuali dalam kondisi sangat memaksa — karena pamor Mega sebagai pemimpin partai terbesar akan redup.

Alhasil, dalam keruwetan parpol-parpol membangun koalisi, kubu KPP lebih menguntungkan. Itu sebabnya, Jokowi masih terus berjuang untuk menyingkirkan Anies dari arena pilpres melalui dua jalur.

Pertama, menekan KPK untuk segera menjadikan Anies tersangka dalam isu Formula-E. Untuk itu, Ketua KPK Firli Bahuri menyingkirkan tiga komisioner KPK yang menolak status Formula-E dinaikkan ke level penyidikan karena ketiadaan bukti yang cukup.

Jalur ini nampaknya akan gagal karena Direktur Penyelidikan KPK Brigjen Endar Priantoro yang dipecat Firli bukan hanya melakukan perlawanan, tapi perlawanan juga datang dari Kapolri dan publik.

Kedua, mendorong kembali Kepala Staf Presiden Moeldoko untuk melakukan PK di MA terkait keabsahan kepengurusan Partai Demokrat saat ini. Tujuannya membegal Demokrat. Kalau berhasil, KPP diharapkan akan buyar karena Nasdem dan PKS saja tidak dapat mengusung capres-cawapres.

Sebelumnya, sudah 16 kali upaya Moeldoko gagal. Kini ia maju lagi dengan novum (bukti) yang sama, yang telah ditolak MA sebelumnya. Kemenkumham juga msh mengakui keabsahan Demokrat di bawah AHY. Dus, kalau sampai kali ini Moeldoko berhasil, ini akan menciptakan skandal hukum yang berpotensi mengganggu pilpres dan stabilitas politik negara. Dus, mestinya peluang menang Moeldoko kecil.

Apapun, saat ini PDI-P menemukan diri dlm kondisi yang tidak menguntungkan. Kalaupun upaya Firli ataupun Moeldoko berhasil, peluang Puan menjadi bakal capres ataupun cawapres tetap kecil karena Nasdem akan bergabung dengan KIB mengusung Airlangga atau bahkan Ganjar. Sedangkan PKS akan bergabung dengan koalisi Gerindra-PKB yang mengusung Prabowo-Muhaimin.

Dengan begitu, PDIP sebagai partai terbesar di negeri ini tiba-tiba menjadi parpol “kecil” karena salah membaca dinamika politik nasional, salah menilai Jokowi, salah menilai dirinya sendiri, dan punya ambisi yang tidak realistis terkait kehendaknya menjadikan Puan sebagai bakal capres maupun cawapres.

Tangsel, 6 April 2023.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *