oleh

PILPRES 2024: PERTARUNGAN TOKOH TEGAS, KERAKYATAN, DAN INTELEKTUAL

-HEADLINE, OPINI-78 Dilihat

Iklan.

Pada 1 Oktober silam, dalam Rakernas PDI-P, Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri menertawai orang-orang yang mengatakan PDI-P akan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) — terdiri dari Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN — guna menghadapi Koalisi Perubahan (KPP) — terdiri dari Nasdem, PKS, PKB — yang telah mengusung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN).

Mantan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, yang tadinya diusung PDI-P sebagai bacapres, akan dipasangkan dengan bacapres KIM Prabowo Subianto sebagai bacawapres. Mempertimbangkan PDI-P sebagai parpol besar dan komitmen pemimpinnya untuk mengusung kadernya sendiri, memang kurang logis bila PDI-P bergabung dengan KIM dengan  mendegradasi posisi kadernya sendiri.

Terlebih, dalan Rakernas PDI-P itu juga Presiden Joko Widodo memberi kode kuat bahwa ia mendukung Ganjar. Dukungan Jokowi ini membuat PDI-P makin percaya diri. Toh, menurut hasil survey Litbang Kompas yang dilakukan pd 27 Juli-7 Agustus, ada 18,1 persen responden menyatakan akan memilih capres yang direkomendasikan Jokowi.

Baca Juga  ANDAI KITA PUNYA MESIN WAKTU

Dus, sudah hampir pasti pilpres mendatang akan diikuti tiga pasang capres-cawapres. Pertama, Prabowo (dgn pasangannya) merepresentasikan karakter tegas dan berwibawa, yang masih disukai masyarakat Indonesia. Dalam pilpres 2014 dan 2019, Prabowo bersaing ketat dengab capres berkarakter sederhana dan kerakyatan (Jokowi). Pada pilpres 2019 khususnya, sekiranya tidak ada kecurangan kualitatif di pihak petahana, Prabowo diyakini menang.

Baca Juga  Catatan dari Jawa Timur : KPK sedang mainkan jurus apa? Ketika Geledah Rumah La Nyalla.

Di luar kecurangan itu, harus juga diingat bahwa track record Prabowo ketika masih berdinas di militer memiliki dua cacat. Yakni, ia dituduh menculik aktivis pada 1997. Prabowo memang mengakuinya meskipun 9 orang yang diculiknya kelak ia bebaskan semuanya. Cacat lain, menurut Presiden ke-3 BJ Habibie, Prabowo hendak melakukan kudeta sehari setelah Presiden Soeharto lengser. Dua isu ini dieksploitasi lawan-lawan Prabowo ketika itu.

Kedua, Ganjar yang mewakili karakter “sederhana dan kerakyatan” sebagaimana Jokowi. Sebenarnya tak terlalu jelas apakah benar Ganjar mengusung Marhaenisme ciptaan Soekarno yang mengklaimnya sebagai sosialisme yang diterapkan di Indonesia. Ganjar memang kader PDI-P, parpol yang mengklaim sebagau pembela wong cilik (marhaenis).

Baca Juga  Mantan Gubernur Malut Terbaring Kritis di RSUD CB,

Bagaimanapun, kasus kekerasan di Wadas dan Pegunungan Kendeng, Jateng, memperlihatkan Ganjar tak punya empati pada wong cilik. Ia justru mengakomodasi kepentingan oligarki dengan mengintimidasi orang kecil yang lahannya tak mau dijual untuk dijadikan tambang batu andesit yang akan merusak lingkungan.

Di Kendeng juga begitu. Rakyat menolak kehadiran Pabrik Semen Gresik di sana karena mengganggu resapan air. Kedua proyek ini melanggar UU pertambangan dan lingkungan. Ketika pecah kasus Wadas, para petinggi PDI-P ramai-ramai mengecam Ganjar. Ideologi Marhaenisme yang diklaim Ganjar makin meragukan karena selama 10 tahun memimpin, Jateng tetap merupakan provinsi termiskin di Pulau Jawa.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *